sihanoukville

Jejak Orang Lampung di Sihanoukville (1) 

sihanoukville
Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dibebaskan dari sindikat judol dan scam saat tiba di tempat penampungan sementara sebelum dipulangkan. Foto: Dok Migrant Care Indonesia

Jejak Orang Lampung di Sihanoukville (1) 

Ada begitu banyak jejak orang Lampung di Sihanoukville—surga judi dan penipuan online. Ada yang meninggal, ada yang tak digaji, tak sedikit pula yang disiksa, yang beruntung bisa berhasil kabur dengan trauma yang panjang. Akibat, minimnya kesempatan kerja di Lampung 

(Lontar.co): Tubuh Agus, bukan nama sebenarnya, kini jauh lebih berisi, meski sedikit gempal, tapi keadaannya kini jelas jauh lebih baik dibanding saat tiga tahun lalu.  

Saat ini, ia benar-benar merasakan ‘hidup’ untuk yang kedua kalinya. 

Ia kini berpenghasilan sebagai driver ojek online di dua aplikasi berbeda sejak tahun 2023 lalu, setahun setelah mimpi buruk dihidupnya. 

Sepintas tak ada yang berbeda dari Agus, selayaknya driver ojol kebanyakan, meski terkesan tertutup dan agak pendiam. Tapi, ia punya pengalaman antara hidup dan mati saat bekerja di Sihanoukville, Kamboja. 

Awalnya, lumayan susah meminta Agus bercerita panjang lebar soal pengalamannya ini. Banyak syarat yang ia wajibkan. Selain meminta namanya tak disebut, ia juga tak mau membuka semua detil yang ia lakukan dan rasakan selama di Kamboja.  

Trauma yang ia alami masih amat membekas bahkan sampai mengubah perangainya, sampai saat ini. Ia juga masih kerap khawatir agen-agen perekrutnya yang dulu, masih mencarinya. 

 

Kapal yang tidak terlalu besar itu terombang-ambing selama dua puluh menit di tengah Selat Singapura. Lamat-lamat, dari kejauhan sinar lampu mercusuar di Senang Island nyalanya redup rendah, nyaris kalah dengan gemerlap lampu-lampu dari arah daratan Singapura yang meriah. 

Di depan kapal dengan tujuan Johor Baru, Malaysia, laut lepas Selat Malaka yang terlihat kehitaman sudah menghampar selepas melewati teluk kecil Selat Singapura yang jadi perlintasan paling sibuk kapal-kapal laut komersil dari Pelabuhan Internasional Batam ke Singapura maupun sebaliknya.. 

Bersama seorang temannya yang masih satu kampung dan lima orang lainnya yang tak ia kenal tapi punya tujuan yang sama, mereka bertolak dari Pelabuhan Batam menuju Pelabuhan Puteri Harbour, dengan tujuan akhir Sihanoukville, Kamboja. 

Selama perjalanan, tak ada yang mencurigakan, suasana tetap ceria meski selepas dari Puteri Harbour, perjalanan dilanjut melalui darat selama lebih dari 31 jam. 

Sepanjang perjalanan, Agus juga melihat pemandangan yang nyaris sama dengan kebanyakan wilayah di Indonesia yang beriklim tropis. Orang-orang bercocok tanam, rumah-rumah yang berjejer di tepian jalan, sama persis. 

Sebelum berangkat, Agus dan seorang temannya diminta oleh agen untuk bertindak layaknya seorang turis yang sedang liburan, sesuai visa yang dibuat, visa turis. 

Ia juga dibelikan satu stel pakaian yang menurutnya lumayan mewah oleh agen yang merekrutnya di daerah Pesawaran. 

Tak ada hambatan selama perjalanan. Ia dan enam orang lainnya hanya mengikuti dua orang dari perwakilan perekrut yang sudah menjemput mereka sejak dari Jakarta. 

