“Parah ini, ini parah!” tukas Thomas Amirico. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Lampung ini cemas dengan kualitas pendidikan. Khususnya pada jenjang SMA/SMK. “Guru tidak kasih ‘Google Map’ ke siswa. Murid banyak yang nyasar. Tidak lolos PTN. Kalaupun lulus itu berkat ikut bimbel,” sesalnya.
(Lontar.co): Kecemasan Thomas Amirico cukup beralasan. Kendati masih terhitung anyar menduduki posisi kadis, lambat laun kiranya ia paham bagaimana gelapnya “panggung belakang” pendidikan di sekolah negeri.
Saking greget tak terbendung, dia ungkapkan selapis demi selapis fakta buram yang telah lama dibiarkan menumpuk, hingga akhirnya membikin buram wajah pendidikan.
“Asal tahu saja, di bidang literasi, dari 1.066 SMA/SMK negeri dan swasta, hanya 627 sekolah yang punya perpustakaan. Dari jumlah itu, cuma 30 perpustakaan sekolah yang terakreditasi. Sisanya, kita sama-sama tahu gimana kondisinya. Itu yang selama ini dibiarkan,” ungkap mantan Kadisdik Kabupaten Lampung Selatan ini, masih dengan nada geram.
Catatan memprihatinkan itu dipaparkan Thomas di hadapan peserta Gebyar Literasi Nasional yang dihelat Relawan Literasi Lampung di Gedung Perpustakaan Daerah, Selasa (29/7/2025).
“Google Map” Pendidikan
Thomas mengakui akhirnya tidak lagi terlalu heran ketika mendapati angka IPLM (Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat) Lampung skornya hanya 64,21 persen. “Padahal angka rendah ini bisa diartikan gawat. Inilah faktanya,” ungkap dia.
Tak berhenti di situ. Thomas masih melanjutkan uraiannya atas kesemrawutan sistem pendidikan yang berlangsung selama ini. “Saya kasih tahu lagi,” sergahnya. Tahun ini ada 110 ribu siswa lulus SMA/SMK. Dari sekian banyak itu hanya 8,5 persen saja yang masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
“Terus, ada 136 sekolah yang tidak satu pun siswanya lolos PTN. Apa enggak gawat? Ini cilaka!” ungkapnya.
Sudah cukupkah kisah horor wajah pendidikan di Lampung? Ternyata, belum.
Thomas punya cerita lain. Menurutnya pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025, ada 7 ribu lebih siswa yang diterima di sekolah negeri. Nilai kelulusan mereka besar-besar. Minimal 95.
Tapi nyatanya, saat 3.663 di antara yang lulus tersebut, diuji menggunakan computer assisted test (CAT) hasilnya sangat mengejutkan.
“Dari 3.663 yang dites, hanya 3 anak yang berhasil dapat nilai di atas 80. Sedangkan sebagian besar lainnya di bawah 60. “Mau ngomong apalagi kita, kalau kenyataannya sudah begini. Ternyata nilai akademik yang tercantum tidak linier dengan isi kepala,” kata Thomas.
Dia lantas mempertanyakan peran guru dan kepala sekolah. “Semua ini karena guru tidak memberi google map ke murid,” katanya.
Google map yang dimaksud ialah rute penunjuk arah. Thomas memberi perumpamaan. Mestinya sejak seorang anak masuk SMA, guru sudah melakukan identifikasi apa minat dan mau kuliah dimana dia nantinya?

Dari informasi awal ini guru kemudian mengarahkan, sekaligus membekali anak didik. Misalnya, seorang siswa mau kuliah kedokteran di Universitas Indonesia. Sejak awal si anak sudah diberi gambaran. Apa-apa saja yang perlu dipelajari dan dikuasai. Sehingga sejak awal murid sudah punya gambaran tantangan apa yang bakal dihadapi.
