Di kampung kecil yang dilalui truk pasir dan angin gosip, Bimo menjalani hari-harinya. Pemuda yang demen mengkuncir rambut gondrongnya ini adalah benih sarjana ekonomi yang jatuh ke tanah menganggur. Dua tahun sudah, sejak toga melekat di kepalanya, aktivitas rutinnya hanya berkutat seputar mengaduk kopi, menggulung rokok, dan mengetik takdir yang belum jelas arahnya.
Namun Bimo tak panik. Ia tahu, tidak semua yang tercecer itu hilang. Ia hanyalah batu loncatan yang memilih tidak melompat. Alih-alih mengejar iklan lowongan seperti kucing mengejar cahaya laser, ia memilih membaca novel dan esai, seperti sedang memungut serpihan dirinya sendiri yang tercecer di antara halaman.
Sejak SMA ia memang sudah bersahabat dengan kata. Kuliah tidak mengubah itu, dan pengangguran justru mempererat hubungan mereka. Kini ia tidak hanya membaca, tapi menulis. Tulisan apa saja. Pernah cerpen, esai, juga feature. Pokoknya apa saja yang bisa ditampung layar laptop tuanya.
Laptop itu lebih dari sekadar alat bagi Bimo. Ia adalah saksi hidup, tempat pengakuan dosa, altar persembahan, bahkan selimut kala malam terasa terlalu panjang.
Di saat anak-anak muda seusianya sibuk menenteng ponsel seperti jimat digital yang dipakai untuk bermedsos ria, mengutuk algoritma, atau mengobral story, Bimo tetap setia pada laptop yang kabel chargernya sudah diganjal kayu es krim itu.
Ia membawanya ke mana pun, seperti jurnalis membopong kamera. Bimo dan laptopnya adalah pasangan yang lebih mesra daripada pasangan resmi di KUA. Mereka tak butuh janji suci, cukup sinyal dari kuota dan segelas kopi panas.
Tempat favorit Bimo adalah warung kopi di pinggir jalan, di bawah pohon yang umurnya sudah lebih tua dari RT setempat. Ia duduk di sana, bersandar pada angin, memeluk laptop, dan mengetik dunia.
Kadang ia menulis seperti menulis wasiat. Sering pula seperti menulis puisi untuk seseorang yang tak pernah membaca. Di waktu lain malah seperti sedang mengaduk luka yang belum sembuh, hanya agar kata-katanya terasa hidup.
Warga kampung melihatnya sebagai patung hidup. Saat pagi, ia sudah duduk mengetik. Saat petang, ia masih di tempat yang sama, hanya kursinya yang bergeser menjauhi suara dangdut dari radio warung.
Anak-anak menyebutnya “Mas Laptop.” Orang dewasa menyebutnya “Sarjana Pusing.” Mereka bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang sedang dilakoni makhluk ini. Tidak pernah terlihat bekerja, tapi selalu punya uang untuk kopi, rokok, bahkan kadang mentraktir gorengan.
Ada yang bilang ia masih disubsidi orang tua. Ada yang menyebutnya dapat pesugihan digital. Ada juga yang yakin ia sebenarnya agen rahasia yang sedang menyamar. Tapi tak ada yang benar-benar tahu. Bimo tetap mengetik. Berasyik masyuk dengan word document.
Hingga pada suatu siang yang malas, datanglah sepasang manusia dari kota. Mobil mereka terlalu kinclong untuk kampung yang jarang cuci muka. Seorang perempuan turun dengan ponsel di tangan, lalu bertanya pada pemilik warung.
“Pak, tahukah di mana rumah Mas Bimo?”
Penjual warung, yang sedang menggoreng tahu isi, hampir menjatuhkan sutilnya. “Bimo yang mana, Mbak?”
“Bimo yang penulis. Yang tulisannya ada di Spotify. Novelnya mau terbit bulan depan.”
Beberapa tetangga yang sedang nongkrong di warung langsung menoleh. “Penulis? Spotify? Itu aplikasi musik, kan?” seseorang di antaranya bertanya.
“Sekarang ada cerita audionya juga, Pak. Mas Bimo itu penulisnya.”
Lalu perempuan itu menunjukkan galeri foto di ponselnya. Ada foto Bimo sedang diwawancarai. Ada cuplikan daftar trending cerita. Ada poster digital dengan nama Bimo Aksara terpampang di atas judul “Hidup Tak Pernah Mati, Hanya Berganti Halaman.”
Suara tahu isi yang digoreng mendadak terdengar seperti tepuk tangan. Warung itu hening sejenak. Lalu satu demi satu mulai mengingat bahwa Mas Laptop yang mereka kira sedang krisis identitas ternyata lagi menyulam takdirnya sendiri.
Mereka, yang selama ini menganggap Bimo sebagai satelit yang lepas orbit, kini sadar bahwa ia hanya memilih jalur yang tidak dilewati google maps. Mereka yang dulu mengira Bimo akan jadi cerita gagal, kini sadar bahwa ia adalah cerita itu sendiri.
Dan Bimo? Ia tetap duduk di bawah pohon. Menghisap rokoknya perlahan. Di pangkuannya, laptop tua yang setia masih menyala. Ia mengetik dengan tenang. Karena di dunia yang terburu-buru, menjadi lambat kadang adalah bentuk paling radikal dari harapan. (*)