onghokham

‘Tetap Jadi Onghokham’, Sejarawan yang Ditulis oleh Sejarahnya Sendiri

0 Comments

‘Tetap Jadi Onghokham’, Sejarawan yang Ditulis oleh Sejarahnya Sendiri

0 Comments

Tak banyak orang tahu siapa Onghokham. Ia kalah nama dibanding Soe Hok Gie, Jhon Lie atau Ong Tjong Bing. Tapi, darinya banyak sejarah-sejarah kebudayaan yang cenderung pop terangkat ke permukaan dan kemudian dikenal. Tuyul salah satunya.

(Lontar.co): Medio 1970, saat menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang kini Fakultas Ilmu Budaya, Onghokham pernah berkelakar kepada mahasiswa-mahasiswanya,”penyebab utama kolonialisme itu adalah ibu-ibu”.

Mahasiswa-mahasiswanya kemudian sedikit terkejut termasuk Wilson, mantan aktivis , tapi Ong kemudian menebalkan,”rempah-rempah itu kebutuhan dapur, karena rempah-rempah itu untuk ibu-ibu, maka (kemudian) Barat melakukan penjajahan,” kata Ong seperti ditulis Wilson di ‘Sejarawan yang Jago Masak: Mengenang Ong Hok Ham.

Sebagai dosen, Wilson menyebut Ong sebagai dosen paling bengis, Ong adalah dosen ‘killer’ yang ‘terbiasa’ melempar penghapus ke mahasiswanya, jika tak mampu menjawab pertanyaannya.

Ong dan Sejarah Pop

Ong Hok Ham adalah noktah sejarah yang bisa disebut ‘menyimpang’, ia berbeda dengan sejarawan kebanyakan. Penelitiannya justru melenceng pada sejarah pop yang aktual di masa kemerdekaan dan orde baru.

Ia melenceng kemana-mana melalui artikelnya yang bertaburan di Tempo, Prisma, Jakarta Post hingga Kompas.

Ia intelektual publik, esais dengan diikat langsung oleh sejarah yang ia sukai, sebagaimana keinginan kuatnya yang lebih memilih jurusan sejarah yang sempat ditentang orang tuanya karena justru memilih masa depannya pada ‘masa lalu’, sementara banyak temannya lulusan HBS Surabaya yang pergi kuliah ke luar negeri.

Tapi memang Ong, sosok yang cenderung bosanan, karena ia sempat pula menempuh studi hukum, kemudian kembali lagi jurusan studi sejarah di Universitas Indonesia.

David Reeve sejarawan University of New South Wales, sahabat paling karib Ong Hok Ham pernah mengatakan itu, pada seminar Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah,”Ong memang tetap memilih menjadi warga Indonesia,” kata David Reeve.

Kerinduan Reeve pada Ong pula yang membuatnya menulis buku “Tetap Menjadi Onghokham” hingga setebal 564 halaman pada 2024 lalu, hasil terjamahan dari buku yang ia buat tahun 2022; ‘To Remain Myself: The History of Onghokham’.

BACA JUGA  R.I.P RTH Bandarlampung

Sebagai sejarawan tak kebanyakan, Ong malah menulis tema-tema sejarah yang ‘menyamping’, ia suka menulis esai pada sejarah-sejarah seni, seksualitas, kuliner hingga tempe, dan sejarah yang melingkupi kehidupan masyarakat Indonesia, Pulau Jawa khususnya, sebagai ‘penelitiannya’ .

Ia melepas rutinitas yang membelit seperti kebanyakan akademisi kampus, sebagai dosen sejarah, ia justru membangun penelitiannya lewat esai-esai yang kaya gagasan sekaligus kritik kepada pemerintah melalui media, meski ia pula tetap takzim pada begawan-begawan sejarah seperti; Taufik Abdullah maupun Sartono Kartodirjo.

Ong dan Tuyul

Suatu ketika di tahun 1985, selepas menjadi pembicara di sebuah seminar di Semarang, Ong yang bersahabat dengan Arief Budiman, bergegas menuju Salatiga, ke rumah karibnya itu.

Rumahnya teduh, mewah hasil rancangan Romo Mangunwijaya, seketika saja Ong berujar, bahwa; tuyul bukan hanya milik kebudayaan Jawa, tapi juga Barat. Semua yang ada di sana, segera saja bingung dengan ucapan Ong, tapi memang Ong berusaha menyesuaikan agar tak menyinggung sahabatnya Arief Budiman,”(Karl) Marx,” ujar Ong yang disambut tawa orang-orang yang sedang berada di rumah Arief Budiman.

Soal Karl Marx yang disebut Ong sama dengan Tuyul versi Jawa, ia punya penjelasan spesifik, ia bilang, tradisi Jawa bukan hanya terletak pada komunalisme, tapi juga sosialis. Ia juga merujuk peribahasa Jawa, ’mangan ora mangan anggere kumpul’ atau makan tidak makan yang penting kumpul, sebagai bukti sosialisme ala Jawa.

Maka, kemudian jika ada orang Jawa yang serta merta menjadi kaya kala itu, masyarakat di sekitarnya akan mengaitkannya dengan tuyul, dan itu berarti melenceng jauh dari konsep sosialis,”dia sudah jadi kapitalis,” ujar Ong lagi.

