Tag: pemprov lampung


  • Lewat Work From Anywhere (WFA) alias “kerja dari mana aja” diyakini bisa meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keseimbangan kehidupan kerja aparatur sipil negara (ASN). Bagaimana ketentuan serta implementasinya di Lampung? Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Marindo Kurniawan kasih bocorannya.

    (Lontar.co): Terbitnya Peraturan Menteri PAN-RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) Nomor 4 Tahun 2025, yang mengatur pelaksanaan tugas kedinasan pegawai ASN secara fleksibel, dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan dinamika kerja yang semakin berubah.

    Kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan keseimbangan hidup pegawai. Dengan kata lain, setelah diterapkan, diharapkan ASN dapat bekerja secara lebih fokus, adaptif, dan seimbang, baik secara lokasi maupun waktu. Pada akhirnya, regulasi tersebut hadir sebagai upaya mewujudkan reformasi birokrasi.

    Untuk Provinsi Lampung, Sekdaprov Marindo Kurniawan kepada Lontar.co menerangkan, “Saat ini Pemprov Lampung sedang mempelajari dan memperhatikan penerapan fleksibilitas tugas kedinasan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah dan pegawai yang ada”.

    Sekda menambahkan, fleksibilitas yang diterapkan mencakup fleksibilitas lokasi dan waktu kerja yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kinerja, tentunya tanpa mengurangi efektifitas pelaksanaan tugas kedinasan.

    Masih menurut Marindo, pemprov juga terus berupaya memastikan agar penerapan fleksibiltas ini dapat mengikuti regulasi yang berlaku dan mengakomodir kebutuhan di daerah.

    “Tapi implementasi kebijakan WFA ini perlu juga dilihat dari kesiapan kita, sehingga bukan malah berdampak negatif pada kinerja,” jelasnya.

    Marindo memastikan, hingga sekarang Pemprov Lampung sedang berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri terkait penerapan fleksibilitas tersebut.

    Kemendagri Susun Panduan

    Sementara diketahui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan menyusun panduan sebagai respon diterbitkannya Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025. Hal itu seperti disampaikan Wamendagri Bima Arya Sugiarto. Panduan ini nantinya akan menjadi acuan bagi ASN di pemerintah daerah (pemda)l.

    “Perlu ada rumusan aturan detail terkait teknis pelaksanaan, asesmen, dan monev-nya, untuk dijadikan tolak ukur. Jadi semacam panduan. Biar teman-teman ASN di daerah punya acuan untuk melakukan pemantauan dan monitoring,” kata Bima, seperti dilansir dari Kompascom, Sabtu (21/6/2025) lalu.

    Bima juga menggaris bawahi, hal utama yang perlu dicermati dalam kebijakan WFA bagi ASN adalah dijalankannya pengawasan maksimal terhadap setiap unit kerja. Dengan demikian, imbuhnya, kinerja ASN tetap produktif karena memiliki tolak ukur serta pengawasan. “Itu semua segera kita bahas,” terang Bima.

    Jika mencermati Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 pada pasal 13 disebutkan, WFA ASN secara lokasi dapat dilakukan paling banyak dua hari kerja dalam satu minggu. Namun, fleksibilitas kerja secara lokasi dikecualikan bagi ASN yang karakteristik tugasnya harus melaksanakan tugas kedinasan di luar kantor, atau ASN dengan keadaan khusus. 

    Pasal 10 menyebutkan, “Keadaan khusus pegawai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b merupakan situasi atau kondisi pegawai ASN yang memerlukan penyesuaian fleksibilitas kerja untuk memenuhi target kinerja dengan tetap memperhatikan ketentuan hari kerja pegawai ASN dan jam kerja pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    Sementara dikutip dari Antara, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyambut hangat kebijakan tersebut. Melalui Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, sistem kerja WFA dinilai memiliki potensi untuk mendukung pemberdayaan perempuan, khususnya dalam hal keseimbangan antara peran domestik dan profesional.

    Menurut Woro, perempuan sering kali menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga. Dengan diberlakukannya sistem kerja yang fleksibel, ASN perempuan dapat tetap menjalankan fungsinya secara optimal, tanpa harus meninggalkan tanggung jawab pribadi.

    “Sebenarnya ini bisa memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja produktif tanpa harus meninggalkan peran-peran mereka yang lain,” ujar Woro. Ia menambahkan, model kerja fleksibel seperti ini memungkinkan perempuan untuk tidak perlu “curi waktu” demi menjalankan tanggung jawab domestik.