Nah, masih menurut Thomas, di sini peran pendidik dibutuhkan. “Guru yang mesti mengarahkan dan membantu muridnya mengatasi tantangan tersebut. Misal, untuk masuk Kedokteran UI passing grade-nya 700. Setelah pelatihan tes ternyata si anak baru mencapai nilai 500. Guru yang mesti membimbing dan merumuskan formula apa yang harus murid lakukan. Biar berikutnya mampu menangani kekurangan nilai 200 tadi.
Jadi benar-benar ada tanggung jawab seorang guru. Ada Google map yang jelas yang bisa mengantarkan anak meraih cita-citanya. Bukan seperti sekarang, cita-cita murid lebih banyak menjadi harapan belaka.”
Guru Tidak Niat Mengajar
Kritik keras Thomas terhadap kinerja guru masih berlanjut. Dengan tegas dia menyebut, saat ini kecenderungannya guru tidak niat mengajar. Mereka hanya berorientasi bekerja. Kalau sudah mengajar di kelas itu dimaknai sebagai telah menunaikan pekerjaan.
“Kan, sebelumnya tidak pernah guru ditanya, selama menjadi guru, berapa anak didiknya yang telah berhasil diantarkan masuk PTN favorit? Enggak pernah, toh. Ya, karena itu tadi. Guru sudah tidak punya niat mengajar. Mestinya sebagai bentuk tanggung jawab sebagai guru, dia tahu jawabannya. Sudah sepuluh atau lima belas muridnya yang masuk UI atau Unila,” terang Thomas.
Keprihatinannya makin menjadi ketika mendapati seorang murid dari SMAN favorit yang belum bisa membaca. “Ada siswa SMAN di Bandarlampung yang belum bisa baca. Apa enggak ngeri itu!”
Itu semua karena akumulasi persoalan pendidikan yang tidak lekas diberesi. Thomas menyinggung kurikulum sebelumnya yang bertajuk Merdeka Belajar. “Saking merdekanya, sampai lupa untuk belajar,” singgungnya.
Perpaduan guru yang tidak niat mengajar dan anak yang enggan belajar, makin dibikin runyam dengan pola-pola penerimaan siswa, seperti penetapan zonasi, misalnya.
Menurut Thomas, sistem serupa itu melahirkan siasat. Wali murid mencari rumah yang dekat dengan sekolah idaman. Sedangkan si anak tidak punya tuntutan belajar, karena yakin pasti diterima di sekolah dekat rumahnya.
Sementara guru acapkali masih memakai rumus rajin sedekah. Sedekah nilai besar kepada murid-muridnya. Sebaliknya, wali murid juga pakai jurus ringan tangan bersedekah ke guru anaknya.
“Orang tua murid sedekah bingkisan ke guru, si guru sedekah nilai besar ke murid. Akhirnya terjadi yang saya sebutkan tadi, nilai besar tidak linier dengan isi kepala,” katanya.
Motivasi atau Ancaman
Tak sudi membiarkan praktik “aura gelap” terus berlangsung di dunia pendidikan, Thomas Amirico cepat-cepat mengambil sikap.
“Untuk meningkatkan prestasi ada dua cara. Pertama lewat motivasi. Kedua pakai ancaman,” jelasnya.
Rumusan itu yang bakal diterapkan kepada para guru dan kepala sekolah. Guru mesti menanggalkan paradigma lawas dan menggantikannya dengan kesungguhan niat mengajar. Mereka harus bertanggung jawab mengantarkan anak didiknya berhasil menggapai cita-cita.
“Bagi guru dan kepala sekolah yang pola berpikirnya tidak berubah, siap-siap saja dievaluasi. Karena cukup sudah kita abai selama ini. Sekarang waktunya buat berbenah. Sudah waktunya pendidikan di Lampung berubah,” pesannya.
Thomas tidak menghendaki lagi ada lulusan SMA yang diterima PTN semata berkat mengikuti bimbel di luar sekolah. Ada kecenderungan, masih menurut Thomas, pelajaran yang diberikan guru selama ini tidak muncul pada soal tes ke PTN.