“Awalnya dikenalin sama sepupu. Gajinya besar, kerjanya santai di bagian marketing, tapi bukan di pabrik, di perusahaan investasi. Di tempat saya, banyak yang kerja jadi TKI,” ujarnya. 

Untuk bisa berangkat, Agus dan orang tuanya terpaksa menjual satu-satunya sepeda motor yang dimiliki keluarganya. 

BACA JUGA  Perempuan Pengojek, Mereka yang Hidup di Tengah Ketidakpedulian Kota

Uang Rp5 juta hasil penjualan motor diserahkan ke agen tenaga kerja untuk membuat paspor,”pokoknya terima beres langsung berangkat. Tadinya diminta 10 juta untuk ngurus paspor, administrasi, belajar komputer sama belajar bahasa Inggris dan biaya administrasi, tapi ditawar lagi sama bapak saya”. 

Setiba di Batam, semua identitas mereka langsung dipegang oleh dua orang pendamping itu,”kami juga diajari kalau ada petugas yang tanya, bilangnya mau jalan-jalan ke Malaysia,” ujarnya lagi. 

Di Sihanoukville, mereka dibawa menuju ke salah satu bangunan empat lantai, yang menurut Agus lebih mirip seperti asrama, meski tempatnya relatif ramai tapi pagar tembok pembatasnya lumayan tinggi dengan kawat berduri dibagian atasnya, banyak pula gedung bertingkat di sekitarnya yang tertutup pagar tembok menjulang. 

Ia juga melihat ada belasan orang yang sudah lebih dulu bekerja disana, kebanyakan dari Indonesia, tapi tak ada yang bicara satu sama lainnya.”Sampe disana sudah agak malem, terus dikasih kunci kamar. Tiap kamar isinya empat orang, pake ranjang tingkat”. 

Malam pertama itu, ia tak bisa tidur, meski habis menempuh perjalanan panjang. Ia pula tak bisa mengabarkan orang tuanya karena ponselnya ‘diamankan’ bersamaan dengan pasportnya. 

Esok harinya, ia dan 6 orang lainnya langsung diperintah menemui seseorang, selanjutnya mereka diminta menandatangani dua lembar kertas yang disebut kontrak kerja. 

“Isinya tulisan kayak huruf Cina, saya nggak ngerti. Ada orang disana yang bilang kalau surat itu kontrak kerja, dan kita disuruh tandatanganin biar langsung tercatat sebagai karyawan, ya kita ikut-ikut aja,” jelasnya lagi. 

Setelah ditandatangani, salah seorang kemudian memastikan bentuk tanda tangan Agus dan enam orang lainnya,”mungkin mau mastiin kalau tanda tangannya sama dengan yang di KTP”. 

Agus dan enam orang pekerja itu dipecah dalam beberapa kelompok, yang tiap kelompok terdiri 3 sampai 4 orang dan semuanya adalah orang Indonesia. 

Agus sendiri dimasukkan dalam kelompok pekerja yang berasal dari Banyuwangi dan Bekasi,”nggak ada istilah kenalan dulu apalagi ngobrol basa basi, tapi langsung disuruh kerja,” tuturnya. 

Hari pertama itu, ia diminta membuat sebanyak mungkin akun-akun medsos Facebook dan Instagram, tiap akun yang ia buat dipasang dengan foto profil perempuan dengan pakaian seksi. 

Menurut salah seorang pekerja yang ada di kelompoknya, akun-akun itu dipakai untuk mencari ‘mangsa’ dengan menambah daftar pertemanan di akun serta memulai komunikasi, mulai dari berkenalan, sampai menawarkan produk investasi. 

“Pokoknya, nggak diajarin apa-apa, langsung disuruh praktek, bikin akun, cari teman, kenalan, terus nawarin produk investasi seperti crypto”. 

Saat itu, lanjutnya, terdapat tiga lembar kertas yang dijadikan panduan untuk Agus dan yang lainnya,”jadi, ada kertas yang dipasang di samping komputer kita, kertas itu isinya cara kita nawarin produk, cara kita jelasin perusahaan kita, biar keliatan seperti beneran”. 