    Dukungan senada juga disampaikan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Antar Lembaga, Estiarty Haryani, menganggap fleksibilitas kerja dapat meningkatkan produktivitas ASN karena pekerjaan dapat diselesaikan dari lokasi mana pun, selama tetap memenuhi tanggung jawab dan target kerja.

    “Untuk meningkatkan produktivitas, bisa bekerja di mana saja, tidak selalu harus di kantor,” ujar Estiarty.

    Bercermin dari Kemenkeu

    Sebelum kebijakan WFA bagi ASN diterbitkan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah lebih dulu menerapkan sistem kerja fleksibel sejak tahun 2022. Melalui survei bertajuk Flexible Work Arrangement (FWA) yang dilakukan pada 1 September hingga 7 November 2025, ditemukan bahwa mayoritas ASN di kementerian tersebut menyambut baik sistem kerja WFA.

    Sebanyak 90,22 persen responden menyatakan lebih puas dengan sistem kerja fleksibel dibandingkan dengan sistem kerja konvensional. Selain itu, 90,73 persen dari mereka mengaku tetap mampu memenuhi target kinerja yang telah ditetapkan.

    Kementerian Keuangan menilai bahwa sistem kerja fleksibel tidak hanya meningkatkan kepuasan pegawai, tetapi juga berdampak positif terhadap efektivitas kerja dan efisiensi anggaran.

    Hasil survei tersebut dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan Permenpan-RB Nomor 4 tahun 2025, dan dipublikasikan di situs resmi Kemenpan-RB sebagai bahan dari materi sosialisasi kebijakan.(*)


  • singkong

    Meski Pemprov Lampung dan Kementan sudah menetapkan harga dasar singkong Rp1.350 per kilogram, kenyataannya masih banyak perusahaan yang tak mengindahkan ketentuan itu. Akibatnya, petani singkong makin terpuruk, sementara perusahaan terus memonopoli harga dengan berbagai dalih. Ini pola yang terus berulang, tapi pemerintah tak pernah mau mengantisipasinya.

    (Lontar.co): Setelah panen ini, Syafrin tak akan pernah lagi menanam singkong di lahannya. Ia kapok, hasil panen kali ini bahkan tak mendapat untung sama sekali.

    “Jangankan untung, nombok iya,” ujar petani singkong di Desa Hajimena, Natar ini kesal.

    Saat musim panen, ia bahkan sempat tak ingin memanen singkong-singkongnya, karena tak punya biaya untuk membayar upah cabut dan transportasi.

    Ia terpaksa berhutang ke kerabatnya untuk modal panen,”sakit bener rasanya. Dipanen rugi, nggak dipanen tambah rugi”.

    Padahal, sebelumnya ia sempat tenang dengan adanya instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penetapan Harga Ubi Kayu di Provinsi Lampung, yang menetapkan harga singkong Rp1.350 per kilogram, potongan rafaksi maksimal 30 persen.

    “Sudah saya itung-itung, kalau pake harga Rp1.350 masih dapat untung sedikit,” ujarnya.

    Tapi, setelah mendekati masa panen, ia terkejut karena harga singkong di pengepul maupun di pabrik hanya Rp.1.050 per kilogram.

    Hitung-hitungannya, dengan nilai jual yang hanya Rp1.050 per kilogram dengan rafaksi sampai 35 persen, Syafrin hanya dapat uang bersih sekitar Rp500 per kilo, Ia tak berkutik.

    “Gubernur aja dilawan apalagi petani macam kita,” keluhnya.

    Kondisi serupa juga dialami Idi Amin, petani singkong di daerah Ketapang, Sungkai Selatan, Lampura, dari 5 hektare kebun singkong miliknya, pada panen kali ini hanya menghasilkan uang kurang dari Rp2 juta.

    Padahal, modal yang ia keluarkan sejak dari masa tanam sudah mendekati angka penjualan. Itu belum termasuk biaya panen, upah buruh cabut dan masih pula kena potongan rafaksi sampai 40 persen.

    “Sudah keterlaluan memang. Sudah capek-capek ngurus kebon, pas panen harganya dimain-mainin begini,” ujarnya kecewa.

    Penantiannya selama lebih dari 10 bulan sejak dari masa tanam hingga panen terasa sia-sia.

    “Jangankan balik modal, untuk biaya produksi aja nggak nutup”.

