Penulis: Tim Kreatif Lontar


  • Di kampung kecil yang dilalui truk pasir dan angin gosip, Bimo menjalani hari-harinya. Pemuda yang demen mengkuncir rambut gondrongnya ini adalah benih sarjana ekonomi yang jatuh ke tanah menganggur. Dua tahun sudah, sejak toga melekat di kepalanya, aktivitas rutinnya hanya berkutat seputar mengaduk kopi, menggulung rokok, dan mengetik takdir yang belum jelas arahnya.

    Namun Bimo tak panik. Ia tahu, tidak semua yang tercecer itu hilang. Ia hanyalah batu loncatan yang memilih tidak melompat. Alih-alih mengejar iklan lowongan seperti kucing mengejar cahaya laser, ia memilih membaca novel dan esai, seperti sedang memungut serpihan dirinya sendiri yang tercecer di antara halaman.

    Sejak SMA ia memang sudah bersahabat dengan kata. Kuliah tidak mengubah itu, dan pengangguran justru mempererat hubungan mereka. Kini ia tidak hanya membaca, tapi menulis. Tulisan apa saja. Pernah cerpen, esai, juga feature. Pokoknya apa saja yang bisa ditampung layar laptop tuanya.

    Laptop itu lebih dari sekadar alat bagi Bimo. Ia adalah saksi hidup, tempat pengakuan dosa, altar persembahan, bahkan selimut kala malam terasa terlalu panjang.

    Di saat anak-anak muda seusianya sibuk menenteng ponsel seperti jimat digital yang dipakai untuk bermedsos ria, mengutuk algoritma, atau mengobral story, Bimo tetap setia pada laptop yang kabel chargernya sudah diganjal kayu es krim itu.

    Ia membawanya ke mana pun, seperti jurnalis membopong kamera. Bimo dan laptopnya adalah pasangan yang lebih mesra daripada pasangan resmi di KUA. Mereka tak butuh janji suci, cukup sinyal dari kuota dan segelas kopi panas.

    Tempat favorit Bimo adalah warung kopi di pinggir jalan, di bawah pohon yang umurnya sudah lebih tua dari RT setempat. Ia duduk di sana, bersandar pada angin, memeluk laptop, dan mengetik dunia.

    Kadang ia menulis seperti menulis wasiat. Sering pula seperti menulis puisi untuk seseorang yang tak pernah membaca. Di waktu lain malah seperti sedang mengaduk luka yang belum sembuh, hanya agar kata-katanya terasa hidup.

    Warga kampung melihatnya sebagai patung hidup. Saat pagi, ia sudah duduk mengetik. Saat petang, ia masih di tempat yang sama, hanya kursinya yang bergeser menjauhi suara dangdut dari radio warung.

    Anak-anak menyebutnya “Mas Laptop.” Orang dewasa menyebutnya “Sarjana Pusing.” Mereka bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang sedang dilakoni makhluk ini. Tidak pernah terlihat bekerja, tapi selalu punya uang untuk kopi, rokok, bahkan kadang mentraktir gorengan.

    Ada yang bilang ia masih disubsidi orang tua. Ada yang menyebutnya dapat pesugihan digital. Ada juga yang yakin ia sebenarnya agen rahasia yang sedang menyamar. Tapi tak ada yang benar-benar tahu. Bimo tetap mengetik. Berasyik masyuk dengan word document.

    Hingga pada suatu siang yang malas, datanglah sepasang manusia dari kota. Mobil mereka terlalu kinclong untuk kampung yang jarang cuci muka. Seorang perempuan turun dengan ponsel di tangan, lalu bertanya pada pemilik warung.

    “Pak, tahukah di mana rumah Mas Bimo?”

    Penjual warung, yang sedang menggoreng tahu isi, hampir menjatuhkan sutilnya. “Bimo yang mana, Mbak?”

    “Bimo yang penulis. Yang tulisannya ada di Spotify. Novelnya mau terbit bulan depan.”

    Beberapa tetangga yang sedang nongkrong di warung langsung menoleh. “Penulis? Spotify? Itu aplikasi musik, kan?” seseorang di antaranya bertanya.

    “Sekarang ada cerita audionya juga, Pak. Mas Bimo itu penulisnya.”