Modusnya adalah dengan mengatasnamakan perusahaan investasi terkenal dengan nilai investasi mulai dari Rp20 ribu.“Pokoknya gimana caranya target kita itu mau investasi”. 

Untuk semakin meyakinkan mangsanya, tiap target yang sudah menginvestasikan uangnya meski hanya Rp20 ribu maka hanya dalam sehari nilai investasinya sudah melonjak hingga berkali lipat,”kita punya website khusus, target kita itu nanti akses website itu untuk ngeliat uang yang diinvestasikan, misalnya dia inves Rp20 ribu, besoknya uangnya sudah bertambah jadi Rp50 ribu, tapi uang itu nggak bisa ditarik,” cerita Agus lagi. 

BACA JUGA  Susahnya Disabilitas Hidup di Indonesia, Kurang Perhatian, Anggaran pun Ala Kadarnya 

Ia ditarget maksimal 5 hari sudah harus bisa menghasilkan uang dari teman-teman di media sosial melalui akun-akun palsu yang ia buat. 

Selain itu, ia juga diajarkan membuat fake GPS atau posisi palsu, dengan menggunakan aplikasi khusus yang secara otomatis bisa memindahkan lokasi sesuai keinginan. 

“Waktu itu, GPS saya kebanyakan saya seting daerah Jakarta, biar nggak ketahuan kalau saya sebenarnya ada di Kamboja,” jelas Agus. 

Ia yang terbilang baru dalam membujuk target, agak kesulitan meyakinkan calon mangsanya,”empat hari nyari mangsa lewat FB sama IG, cuma dapet uang Rp300 ribu, itu juga susah bener ngeyakinin targetnya”. 

Agus sempat dimarahi, tapi ia tak mengerti apa yang diucapkan karena ia tak mengerti bahasa yang diucapkannya,”saya ngerasa dimarahin karena dia nunjuk-nunjuk saya, tapi kalau bahasanya saya nggak tau sama sekali”. 

Agus juga melihat teman dalam satu kelompoknya yang sudah lebih dulu bekerja disana, yang juga tak tembus target, dan dipaksa push up dan tak diberi makan. 

Di minggu berikutnya Agus mulai tak fokus. Apalagi, di tempat itu ia hanya diberi makan satu kali,”yang makan nasinya cuma satu kali, ada juga kue empat biji sama air mineral, itu juga dimakan sambil kerja,” akunya. 

Jam kerjanya juga mulai tak menentu, terlebih target yang diberikan ke Agus tak pernah tercapai, ia mengaku pernah bekerja selama 14 jam sehari demi bisa mencapai target,”kata teman satu kelompok saya, jika targetnya nggak tembus sebulan, maka nggak gajian, disitu saya mulai pusing, mau pulang tapi bingung gimana caranya”. 

Hari-hari selama berada disana, Agus dan pekerja lainnya merasa hidup seperti di penjara,”tiap malem saya cuma inget emak saya di kampung, yang ada dipikiran cuma bakal mati disini,” kenangnya. 

Ia juga berusaha untuk menghubungi kerabatnya melalui pesan messenger di Facebook, sempat berhasil saling komunikasi tapi aksinya itu diketahui, karena selain di pantau melalui CCTV, tiap komputer yang digunakan juga dilengkapi semacam perangkat seperti webcam yang dipakai untuk memantau aktivitas para pekerja, ia kemudian dipaksa push up 100 kali, selain itu seorang petugas keamanan sempat menendangnya. Ia tak berkutik, pekerja lain yang ada disitu pun tak ada yang berani membantunya. 

Sebulan bekerja disana, Agus sama sekali tak mendapat gaji, jatah makannya pun berkurang dengan lauk yang tak menentu, kondisi itu dialami Agus bersama lebih dari 8 orang yang bekerja disana. 

Sepengetahuan Agus, hanya ada dua orang pekerja yang bisa berhasil mencapai target, tapi sepengetahuannya, gaji yang diperoleh juga tak sesuai dengan yang dijanjikan. 