    Ia kecewa dengan Pemprov Lampung yang tak tegas dalam menegakkan aturan yang mereka buat sendiri.

    “Seharusnya, instruksi gubernur itu diiringi dengan pengawasan juga, jangan cuma sekedar buat instruksi tapi pengawasannya tidak ada,” keluhnya.

    Imbasnya, petani singkong mulai berencana beralih ke jagung.

    “Saya nggak mau lagi nanem singkong, cukup ini aja yang terakhir,” kata Aris Munandar petani singkong lainnya di Ketapang, Sungkai Selatan.

    Kecenderungan petani singkong untuk men-diversifikasi singkong ke jagung bisa jadi pola yang terulang kembali, ketika petani lada dan kopi membabat habis tanamanya dan menggantinya dengan singkong di awal-awal tahun 90-an lalu karena harganya yang terus merosot.

    Setelah diversifikasi, arah angin memang berpihak ke petani, harga singkong yang terus meroket membuat petani sumringah.

    Lada dan kopi yang sempat menjadi identitas Lampung kala itu perlahan tenggelam dengan gegap gempita singkong.

    Gubernur Pudjono Pranyoto bahkan sempat khawatir luar biasa, model bercocok tanam petani yang amat tergantung dengan harga komoditas. Ia tak melihat ada konsistensi pada budidaya, sama seperti ketika lada dan kopi yang yang membentuk identitas Lampung di masa lalu.

    Tapi, petani tetap jalan terus.

    Daerah-daerah seperti Lampung Timur yang semula identik dengan lada, bersalin rupa menjadi lumbung-lumbung singkong.

    Singkong kala itu menjadi sebuah fenomena luar biasa. Ia tren baru tak hanya di sektor pertanian tapi juga gaya hidup. Minimnya suplai singkong ke industri-industri pengolah, membuat harganya dinamis dan cenderung naik.

    Orang kaya-orang kaya baru dari singkong bermunculan. Sama seperti ketika lada dan kopi masih mendominasi, desa adalah tambang uang yang sebenarnya waktu itu.

    Kepala Bappeda Lampung yang kala itu masih dijabat eks Menteri Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar bahkan harus merumuskan kebijakan tata ruang wilayah seiring masifnya tanaman singkong di Lampung.

    Tapi, petani tak peduli, singkong adalah masa depan baru buat mereka. Untung rugi buat mereka hanya dihitung dengan jalan pintas; masa tanam dan harga jual yang kemudian dibandingkan dengan lada maupun kopi.

    Selama periode awal 90-an hingga tahun 1998, harga singkong mencapai puncak keemasannya. Tren diversifikasi pun terus berlangsung. Sejauh-jauh mata memandang, Lampung hanya tentang budidaya singkong.

    Sampai kemudian, ketika kepemimpinan Pudjono beralih ke wakilnya, Oemarsono, harga singkong mulai fluktuatif. Saat musim tanam harga melonjak, tapi saat panen harga anjlok.

    Permasalahan ini sebenarnya sepele, di saat musim panen, singkong membanjiri pasar, tapi tak semuanya bisa terserap oleh pasar; suplai tinggi permintaan rendah, suplai tinggi harga anjlok, dari sini petani mulai menjerit-jerit kembali.

    Sementara, lahan-lahan sudah berubah total jadi kebun-kebun singkong yang subur.

    Ini jadi pe er buat Oemarsono di awal-awal kepemimpinannya.

    Tingginya produktivitas singkong yang tak sebanding dengan daya serap dan harga ini, kemudian menjadi bahan telaah serius. Ia melihat, fenomena ini harus ada solusi agar produksi bisa terserap sepenuhnya, atau setidaknya jika tak semuanya diserap industri ada alternatif cara pengolahan lain, sehingga tak terus tergantung dengan industri.

    Misi Oemarsono ini kemudian diterjemahkan Haris Hasyim dengan merumuskan program Desaku Maju Sakai Sambayan (DMSS), semua digandeng termasuk akademisi yang ahli di bidang pertanian hingga ekonom-ekonom Unila pada waktu itu, untuk urun pikiran mencari solusi.

    ‘Produk’ turunan dari Desaku Maju Sakai Sambayan hasil rumusan stake holder ini yang kemudian dikenal dengan program Industri Tapioka Rakyat atau Itara

    Sebagai regulator, pemerintah memfasilitasi bantuan mesin-mesin penggiling singkong untuk dijadikan tepung yang disalurkan melalui koperasi-koperasi yang ada di desa.