    Lalu perempuan itu menunjukkan galeri foto di ponselnya. Ada foto Bimo sedang diwawancarai. Ada cuplikan daftar trending cerita. Ada poster digital dengan nama Bimo Aksara terpampang di atas judul “Hidup Tak Pernah Mati, Hanya Berganti Halaman.”

    Suara tahu isi yang digoreng mendadak terdengar seperti tepuk tangan. Warung itu hening sejenak. Lalu satu demi satu mulai mengingat bahwa Mas Laptop yang mereka kira sedang krisis identitas ternyata lagi menyulam takdirnya sendiri.

    Mereka, yang selama ini menganggap Bimo sebagai satelit yang lepas orbit, kini sadar bahwa ia hanya memilih jalur yang tidak dilewati google maps. Mereka yang dulu mengira Bimo akan jadi cerita gagal, kini sadar bahwa ia adalah cerita itu sendiri.

    Dan Bimo? Ia tetap duduk di bawah pohon. Menghisap rokoknya perlahan. Di pangkuannya, laptop tua yang setia masih menyala. Ia mengetik dengan tenang. Karena di dunia yang terburu-buru, menjadi lambat kadang adalah bentuk paling radikal dari harapan. (*)




  • Setiap malam, kota menutup wajahnya dengan kelap-kelip palsu. Lampu jalan yang muram, kafe-kafe yang terus memutar lagu lama, dan sepeda motor yang menderu seperti berusaha melawan kehampaan. Di antara itu semua, Enji adalah salah satu dari sedikit jiwa yang masih terjaga, bukan karena ingin, tapi karena tak bisa tidur.

    Usianya tiga puluh dua, pekerjaan tetap di sebuah perusahaan multinasional, apartemen kecil yang rapi, dan tabungan yang lebih dari cukup untuk membangun rumah mungil di pinggir kota. Tapi setiap malam, ia menyalakan motornya dan melaju ke jalanan yang bahkan tukang bakso sudah meninggalkannya.

    Motor bebek itu yang ia pilih bukan karena gaya, melainkan karena suara mesin dan getarannya yang terasa nyata, menjadi temannya saat malam menelannya. Enji tidak tahu ke mana hendak pergi. Ia hanya mengikuti angin, membiarkan tubuhnya dibawa ke mana pun jalanan mengalir.

    Bukan perkara baru baginya. Dulu, ketika masih bersama pria yang menemaninya selama tiga tahun lebih, ritual malam ini juga sering ia lakukan. Bahkan saat pria itu masih memeluknya di hari Minggu atau menjemputnya saat hujan turun deras. Hubungan mereka kandas begitu saja. Tanpa pertengkaran. Tanpa penjelasan. Seperti film yang tiba-tiba berhenti di tengah adegan.

    Lalu datang pria kedua. Usianya lebih muda dua tahun darinya. Mereka berjalan bersama selama delapan bulan. Tapi lagi-lagi, ujungnya sama. Hubungan itu bubar seperti gula larut dalam kopi panas. Tidak meninggalkan ampas. Tidak meninggalkan alasan.

    Setelah dua kali kegagalan, Enji merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa. Ia tidak merasa terluka. Tidak benar-benar sedih. Tapi kosong. Dan kekosongan itu menggelisahkan, mengusik malam-malamnya seperti suara tetes air dari keran bocor di dapur.

    Ia mencoba menutupi itu semua dengan kerja. Pulang malam. Lembur. Membuat laporan sampai mata perih. Tapi setiap malam tetap datang sebagai pengingat bahwa ada ruang dalam dirinya yang tak pernah terisi.

    Kadang, untuk menipu rasa gelisah, ia menyamar. Menguncir rambut panjangnya, memasukkannya ke dalam jaket, mengenakan topi, lalu helm. Berpura-pura jadi pria dan duduk di depan minimarket, menyeruput kopi dari termos kecil. Kadang hingga dua jam. Kadang lebih. Lalu pulang tanpa apa-apa selain rasa kantuk palsu.

    ***

    Enji mengenal lelaki itu dari sebuah forum literasi online. Seorang penulis novel. Ia tidak tampan, tidak juga terlalu ramah. Tapi dari cara ia merespons, ada yang membuat Enji merasa… dikenali. Seperti seseorang yang tidak hanya mendengar, tapi menyimak.

