Agaknya perjuangan memang harus berat, karena bila tanpa tantangan sepadan agak malu diakui sebagai perjuangan. (Ilustrasi: Lontar.co)

Gitar yang Belum Punya Nama

Dino, mahasiswa semester tiga di sebuah kampus negeri, duduk termenung di sudut warung kopi. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi uap resah dari dalam dirinya masih hangat. Di antara denting sendok pengaduk dan suara motor lewat, dia mendengar getar suara hati, “Kapan aku bisa punya gitar sendiri?”

Dino bisa bermain gitar, tapi tidak memiliki gitar. Sejak SMA, tangannya sudah akrab dengan senar, tapi bukan miliknya sendiri. Gitar-gitar yang dia mainkan selalu milik orang lain. Dipinjam dari kawan tongkrongan, dari teman sekelas, dari tetangga kosan. Semua karena satu alasan, membeli gitar terasa seperti membidik bintang dengan jaring nyamuk.

Duit mingguannya pas-pasan. Separuhnya untuk bensin motor bebek tua yang lebih sering batuk daripada menderu. Separuh lainnya buat makan siang di kantin kampus, kadang kalau sedang mujur bisa beli tempe goreng dua.

Kalau tugas menumpuk, Dino nyambi jadi ojek dadakan buat teman-teman kuliahnya. Upahnya? Cukup buat nge-print makalah dan beli kuota internet. Sebab malam-malam sebelum tidur, dia punya kebiasaan yang tak bisa ditawar, membaca karya-karya sastra gratisan di Google.

Di sanalah, dalam ruang sempit kosan berkipas rusak, ia mengunyah sajak-sajak Chairil dan cerita pendek Kompas yang bisa diakses cuma bermodal sabar dan sinyal. Dan dari perpaduan nada gitar pinjaman dan teks-teks yang menyelusup ke relung, empat lagu lahir dari dirinya. Lagu-lagu yang tidak sekadar ingin didengar, tapi ingin dirasakan.

BACA JUGA  Gazebo Kenangan

Dino tahu tempat mana saja yang bisa dia sambangi untuk sekadar memetik gitar. Tapi ada satu rumah yang selalu menjadi favoritnya yakni rumah Raka. Raka berasal dari keluarga berada. Rumahnya besar seperti rumah-rumah dalam sinetron petang, lengkap dengan paviliun yang sepi dan langit-langit tinggi. Di sana, suaranya menggema, mengisi ruangan seperti doa yang mencari Tuhan.

Raka tak pernah mempermasalahkan kehadiran Dino. Bahkan seperti sengaja, dia kerap meninggalkan Dino sendiri di ruangan itu.

Di situ, Dino bisa bernyanyi sepuas hati. Mencoba bait demi bait lagu ciptaannya. Mengulang nada hingga jari-jarinya kapalan. Kadang lupa waktu, kadang lupa kenyataan. Dunia terasa utuh hanya dengan suara dan gitar.

Tapi waktu tak pernah betah diam. Minggu depan, ada undangan ulang tahun teman kampus, digelar di pantai. Perjalanan rombongan memakai minibus pariwisata.

Satu minggu sebelum hari itu, Dino memeras tenaga. Selesai kuliah, dia langsung nyambi ojek. Menyusuri kampus seperti hantu jalanan yang tak kenal lelah. Uangnya dikumpulkan, bukan untuk baju baru atau hadiah, tapi sekadar supaya bisa ikut perayaan ulang tahun dan jangan sampai malu tak punya pegangan duit.

Seminggu itu juga, dia absen dari rumah-rumah pemilik gitar. Tidak sempat. Selain badannya juga terasa remuk. Digeber nge-gojek. Tapi rindu itu tak bisa dipendam. Rindu pada senar yang bergetar. Pada nada yang seperti doa.

BACA JUGA  Di Antara Nasi dan Narasi
Lontara, maskot Lontar.co memainkan gitar akustik. (Ilustrasi: Lontar.co)

 

Hari ulang tahun tiba. Bus berguncang dengan gelak tawa. Salon portable menggelegar, mengisi udara dengan lagu-lagu hits yang seolah jadi soundtrack hidup mahasiswa. Dino duduk di dekat jendela, pandangan terlempar ke laut yang masih jauh. Di dalam kepalanya, lagu-lagu ciptaannya berputar sendiri.