    Saat itu, Itara efektif menyerap singkong-singkong petani yang merata di desa, konsepnya juga matang, dari petani untuk petani, dari hulu hingga hilir.

    Singkong hasil panen serapannya dipecah dalam dua konsentrasi, untuk industri dan untuk pengolahan sendiri. Itara sukses mendongkrak kesejahteraan petani, dengan menambah nilai guna singkong yang tak hanya dijual mentah.

    Sejak itu, budidaya singkong memang terus bertahan dan dipertahankan, dan malah makin meluas.

    Itara juga yang secara tak langsung menjadikan Lampung sebagai produsen singkong terbesar di Indonesia. Tahun 2024 lalu saja, total produksi singkong mencapai 7,9 juta ton, bandingkan dengan Jawa Tengah di urutan kedua yang hanya mampu memproduksi 2,9 juta ton singkong tahun 2024.

    Dengan luas lahan budidaya hingga 254 ribu hektare, Lampung menyumbang 51 persen total produksi singkong nasional, yang menempati Indonesia di urutan kelima, produsen singkong terbesar di dunia.

    Jika merujuk data Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Lampung tahun 2024, kontribusi singkong terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung mencapai 8 persen dari total PDRB Lampung yang nilainya Rp480 triliun per tahun. Dengan kata lain, uang yang beredar di Lampung setiap harinya itu, sebagian besar berasal dari singkong dan produk turunannya.

    Era Oemarsono bisa dikatakan masa-masa bulan madu buat petani singkong Lampung.

    Ketika kepemimpinan beralih ke Sjahroedin ZP, singkong mulai terpinggirkan, fokus tiap pemimpin mulai bercabang, riak gejolak di petani singkong mulai muncul, apalagi pengembangan program Itara juga mulai terbengkalai sejalan dengan arah kebijakan masing-masing pemimpin, belum lagi industri tapioka mulai menancapkan pengaruh pada harga singkong.

    Hasil telaah Bank Indonesia dalam Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Pengolahan Tepung Tapioka tahun 2004 menyebut, banyak Itara yang tak bisa bersaing dengan industri besar dalam pengadaan bahan baku singkong, selain itu mereka juga mulai kesulitan dalam memasarkan produk-produknya.

    Ada pihak ketiga yang berusaha memonopoli. Tudingan mengarah ke industri tapioka yang mencoba menguasai lini. Harga dibuat tinggi, sehingga banyak petani yang kemudian mengalihkan hasil panennya ke industri daripada ke Itara.

    Saat itu, produksi singkong memang sedang benar-benar berada di puncak, agak masuk akal jika kemudian industri mengincar hasil-hasil panen dengan iming-iming harga terbaik.

    Setelah Itara gulung tikar, praktis industri tapioka makin menguasai dan menggurita, monopoli harga singkong pun mulai dilakukan, harga singkong kembali anjlok, petani merugi dan tak berdaya.

    Inisiatif kemudian dilakukan dengan membuka keran investasi melalui pengembangan singkong untuk bahan ethanol—sejenis alkohol untuk bahan bakar.

    Keran investasi dibuka tahun 2004, investor ramai-ramai membangun pabrik ethanol di Lamteng, Lamtim dan Lampura.

    Ethanol menjadi angin segar buat petani, harga singkong kembali bersaing, waktu itu di angka Rp1.000 per kilo, setidaknya untuk mengimbangi dominasi industri tapioka yang semaunya membanting harga singkong.

    Kartel singkong rupanya merasa tersaingi dengan keberadaan ethanol. Ada kesan, harga singkong seperti diombang-ambing tapi trennya dibikin terus naik oleh industri tapioka, tujuannya jelas untuk membungkam industri ethanol yang mengancam eksistensi mereka, seperti Itara dulu.

    Dulu, tahun 2004-2006, harga singkong Rp1.000 per kilo adalah harga terbaik saat itu, oleh industri tapioka harga ini dinaikkan kembali menjadi Rp2.000 per kilo. Harga yang sangat fantastis untuk ukuran petani singkong kala itu, dengan marjin kenaikan hingga 100 persen.

    Praktis, hasil produksi yang semula diserap dalam dua industri berbeda; tapioka dan ethanol, setelah industri tapioka menaikan harga singkong versi mereka, petani jelas lebih memilih menjual singkongnya ke industri tapioka daripada ethanol yang masih bertahan di angka Rp1.000 per kilo.