“Hampir semua yang kerja disana pengen kabur dari situ, termasuk yang tembus target, karena ini bukan lagi kerja tapi sudah disiksa pikiran dan badan. Mental kita sudah kena semua, Stress. Makanya disana nggak ada yang saling ngobrol karena sudah nggak bisa mikir lagi”. 

BACA JUGA  Malangnya Nasib Driver Ojol, Dicekik Kebutuhan, Terbelit Aturan hingga Orderan yang Sulit  

Sampai kemudian, gedung yang berada di seberangnya didatangi serombongan orang yang belakangan diketahui dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang membebaskan puluhan pekerja asal Indonesia. 

“Waktu penggerebekan gedung seberang kan ramai tuh, kita liat dari jendela. Kami lihat orang-orang yang datang itu pakai jaket ada lambang merah putihnya, dari situ spontan kami kemudian ngejerit-jerit minta tolong, dari situ ada dua orang yang masuk ke gedung kami, walaupun sempat dihalangi security gedung tapi kami terus teriak minta tolong dari lantai tiga, sempat ada yang dipukul karena kami terus teriak,” kenang Agus. 

Upaya pembebasan berlangsung lama, pasalnya sindikat itu minta uang pengganti,  karena pekerja-pekerja yang ada disana termasuk Agus, mereka beli dari agen-agen asal Indonesia. 

Agus tak tahu proses negosiasi selanjutnya, karena tak lama datang bus khusus untuk mengangkut para pekerja,”waktu bus datang, yang naik ternyata banyak juga, jumlahnya ada 14 orang, 9 dari gedung kami, yang 5 dari gedung seberang,” jelas Agus lagi. 

Belakangan ia baru tahu setelah tiba di tempat penampungan sementara yang dikelola KBRI dan Migrant Care, terungkapnya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ini bermula dari adanya pengaduan dari salah seorang pekerja yang melapor melalui akun media sosial milik KBRI. 

“Saya sudah nggak mikirin baju dan celana saya yang ketinggalan, yang penting saya bisa keluar dari situ”. 

Agus akhirnya berhasil pulang, kembali berkumpul bersama dengan keluarganya,”nggak nyangka aja bisa pulang kesini lagi,” kata Agus dengan suara tertahan. 

Banyak detil yang tak disampaikan Agus, ia juga tak mau menceritakan sejumlah kekerasan fisik yang ia dan pekerja lainnya alami, tapi dari trauma yang masih membekas di dirinya, apa yang dialami Agus di Sihanoukville bisa jadi jauh lebih kejam dan keras. 

Cerita Agus ini sejalan dengan penelusuran yang dilakukan Lontar terhadap adanya upaya pemulangan para korban TPPO ini yang dilakukan oleh BP2MI dan Kemenlu. 

Pada Agustus 2022 lalu, sebanyak 14 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diduga menjadi korban TPPO dan disekap di Kamboja dipulangkan ke Indonesia melalui kerjasama lintas sektoral yang melibatkan banyak pihak, mulai dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang ada di Kamboja, Kementerian Sosial hingga Migrant Care. 

Jumlah PMI yang menjadi korban TPPO ini dipulangkan secara bertahap, tahap pertama sebanyak 14 orang, termasuk Agus salah satunya, kemudian tahap kedua jumlahnya jauh lebih banyak lagi. 

Data dari Kementerian Luar Negeri menyebut sampai tahun 2022 lalu ada sebanyak 232 orang yang diduga menjadi korban TPPO di Kamboja. 

Ratusan pekerja migran ini dipaksa bekerja di perusahaan berkedok investasi. Kemenlu juga mensinyalir adanya sindikat yang jaringannya bahkan berada hingga pelosok desa. 

Modus yang dilakukan sindikat ini adalah menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi dan berangkat ke Kamboja dengan memanfaatkan visa turis bukan visa bekerja. 

Further reading