Lalu, tanpa aba-aba, terdengar intro gitar yang begitu familiar. Gitar akustik terdengar dari speaker portable. Getar suaranya sendiri menyusul setelahnya. Lagu pertama. Lalu lagu kedua. Dia refleks menoleh ke speaker, seakan ingin memastikan itu bukan halusinasi. Matanya menatap kawan-kawan di sekitarnya. Mereka memandangnya dengan wajah takjub, ada yang bertepuk, ada yang berbisik, “Ini lagu lo, kan?”

Dino hanya tersenyum kaku. Lagu ketiga diputar. Lantas lagu keempat. Suaranya, yang dulu hanya berkumandang di paviliun rumah Raka, kini bergema di dalam bis, di telinga teman-temannya. Rupanya, Raka merekam semua sesi bermain gitarnya secara diam-diam. Ruangan itu memang punya akustik sempurna. Raka hanya sedikit mengedit, membuang noise, menambahkan gema alami. Dan hari itu, kejutan ini menjadi hadiah yang tak pernah diminta.

“Gue rekam biar lo tahu, suara lo itu keren. Lagu lo punya nyawa,” ujar Raka sambil menepuk bahu Dino.

Seorang teman perempuan menyambung, “Kalau lo mau, kita bisa rekaman beneran. Gue punya temen yang punya studio. Kita patungan aja, bantuin lo.”

BACA JUGA  Malam-malam Enji

Dino diam. Di luar, laut seperti mengangguk. Ombaknya memecah karang seperti harapan yang menghantam kenyataan. Tiba-tiba, semua rasa capek, semua malam mengendap-endap ke rumah orang, semua gengsi yang ditelan demi satu-dua menit petikan gitar, seperti mendapat makna baru.

Mereka ingin Dino jadi viral. Seperti Kangen Band, grup legenda Lampung. Kata itu kompak meluncur dari mulut kawan-kawannya, sambil diiringi derai tawa. Tapi Dino tahu, tak ada yang bercanda sepenuhnya. Mereka mengingatkan kalau Andika bisa, kenapa dia tidak?

Tapi dia tidak ingin menjadi siapa-siapa. Dia hanya ingin menyanyikan lagunya sendiri, dengan gitarnya sendiri. Meski gitar itu belum ada.

Malam itu, di tepi pantai, dia berjalan sendiri. Duduk di pasir. Memandang langit. Lagu kelimanya belum selesai. Tapi potongan liriknya sudah menari di kepalanya.

“Aku punya mimpi, bukan untuk dipuji, hanya untuk dibagi, walau dengan jari yang tak punya tali.” Laut mendengarnya. Dan malam menyimpannya.

Ia tahu, belum ada gitar miliknya. Tapi kini, lagu-lagu itu sudah punya pendengar. Dan mungkin, suatu hari nanti, ada gitar yang benar-benar jadi miliknya. Dan bila saat itu tiba, dia akan memberinya nama. Sebab gitar itu akan menjadi saksi bahwa mimpi bisa dimulai dari gitar pinjaman, dari paviliun rumah orang, dari suara yang diam-diam direkam. Dan dari hati yang tak berhenti percaya. (*)

Further reading

  • rampai

    Pada Rampai (Seharusnya) Kita Berjaya

    Sambal Lampung itu otentik, justru karena rampainya. (Lontar.co): Suatu ketika, dalam kontestasi memasak, Chef Renatta pernah mengomentari sambal buatan salah satu peserta yang menurutnya tak punya sensasi apa-apa kecuali pedas,”akan lebih berkarakter jika diberi tomat ceri,” kata Chef Renatta. Tomat ceri yang dimaksud Chef Renatta merujuk pada entitas buah rampai yang amat melimpah di Lampung. […]
  • Gitar yang Belum Punya Nama

    Dino, mahasiswa semester tiga di sebuah kampus negeri, duduk termenung di sudut warung kopi. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi uap resah dari dalam dirinya masih hangat. Di antara denting sendok pengaduk dan suara motor lewat, dia mendengar getar suara hati, “Kapan aku bisa punya gitar sendiri?” Dino bisa bermain gitar, tapi tidak memiliki gitar. Sejak […]
  • Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

    “Apa benar bahasa Lampung terancam punah, Mbak?” tanya seorang teman. Kami sedang duduk di salah satu sudut gedung Nuwo Baca Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung. Menikmati empuknya kursi berwarna cokelat, sesekali menjawab beberapa sapa petugas yang lewat. Suasana siang yang nyaman walau di luar terlihat matahari cukup menyengat. (Lontar.co): Saya menganggukkan kepala dengan pilu. Berdasarkan […]