    Nasib ethanol seperti mengulang Itara, ikut tumbang karena tak mampu membeli hasil panen di atas harga Rp1.000 per kilo, apalagi saat itu, kebanyakan pabrik ethanol di Lampung baru berkembang.

    Tak tanggung-tanggung, perusahaan internasional sekelas PT Medco Energi harus menelan kerugian hingga $20 juta akibat persaingan harga dengan industri tapioka.

    Alasan penutupan juga sama dengan Itara dulu, pabrik-pabrik ethanol kesulitan mendapat bahan baku, karena singkong habis diserap oleh industri tapioka.

    Selepas ethanol tutup, praktis industri tapioka kembali menguasai keseluruhan rantai industri, disini harga singkong kembali turun.

    Sejak itu, pemerintah seperti sudah mulai patah arang, singkong memang sudah tak terlalu diperhatikan. Seperti dilepas begitu saja ke pasar, apalagi di era Ridho dan Arinal.

    Pemerintah cenderung fokus ke masalah infrastruktur, yang memang jadi masalah yang tak berkesudahan buat tiap periode pemimpin, masalahnya hanya itu-itu saja, dan singkong makin tersisih.

    Belum lagi, membanjirnya singkong impor dari Thailand dan Filipina di Indonesia juga makin memperparah keadaan.

    Secara kualitas, singkong asal Thailand dan Filipina memang jauh jika dibandingkan dengan singkong lokal, demikian juga soal harga.

    Apalagi, produktivitas singkong di kedua negara itu melebihi kemampuan produksi singkong lokal, di Thailand dan Filipina, produktivitas singkong per hektar rerata sudah mampu menghasilkan hingga 50 ton, sedangkan di Indonesia masih sekitar 25 ton per hektar.

    Saat harga singkong terus terpuruk dan singkong impor memenuhi gudang-gudang industri tapioka, gejolak petani tak lagi dapat dibendung.

    Gelombang aksi muncul, dari yang semula berupa riak-riak kecil di tiap daerah-daerah sentra singkong kemudian menggumpal hingga ke Lapangan Korpri Pemprov Lampung.

    Gelombang aksi paling besar petani singkong setidaknya sudah dua kali terjadi sepanjang 2024-2025, hingga berujung terbitnya Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025, yang salah satu poinnya menetapkan harga beli singkong minimal Rp1.350 per kilo dengan rafaksi maksimal 30 persen.

    Tapi, pasca instruksi itu ditandatangani, petani singkong tetap saja seperti dipermainkan, masih banyak industri dan pengepul yang menetapkan harga jauh di bawah ketentuan Instruksi Gubernur Nomor 2/2025 dengan standar rafaksi hingga lebih dari 35 persen (.)



  • Koperasi merah putih sedang naik daun. Banyak orang mendadak memperbincangkannya. Memangnya seistimewa apa lembaga ini, sampai pemerintah memandang perlu menyuntikkan modal awal hingga Rp3 miliar per koperasi.

    (Lontara.co): Kalau ada mau, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo bisa dibilang bakal ngotot mewujudkannya. Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan Danantara, contohnya. Lalu berikutnya koperasi merah-putih.

    Khusus untuk program yang paling belakang disebut, pemerintah memasang target tidak tanggung-tanggung. Pada 28 Oktober 2025 nanti tak kurang 80 ribu koperasi merah putih mesti sudah beroperasi.

    Namun ada pula yang berpandangan, kendati sama-sama berfungsi sebagai koperasi desa, kopdes merah putih dan KUD dinilai memiliki perbedaan mendasar baik dari aspek pendirian, pengelolaan, hingga tujuan dan model bisnisnya.

    Lantas apa maksud membentuk koperasi sebanyak itu, sementara sudah ada seabrek koperasi selama ini.

    Secara garis besar koperasi desa/kelurahan (kopdeskel) merah putih diwajibkan mempunyai tujuh unit usaha yakni kantor koperasi, kios pengadaan sembako, unit bisnis simpan pinjam, klinik kesehatan desa/kelurahan, apotek desa/kelurahan, sistem pergudangan/cold storage, dan sarana logistik desa/kelurahan. Termasuk Sebagai agen penyalur LPG 3 kg hingga pupuk subsidi.

    Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pernah bilang, “Koperasi merah putih akan menghilangkan peran tengkulak dan rentenir di desa. Sekaligus menciptakan ekonomi kerakyatan berbasis desa”.