    Hubungan mereka tidak intens. Kadang hanya bertukar pesan soal lagu-lagu lama atau puisi yang baru terbit di majalah sastra. Namun perlahan, obrolan mereka menjadi tempat Enji mencurahkan isi kepalanya. Tentang banyak hal. Tentang malam-malam kosong, jalanan yang ia lewati tanpa tujuan, dan kegagalan-kegagalan yang tak sempat dikubur.

    Laki-laki itu tidak pernah menghakimi. Tidak pernah menawarkan solusi. Ia hanya berkata, “Berhati-hatilah saat keluar malam, kadang hal yang gelap bukan hanya suasana.”

    Mereka jarang bertemu, tapi setiap kali bertemu, rasanya seperti bertahun-tahun saling mengenal. Di sebuah kafe sepi yang jadi langganan mereka, lelaki itu akan datang membawa buku, dan Enji akan duduk dengan kopi pahit tanpa gula. Obrolan mereka bukan soal status hubungan, tapi tentang bintang, angin malam, dan perilaku manusia di waktu-waktu sepi.

    Enji tidak tahu mengapa ia merasa bisa terbuka pada lelaki itu. Mungkin karena lelaki itu sendiri adalah penyendiri. Seorang penulis yang akrab dengan kesunyian dan bisa menyulap sepi menjadi narasi.

    Suatu malam, tanpa sadar, Enji menyadari bahwa ia sudah tidak sering lagi keluar malam. Bukan karena takut. Bukan karena bosan. Tapi karena rasa gelisah itu mulai kehilangan bentuk.

    Kadang, sebelum tidur, ia memutar lagu-lagu yang dikirim lelaki itu. Lagu yang entah bagaimana selalu cocok dengan suasana hatinya. Ia tak pernah mengatakan kalau lagu itu menenangkannya. Lelaki itu juga tak pernah bertanya.

    Hingga suatu malam, setelah Enji menjalani hari yang panjang di kantor, mereka kembali bertemu. Lelaki itu menyerahkan sebuah novel kepadanya. Tanpa banyak kata. Novel itu hasil tulisannya yang dia susun beberapa bulan terakhir.

    Di halaman pertamanya, tertulis: Untukmu, yang setiap malam menjadi penjelajah tanpa arah.

    “Dibacanya nanti saja,” pinta sang penulis.

    Enji manggut seraya mengurai senyum. Dalam dua hari buku itu tuntas dibacanya. Cerita dalam novel itu seperti melihat hidupnya sendiri dari kacamata orang lain. Enji membaca perlahan, dengan hati yang berdebar. Novel itu bukan hanya tentang kisahnya, tapi tentang bagaimana seseorang melihat dan memahami luka orang lain, lalu merangkumnya menjadi kalimat-kalimat yang tak menghakimi.

    Pada halaman terakhir, ia membaca: Ketenteraman bukan hal yang dicari ke luar rumah. Ia seperti napas. Selalu ada, hanya sering tak disadari. Rasa syukur adalah pintunya, dan kesunyian adalah cermin untuk menemukannya.

    Enji memejamkan mata. Tak ada air mata. Tapi dadanya hangat.

    Ajaibnya, sejak itu ia tak lagi merasa perlu menipu gelisahnya dengan menyamar atau menyusuri jalanan kosong. Kini, ia cukup membuka jendela kamarnya dan menyapa angin pagi.

    Kadang, di sela kesibukan, ia akan mengetik pesan singkat:

    “Lagu apa malam ini?”

    Kadang lelaki itu menjawab, kadang tidak. Tapi itu tak lagi penting. Karena bagi Enji, malam-malamnya kini telah berubah. Ia tahu, mungkin ia belum sepenuhnya sembuh, belum sepenuhnya damai. Tapi ia telah menemukan bahwa gelisahnya bukan kutukan, hanya ruang kosong yang menunggu diisi dengan kesadaran.

    Dan barangkali, lelaki itu tidak hadir untuk mengisi ruang itu, tapi untuk mengingatkan bahwa ruang itu selalu bisa diterangi. Bahkan dengan cahaya sekecil kehadiran, sesederhana sepotong lagu, atau sehalaman cerita yang menyentuh. Sesederhana itu. (*)








  • Pagi itu, langit seperti menggigil. Awan-awan kelabu tergantung lesu di langit kota, seakan ikut menampung kegundahan seorang gadis bernama Kirana. Umurnya dua puluh satu. Wajahnya manis, seperti perempuan Jawa dalam lukisan-lukisan tua yang menggambarkan kelembutan sebagai kekuatan. Rambutnya sebahu, hitam legam, dan sepasang mata yang tajam tapi sering merunduk. Hari itu, dia resmi menjadi bagian dari angka statistik: korban efisiensi ekonomi.

