Tag: lampung barat


  • Waktu berbuka puasa baru berlalu. Letkol Inf Rinto Wijaya menunjukkan air muka cemas. “Ini mengkhawatirkan. Harus diambil tindakan. Sudah ada empat korban. Tiga tewas. Satu luka berat. Saya punya firasat, kalau ini terus dibiarkan bakal jatuh korban lagi,” ucapnya pelan penuh keprihatinan. Siapa nyana, kekhawatiran di bulan Ramadhan 2025 lalu itu kiranya terbukti.

    (Lontar.co): Pagi itu Selasa, 27 Mei 2025, bukan Letkol Rinto yang cemas. Dandim 0422 Lampung Barat (Lambar) ini sedang berada di kantornya, ketika beberapa orang di wilayah administratif Pekon Sukadamai, Kecamatan Air Hitam, Lambar, terlihat gusar.

    Sebelumnya orang-orang ini sudah mendatangi “kebun kopi” garapan Sudarso. Biasanya rekannya itu beraktivitas di sana. Tapi yang dicari tidak terlihat. Bergeser tak terlampau jauh, sampailah mereka ke gubuk tempat Sudarso tinggal. Idem ditto. Tuan rumah tetap tak tampak batang hidungnya.

    Sebenarnya bukan hal aneh kalau Sudarso tidak tampak, bahkan hingga seharian sekalipun. Rekan-rekannya masih akan berpikiran lelaki 59 tahun itu mungkin sedang turun ke perkampungan, membeli logistik untuk keperluan beberapa hari ke depan. Tapi ini sudah hari kedua dia tidak terlihat. Artinya, bukan lagi hal lumrah.

    Apalagi buat mereka yang keseharian memang berada di kawasan hutan. Risiko terburuk -bertemu binatang buas- yang telah menjadi “tetangga” terdekat mereka adalah sebuah keniscayaan.

    Tak tahan didera rasa cemas, rekan-rekan Sudarso lantas melaporkan kejadian janggal ini ke petugas. Sebagai responnya tim gabungan langsung bergerak. Tim terdiri dari berbagai unsur. Mulai dari anggota Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS), Kodim 0422, dan tim INAFIS Polres. Tak ketinggalan aparat desa setempat dan warga diajak serta. Mereka mengawali pencarian dari gubuk milik Sudarso.

    Di lokasi, tim gabungan menyebar. Meski tetap saling berdekatan. Mereka tentu sangat paham menerapkan SOP. Terlebih medan yang dijajaki berada pada zona rehabilitasi kawasan TNBBS atau pada Register 46B Gunung Sekincau. Area yang sejatinya rimba belantara.

    Perlahan namun cermat, sambil membagi konsentrasi untuk tetap waspada dengan keadaan sekitar, tim bertolak menyusuri area sekitar. Belum juga beranjak lebih 50 meter dari gubuk Sudarso, beberapa anggota mendapati temuan yang membikin nafas mereka tertahan. Ketika itu jam menunjukkan pukul 09.00 WIB.

    Di balik semak belukar didapati kepala manusia sudah terpisah dari badan. Bercak darah kering juga terlihat di sekitarnya. Tak berselang lama tim pun menemukan cabikan kain baju berserak. Rekan-rekan Sudarso mengenali semua itu. Pupus sudah harapan mereka untuk bisa bersama lagi dengan lelaki setengah baya tersebut.

    Sudarso tewas. Tanda-tanda menunjukkan dia diterkam binatang buas. Pihak BBTNBBS menengarai telah terjadi interaksi negatif antara manusia dengan harimau Sumatera. Tak hanya melalui kondisi fisik korban yang sudah tidak utuh lagi, petugas memperoleh petunjuk lain yang makin meruncingkan dugaan.

    Saat melangsungkan verifikasi di lokasi kejadian, pihak BBTNBBS menemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Itu ditandai lewat jejak tapak berukuran panjang 14 cm dan lebar 15 cm. Lalu terlihat pula bantalan dengan panjang 6 cm dan lebar 7 cm. Terakhir petugas menemukan kotoran harimau Sumatera yang akan ditindak lanjuti dengan proses uji DNA. Kuat dugaan interaksi negatif Sudarso dan harimau terjadi pada Minggu, 25 Mei 2025.

    “Korban ini punya adik. Keduanya bersama beberapa orang lainnya dikenal sebagai penduduk musiman. Mereka datang menjelang panen kopi. Bisa dibilang perambah di kawasan. Membuka hutan untuk dijadikan perkebunan kopi,” terang Husain, peratin setempat.

    Keterangan bahwa Sudarso bukan warga pribumi sejalan dengan informasi yang dirilis BBTNBBS. Belakangan diketahui korban tercatat sebagai warga Dusun Karang Randu, Desa Jumo, Kecamatan Kedung Jati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sebuah wilayah nun jauh dari Lambar.

    Warning dari Petinggi Lampung

    Interaksi negatif harimau Sumatera dan manusia di Kabupaten Lambar sudah banyak memakan korban. Dengan kejadian Sudarso, genap sudah 5 korban. 4 tewas, seorang di antaranya selamat, meski dirundung luka parah di bagian kepala dan mesti menerima belasan jahitan dari tenaga medis. Semua rangkaian kejadian itu berlangsung sejak 8 Februari 2024 hingga 27 Mei 2025.