    Untuk mewujudkan harapan tersebut, Zulhas sapaan akrab Zulkifli Hasan, tidak menampik pemerintah akan memberi dukungan penuh. Termasuk memberi modal awal hingga Rp3 miliar untuk setiap koperasi.

    Tapi dengan catatan. Duit tersebut mesti dikembalikan. Sebab pemberian sifatnya pinjaman. Bukan hibah. “Perlu diingat ini ada plafon kreditnya, plafon pinjaman. Mesti dicicil selama enam tahun,” kata Zulhas, Jumat (16/6/2025).

    Lebih lanjut dia menjelaskan, penggunaan dana akan disesuaikan dengan proposal yang diajukan koperasi. Misalnya, koperasi mengajukan pembangunan gudang senilai Rp1 miliar. Maka bank akan melakukan verifikasi. Jika hanya disetujui Rp200 juta, maka jumlah itulah yang akan dicairkan.

    Pemerintah, sambung Zulhas, memang menginginkan koperasi merah putih dapat berjalan secara profesional dan transparan. Modal awal dalam bentuk pinjaman itu nantinya disalurkan melalui kredit dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

    Sementara Menteri Koperasi dan UKM, Budi Arie Setiadi, meyakini program pembentukan 80 ribu koperasi ini, bakal mampu menciptakan 1 hingga 2 juta lapangan kerja baru di desa. “Itu jelas bukan angka yang kecil,” katanya.

    Lampung Toreh Prestasi

    Pengurus Koperasi Gapoktan Rukun Santoso bisa dibilang cepat tanggap. Koperasi yang sudah berjalan 8 tahun di Desa Bumisari, Natar, ini lekas menangkap peluang untuk mengejawantah menjadi koperasi merah putih.

    Melalui musyawarah desa, pada 14 Mei lalu, koperasi yang diketuai Diktri Ariansyah, langsung tercatat sebagai koperasi merah putih pertama di Lampung. Sebagai bentuk apresiasi, Menteri Zulhas datang meninjau. Dia didampingi oleh Wakil Menteri Koperasi, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Wakil Menteri Dalam Negeri.

    Diktri Ariansyah menjelaskan, koperasi yang dipimpinnya telah mengurus administrasi hukum umum (AHU) sebagai legalitas pendirian koperasi di notaris. Dia menambahkan, koperasi ini juga memiliki lahan milik desa seluas 3.800 meter persegi.

    “Letak lahannya strategis. Berada di samping sekolah. Kami melihat ini bisa dimanfaatkan untuk pengelolaan dapur makan bergizi gratis. Pertimbangannya di desa ini ada 7 ribu siswa dari empat sekolah,” urainya, Rabu (28/5/2025) lalu.

    Diktri berharap kalau usulan ini bisa ditindaklanjuti sebagai unit bisnis koperasi, jelas berdampak memperkuat bisnis koperasi dari hilir sampai hulu.

    Sementara berdasarkan catatan pada website merahputih.kop.id hingga Kamis (12/6/2025), jumlah koperasi desa/kelurahan merah putih di Lampung telah mencapai 2.651 unit. Jumlah ini disebut-sebut sudah memenuhi target 100 persen.

    Diakui Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Lampung, Samsurijal Ari, pihaknya memang menggenjot pelaksanaan musyawarah desa sebagai langkah awal pembentukan koperasi merah putih.

    Sampai-sampai, imbuhnya, Lampung menjadi daerah tertinggi dengan capaian desa yang telah menggelar musyawarah desa. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan pembentukan akta notaris yang nantinya akan diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). “Itu sebagai legalisasi badan hukumnya,” kata Samsurijal, Kamis (12/6/2025).

    Dia juga menguraikan, nantinya Pemprov Lampung akan memberikan pendampingan. Terutama dalam menjalankan program bisnis koperasi.

    Sedangkan Pj. Sekretaris Daerah (Sekda), M. Firsada, mengatakan dalam upaya memperkuat pengawasan, pemprov akan mempercepat pembentukan satuan yugas (Satgas) koperasi desa merah putih.

    Sebagai cermin keseriusan pemerintah daerah, satgas diketuai langsung oleh Gubernur Rahmat Mirzani Djausal. Sementara Dinas Koperasi dan UKM sebagai sekretariat. “Satgas memastikan progres pembentukan koperasi di seluruh desa berjalan sesuai harapan,” pungkas Firsada.(*)