    Setahun setengah bekerja di perusahaan advertising G, Kirana merasa dunia mendadak runtuh. Setiap pagi yang biasanya dia isi dengan menyesap kopi dan bersiap menyambut deadline, kini digantikan kebingungan. Tak ada kantor, tak ada klien, tak ada keramaian lift yang sering membuatnya sedikit canggung. Hanya keheningan kamar dan denting sendok ibunya dari dapur.

    “Kamu masih muda, Kirana,” ujar bapaknya suatu malam ketika mereka makan bersama. “Pintu rezeki Tuhan itu tak hanya satu. Tugasmu sekarang adalah mencari pintu-pintu itu.”

    Kirana mengangguk. Tapi hatinya beku. Ada yang tak dia mengerti dari dirinya sendiri: dia tak ingin melamar kerja lagi. Seperti tubuhnya menolak. Entah karena luka, atau karena sesuatu yang lebih halus dari itu—intuisi, mungkin.

    Hari-hari berlalu. Kirana menghabiskan waktunya membantu ibunya memasak, membaca novel yang menumpuk di rak, dan berselancar di media sosial. Seminggu. Dua minggu. Sebulan. Hidup seperti air yang tak lagi mengalir, hanya menggenang.

    Sampai suatu sore, saat dia membuka lemari dan mendapati koleksi totebag-nya yang tertumpuk rapi, seperti pasukan lama yang menunggu panggilan perang. Ada yang polos, ada yang bergambar lucu, ada pula yang bertuliskan merek-merek asing dengan huruf kapital. Dulu, setiap hari kerja, Kirana membawa salah satunya. Ia memang punya kebiasaan aneh: mengganti totebag setiap hari. Rekan-rekannya bahkan menjulukinya “Miss Totebag”.

    Ia duduk. Memandangi satu per satu. Ada yang warnanya sudah sedikit pudar, tapi tetap cantik. Ada yang seperti baru. Ia buka totebag-totebag itu, mengelus jahitannya, memperhatikan bentuk potongannya. Rasanya seperti bertemu sahabat lama yang menyimpan kenangan diam-diam.

    Lalu, ide itu muncul. Seperti cahaya yang menembus kabut. Kirana ingin membuat totebag sendiri. Tangannya bergerak cepat membuka laptop, mencari bahan kanvas di marketplace, sambil menggambar sketsa di kertas. Dunia yang sempat sunyi, kini mulai berdenting kembali.

    Ia membeli beragam bahan dasar. Saat tiba, ia bawa desainnya ke tukang jahit langganan keluarga. Tak lupa, ia pergi ke konveksi kecil di pinggiran kota untuk menyablon desainnya sendiri ke atas totebag. Hasilnya? Ia tersenyum. Tidak sempurna. Tapi sangat dirinya.

    Ia memotret totebag-totebag itu, memoles warnanya sedikit, dan mempostingnya di Instagram, Facebook, dan TikTok. Ia juga menyunting video proses pembuatan dari awal—dari sketsa hingga sablon. Bukan dengan ambisi menjual. Hanya ingin berbagi rasa bangga dan pencapaian kecil yang berarti.

    Tapi semesta punya caranya sendiri untuk menjawab ketulusan.

    Dua hari Kirana absen membuka media sosial. Ia dan ibunya pergi ke rumah duka karena salah satu kerabat dekat mereka meninggal. Di sana, kesedihan seolah menjadi jeda dari kegalauan yang lain. Ia membantu menyiapkan konsumsi, menyusun kursi, menenangkan anak-anak yang kebingungan kehilangan nenek mereka. Baru setelah pulang dan tubuhnya rebah dalam lelah, ia membuka ponsel dan tercengang.

    Ratusan komentar. Puluhan pesan langsung. Orang-orang bertanya: “Ini dijual gak, Kak?” “Kalau mau beli, ke mana, ya?” “Lucu banget desainnya, aku mau dong!”

    Tangannya gemetar memegang ponsel. Hatinya bergelombang seperti danau yang dilempar batu besar. Ia segera menelepon kakak perempuannya, lalu menceritakan pada ibunya, bapaknya, dan seluruh keluarganya. Semua menyemangatinya.