Sebaliknya, dia mencermati, justru ada banyak materi pembelajaran dari lembaga bimbel yang keluar pada soal ujian.
“Jadi alangkah beruntungnya anak yang memang pintar dan orang tuanya kaya. Dia bisa sekolah di tempat favorit juga ikut bimbel. Akhirnya bisa diterima di PTN bergengsi. Tapi bagaimana dengan anak-anak di pelosok, seperti di Mesuji, misalnya. Pembelajaran dari gurunya tidak bisa dipakai untuk menjawab soal tes PTN, mau ikut bimbel tidak punya biaya,” kata Thomas.
Oleh karenanya, dia memastikan, kualitas guru-guru dan kepala sekolah akan menjadi salah satu perhatian prioritas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. “Saya tidak akan toleransi kalau masih ada guru dan kepala sekolah yang tidak bisa mengikuti ritme kerja berkualitas seperti yang diharapkan.”
Murid Wajib Baca dan Menulis
Selain memperbaiki kinerja guru dan kepala sekolah, Thomas mengemukakan, pihaknya akan segera meluncurkan program yang berkenaan dengan literasi di sekolah. Yakni kebijakan yang mewajibkan semua murid SMA/SMK untuk membaca dan menulis selama 10 menit di kelas setiap hari.
“Kita bebaskan murid mau menulis tema apa saja. Boleh pengalaman sehari-hari. Bisa juga tentang cerita dongeng. Apa pun, tuliskan saja. Karena selain membaca, siswa perlu mengasah nalarnya untuk menuangkan ekspresi dan pikirannya dalam format tulisan,” kata Thomas.
Pengembangan literasi di kelas ini dirasa penting, mengingat sudah merebaknya kebiasaan pelajar menghabiskan banyak waktu dengan gadget. Mulai dari ber-medsos-ria sampai bermain game online.
Upaya ini juga dianggap penting untuk menumbuhkan ketertarikan generasi muda terhadap budaya literasi. “Dalam waktu dekat ini, mungkin minggu depan, kebijakan itu kita mulai terapkan,” janji Thomas.
Generasi “Hilang”
Pada kesempatan itu Thomas juga menyoal kualitas pendidikan secara keseluruhan di Lampung. Dia mengerucutkan sudut pandang pada IPM atau Indeks Pembangunan Manusia.
Parameter IPM, sambungnya, merupakan ukuran yang digunakan untuk menilai tingkat pembangunan manusia di suatu wilayah. Ada tiga aspek utama yang menjadi pertimbangan penilaian yakni aspek kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak.
“Hari ini dari seluruh anak lulusan SMP pada 15 kabupaten dan kota di Lampung, hanya 64 persen yang melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Selebihnya 36 persen tidak sekolah,” urainya.
Mendapati fakta tersebut saja, bagi Thomas, sudah sangat memprihatinkan. Tapi ternyata ada yang lebih mengkhawatirkan lagi. “Kita tidak punya data ke mana anak-anak yang 36 persen itu. Siapa yang mau kita mintakan pertanggung jawaban. Apa kabupaten dan kota yang mesti menjelaskan ke mana anak-anak itu dan apa penyebab mereka tidak melanjutkan sekolah?”
Padahal, imbuh Thomas, kalau persoalan biaya yang menjadi penghalang, masih bisa diatasi dengan menggratiskan. Kalau pun karena kekurangan daya tampung, seperti kurang ruang kelas atau kurang jumlah sekolah, pemerintah masih bisa menyediakan prasarana baru.
Atau dengan memberdayakan kelas paket C. Bahkan, bila memang dibutuhkan, dapat pula menerapkan SMA Terbuka.
“Tapi persoalannya kita tidak bisa memperoleh jawaban secara akurat. Karena memang tidak ada datanya,” sesal Thomas.
Untuk itu, dia mengajak semua pihak, agar sama-sama memikirkan dan mencarikan solusi persoalan ini. Karena bagaimana pun juga anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah tetap merupakan generasi muda harapan daerah dan negara di masa depan. (*)