Tuyul ini yang kemudian bersusah payah membangun jurang antara si kaya dan si miskin, seperti kebanyakan kosakata pada penganut Marx; polarisasi kelas.

BACA JUGA  Betapa (Tak) Efektifnya Reses Anggota DPR Selama ini

Tuyul antara Jawa dan Marx, kata Ong, punya pendekatan yang sama dalam gagasan, anti borjuasi.
Ong memang mengeksploitasi tuyul dalam pendekatan kritiknya, sebagai orang yang disebut sebagai ahli tuyul, yang bahkan anjingnya ia beri nama Tuyul, Ong memakai kepercayaan mistis untuk rasionalitas ekonomis dalam banyak tulisan di esai dan buku-bukunya.

Hari-hari Ong di masa Orde Baru memang lebih banyak memakai tuyul sebagai kritik kerasnya di era Soeharto, tapi agar bisa lolos sensor dari pemerintah, ia pakai pendekatan yang klenik ini.

Lewat tuyul pula, Ong membaginya dalam konteks sosial sekaligus budaya, ia membuat tuyul seolah sebagai cermin dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap perubahan sosial yang begitu cepat.

Ada pula makna yang ia sampaikan khususnya terkait pemerintahan tanpa akar dukungan masyarakat sejatinya pasti akan gagal, korelasi ini juga pakai pendekatan tuyul dan tentu saja pemerintahan Soeharto kala itu.

Pada rezim tangan besi yang sempat memenjarakannya sampai dua kali itu, Onghokham juga bermain-main dengan istilah tuyul dan tentara Kempetai yang kejam, meski telunjuknya sebenarnya ingin menuding Orde Baru.

Dalam sebuah kolom yang ia buat di Tempo, Ong menjelaskan konsep kekuasaan dalam tradisi Jawa, sekali lagi Ong memang selain cinta dengan tuyul, ia juga cinta pada kebudayaan Jawa, menyebut bahwa kekuasaan bersumber pada wahyu, bukan justru dukungan langsung dari rakyat, sekali lagi ini saling berkorelasi pada; tuyul dan Orde Baru.

Ong yang Anti Tionghoa

Sebagai ‘keturunan’, Onghokham atau Ong Hok Ham yang biasa dipanggil Hans, kerap kali marah kepada kebanyakan ‘kelompoknya’ yang memilih bersikap tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya, apalagi dari dunia politik.

Kebanyakan keturunan, ia lihat tak pernah sekalipun bersentuhan dengan masalah-masalah Indonesia, sementara mereka tinggal, hidup dan mencari makan di Indonesia.

Sikap acuh ini, yang dilihat Ong, yang pada akhirnya membuat kebanyakan masyarakat Tionghoa menjadi rentan terhadap gejala-gejala pergeseran yang terjadi di Indonesia.

BACA JUGA  Makan (Tak) Bergizi Gratis

Soal dalih ketidakpedulian kebanyakan orang Tionghoa terhadap keadaan Indonesia hanya demi mempertahankan identitas ketionghoaan mereka justru berbalik memangsa mereka sendiri.

Dengan pandangannya ini, Ong bahkan dikucilkan oleh keluarganya sendiri dan mengolok-oloknya dengan sebutan yang rasis, tapi kemudian Ong mulai terpikir bahwa sebenarnya dirinya memang benar-benar anti tionghoa, karena ia menilai untuk bisa lebih maju, idealnya orang Tionghoa harus menjadi Indonesia. Soal ini bahkan, ia pernah bersama peneliti William Skinner menemukan kampung Tionghoa di daerah Madura yang ciri ketionghoaannya semakin hilang seiring proses asimilasi mereka dengan penduduk lokal, bahkan orang Tionghoa di sana kebanyakan menjadi petani.

Sejarah kolonialisme pula, yang menurut Ong, telah membentuk kebanyakan orang Tionghoa terpisah dengan penduduk Indonesia, karena ketika Belanda menjajah, mereka secara kasar membelah orang-orang Tionghia dan penduduk Indonesia lewat tindakan diskriminatif dalam hal ekonomi, hukum dan pendidikan, yang kemudian diwariskan secara turun temurun lewat trauma.

Meski menyalahkan warisan pecah belah kolonialisme, tapi Ong tetap pula menyalahkan kalangan Tionghoa yang tetap berjarak.

Dalam buku ‘Tetap Jadi Onghokham’, Reeve mengutip pernyataan Ong tentang kalangan Tionghoa ini. “Mereka punya banyak uang, tapi mereka tidak tahu bagaimana punya rumah yang indah. Mereka tidak tahu cara menikmati hidup,” tulis Reeve mengutip Ong.

Ong memang cuma sejarawan gambot, tapi darinya banyak nukilan sejarah yang ia lahirkan di buku-bukunya, dan pula lewat esai dan kritik-kritiknya yang ia sisipkan dari potongan-potongan sejarah yang relevan ketika itu.

Pada akhirnya, Onghokham atau Ong Hok Ham yang biasa dipanggil Hans, bukanlah sosok sejarawan yang sempurna, banyak kelakuan-kelakuan ‘nakal’ yang ia lakukan, termasuk orientasinya, dan pula kebiasaannya berpesta dan minum-minuman keras yang ditulis panjang lebar oleh Reeve di

‘Tetap Jadi Onghokham’ sebagai obat rindunya selepas Onghokham berpulang tahun 2007 lalu.

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]