    “Jual saja, Nak. Uangnya bisa untuk buat lagi,” kata ibunya lembut.

    Dan dimulailah bab baru. Kirana menjual totebag pertamanya. Habis dalam dua hari. Lalu ia buat lagi. Habis lagi. Pesanan terus datang. Desainnya semakin variatif, kadang mengikuti permintaan, kadang dari hatinya sendiri. Ia bolak-balik ke tukang jahit dan tempat sablon. Ia bahkan mengajak tetangganya—teman sekolah dulu—untuk membantu.

    Di tengah semua kesibukan itu, ia menyematkan sebuah nama di totebag buatannya: Lontara. Nama itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ia suka bunyinya. Lembut, tapi kuat. Nama yang menyiratkan cerita, seperti huruf-huruf kuno yang dulu digunakan untuk mencatat hikmah dan sejarah.

    Kini, sudah tiga bulan sejak Kirana dipecat. Ia duduk di kamar, membuka pesanan hari itu. Ada sepuluh pesan baru di Instagram. Tujuh dari Facebook. Lima di WhatsApp. Beberapa pelanggan meminta desain khusus—satu ingin gambar kucing membaca buku, satu lagi ingin ilustrasi dirinya dan suaminya. Kirana mengerjakan semua dengan cinta. Ia tahu, tiap totebag bukan sekadar tas. Tapi lembaran kecil hidup yang ia torehkan dengan tangan dan jiwanya.

    Di dinding kamarnya, tergantung selembar kertas bertuliskan:

    “Kadang, jalan rezeki bukan di tempat kita mencari, tapi di tempat kita mencintai.”

    Ia menuliskannya sendiri, malam itu, ketika menyadari bahwa mungkin Tuhan memang tak ingin dia kembali bekerja kantoran. Mungkin Tuhan ingin dia menggambar. Menjahit. Menyablon. Menyulam cerita lewat totebag. Menyalurkan cinta ke orang-orang lewat kanvas sederhana.

    Ibunya tak henti-henti memuji totebag hasil karyanya. Ayahnya sering menyelipkan cerita tentang bisnis Kirana ke rekan kantornya. Kedua kakaknya membantu promosi. Dan Kirana, dari gadis yang gusar dan patah arah, kini menjadi pengusaha kecil dengan langkah mantap dan hati yang penuh syukur.

    Kadang, di malam yang sunyi, ia membuka totebag pertamanya. Yang pertama ia gambar. Pertama ia sablon. Ia simpan untuk kenang-kenangan. Di sudutnya, ada noda tinta kecil. Ia tersenyum. Noda itu saksi. Bahwa dari luka, bisa lahir karya. Dari kehilangan, bisa tumbuh harapan.

    “Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan,” bisik Kirana dalam hati.

    Dan di luar kamar, malam semakin larut. Tapi di dalam dirinya, fajar baru sedang menyingsing.(*)



  • Di sebuah kompleks perumahan yang dulunya riuh oleh tawa anak-anak dan derit sepeda sore hari, kini hanya angin yang berkisah. Pohon-pohon trembesi masih berdiri di tepi jalan, tapi dahan mereka tak lagi bergoyang menampung imajinasi masa kecil yang dulu menggantung di sana.

    Hari-hari kini terasa seragam bagi Dimas, pemuda dua puluh tiga tahun yang setiap sore pulang kerja dengan wajah lesu dan kepala penuh beban yang tak bernama.

    Pekerjaannya di kantor tidak buruk. Ia cukup digaji, cukup dihormati, cukup sibuk. Tapi justru dalam kecukupan itu, ada kehampaan yang tak bisa ia rundingkan dengan siapa-siapa. Pulang, mandi, membuka Spotify, menyalakan PS, mematikan lagi. Semua terasa seperti memutar playlist yang sudah lama tak di-update. Hidupnya seperti sebuah game tanpa misi.

    Sore itu, ia berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi taman kecil di tengah kompleks. Gazebo reyot di tengah taman itu seperti monumen yang dilupakan. Catnya mengelupas seperti kulit kenangan, dinding kayunya lapuk, dan rumput liar mengintai dari sela ubinnya. Di sanalah dulu, ia dan teman-temannya mengukir masa kecil: main kartu, menyusun batu jadi markas rahasia, atau sekadar duduk-duduk menggosipkan siapa yang disukai siapa di kelas.

    “Kemana kalian semua?” bisik Dimas pada bayangannya sendiri di jendela.

    Saat malam datang dan kesepian mulai memanjat ke leher, Dimas membuka ponselnya. Ia mencari nama-nama lama di daftar kontak: Raka, Gendis, Bayu, Nita, Andre. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan pertama: “Masih ingat gazebo taman kompleks kita?”

    Tak semua membalas. Ada yang hanya centang dua. Ada yang membalas singkat, basa-basi. Tapi Dimas tak menyerah. Setiap hari, sepulang kerja, ia menyapa satu per satu. Mengingatkan tentang permainan gasing, tentang pedagang cilok yang dulu mangkal di gerbang kompleks, tentang lagu-lagu yang dulu mereka nyanyikan sambil menunggu magrib.

    Hari keenam, ia mulai lelah. Apakah hanya dia yang merindukan masa lalu? Apakah semua sudah terlalu dewasa untuk kembali menjadi anak-anak barang sejenak?

    Minggu pagi, matahari belum tinggi ketika Dimas mendengar suara gaduh di teras rumahnya. Ibunya yang sedang menyeduh kopi bahkan sempat mengernyit, dan ayahnya meletakkan koran sambil berseru, “Ada apa itu?”

    Ketika Dimas membuka pintu, ia tertegun. Di sana berdiri Raka dengan sapu lidi, Bayu membawa ember dan sikat, Nita menggendong kaleng cat, dan Andre menenteng mesin pemotong rumput. Di antara mereka, Gendis menyapa dengan senyum yang sudah lama tak ia lihat.

    “Kami nggak mau nongkrong di gazebo jelek kayak gitu,” kata Raka. “Jadi kita bersihin dulu. Biar pas nongkrong, enak lagi kayak dulu.”

    Dimas hanya mampu tersenyum. Sesuatu menghangat di dadanya, seperti kopi susu hangat di pagi buta.

    Mereka berjalan ke taman bersama, mengangkat alat-alat, saling ejek dan tertawa. Seperti masa kecil, tapi dengan tubuh yang lebih besar dan beban yang lebih berat. Mereka menyapu dedaunan kering, mencabuti rumput liar, mengecat ulang tiang-tiang gazebo. Gendis memutar lagu dari ponselnya, dan mereka bersorak ketika lagu dari masa SD mereka diputar.

    “Gila, lagu ini masih ada ya?” kata Andre.

    “Masih. Seperti kita yang ternyata juga masih ada,” sahut Nita sambil tertawa.

    Gazebo itu perlahan berubah. Dari gubuk kesepian jadi altar kenangan yang dibersihkan oleh cinta yang tak pernah benar-benar pergi. Dimas duduk sejenak, memandangi teman-temannya yang bekerja sambil tertawa.

    Di kepala Dimas, tidak ada lagi suara Spotify. Yang ada hanya alunan tawa dan obrolan hangat yang dulu ia pikir tak akan pernah kembali.

    Sore itu, setelah gazebo selesai dipercantik, mereka duduk melingkar. Minuman kemasan dan keripik dibagikan. Tak ada rencana muluk. Tak ada janji-janji pertemuan rutin. Tapi hari itu, waktu seakan diam untuk memberi ruang pada yang tak sempat disampaikan: bahwa rindu tak perlu megah, cukup disuarakan.

    “Makasih, Mas Dim,” ujar Gendis pelan. “Kalau bukan kamu, mungkin kita nggak akan pernah ngumpul lagi.”

    Dimas tak menjawab. Ia hanya menatap langit yang mulai memerah, seperti pipi seseorang yang baru saja diingatkan bagaimana rasanya dicintai oleh masa lalu yang belum benar-benar pergi.

    Dan ketika malam menutup tirainya, gazebo itu menyala oleh lampu taman. Tak lagi muram. Tak lagi sendiri.

    Mereka pulang satu per satu, tapi Dimas tetap tinggal sebentar. Duduk di tengah gazebo, memandangi jalan kompleks yang perlahan sepi. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tak merasa bosan. Ia merasa utuh.

    Karena rumah bukan cuma bangunan. Ia juga bisa berupa sekelompok teman yang tak lupa jalan pulang. (*)