    Namun selang sebulan persis sebelum peristiwa Sudarso, melalui keterangan yang dihimpun dari berbagai sumber diketahui, keprihatinan Letkol Rinto ternyata direspon Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal. Tak butuh lama, gubernur baru ini, langsung mendatangi hutan konservasi TNBBS. Menumpang helikopter gubernur mendarat di lapangan Pekon Suka Marga, Suoh, Minggu (27/4/2025).

    Tak tanggung-tanggung bersamanya turut serta Komandan Korem 043/Gatam Brigjen TNI Rikas Hidayatullah didampingi Dandim Letkol Rinto dan Kapolda Irjen Pol Helmy Santika. Usai rapat tertutup mereka menemui warga setempat untuk menyerap aspirasi terkait ulah perambah yang masif penetrasi di konservasi TNBBS.

    “Ini sudah menyangkut nyawa manusia. Apalagi kejadiannya di kawasan konservasi TNBBS yang mestinya steril dari pemukiman perambah,” kata Gubernur Mirza, ketika itu.

    Sementara Kapolda Helmy memberikan warning. “Saya minta warga yang hadir bisa sampaikan ke tetangga atau saudara yang masih merambah di TNBBS. Anggap saja ini sebagai warning. Peringatan. Jangan kaget kalau penanganan ini sudah diambil alih Pemprov Lampung. Kalau sudah diberi sosialisasi persuasif tapi masih juga ada yang ngeyel, akan kita ambil tindakan hukum secara tegas. Saya harap perambah sadar dan bisa segera meninggalkan kawasan hutan konservasi,” tegasnya.

    Dukungan senada turut disampaikan Danrem Rikas. “TNI siap mendukung kebijakan Pemprov Lampung. Anggota kami pun selama ini sudah aktif sosialisasi ke perambah. Nanti melalui kolaborasi TNI bersama Polri dan pemerintah Lampung, kita gelar kegiatan yang lebih efektif lagi,” ungkapnya.

    Sedangkan kepada wartawan, Gubernur Mirza mengatakan, segera berkoordinasi dengan Menteri Kehutanan atas langkah yang akan diambil pihaknya.

    Namun kiranya harimau Sumatera lebih cepat bertindak. Sebelum semua itu berlangsung, insiden Sudarso sudah terjadi.

    Atau sejatinya bukan harimau yang memburu manusia. Sebaliknya, justru para perambah yang telah menginjak-injak hingga memporak-porandakan “pekarangan rumahnya”. Tandas sudah toleransi harimau. Dan dia mengambil langkah. Lantas, siapa sesungguhnya biang kerok dari peristiwa miris ini?(*)



  • Beredar video seorang anggota DPRD Lampung Barat dalam acara Musrenbang Kecamatan Suoh yang ditafsirkan melegalkan aktivitas perambahan di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

    Bandarlampung (Lontar.co): SELAIN itu ramai juga diperbincangkan bahwa Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, disebut-sebut turut menyiratkan hal senada. Tak pelak, kedua pernyataan orang-orang penting ini menarik perhatian banyak pihak. Termasuk akademisi dan praktisi hukum, Hengki Irawan.

    Dikatakannya, bila benar motivasi para pembesar di Lampung Barat itu, menyiratkan pelegalan perambahan kawasan TNBBS, maka ditengarai kuat berpotensi melanggar hukum. Bila demikian, lanjut Hengki, maka dipandang perlu pihak Kejaksaan Tinggi Lampung untuk menyikapinya.

    “Pernyataan yang membela dan melegalkan perambahan hutan di kawasan konservasi jelas bertentangan dengan undang-undang. Kejaksaan harus segera melakukan penyelidikan atas dugaan keterlibatan mereka dalam praktik ilegal ini,” ungkap Hengki, melalui siaran pers yang diterima Lontar.co, Sabtu (15/3/2025).

    Adapun ketentuan aturan perundang-undangan yang dimaksudnya ialah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dijelaskan pada:

    Pasal 67 huruf b yang berbunyi; kepala daerah wajib menaati seluruh peraturan perundang-undangan dan jika seorang Kepala Daerah melanggar hukum, maka dapat diberhentikan sesuai Pasal 78 huruf d.

    Kemudian, masih menurut Hengki, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang dijelaskan pada Pasal 105 huruf c, d dan g yang berbunyai sebagai berikut :

    c; melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf

    Lantas pada huruf d; ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;

    Kemudian terakhir huruf g; dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas, sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g.

    Jika terbukti melanggar, maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

    Hengki kembali menegaskan, dugaan keterlibatan pejabat dalam praktik ilegal ini tidak boleh dibiarkan, Kejaksaan Tinggi Lampung diharapkan segera mengambil langkah hukum guna memastikan bahwa aturan yang berlaku ditegakkan dan menindak siapapun, termasuk para pejabat sekalipun, bila terbukti menyalahgunakan kewenangan.

    “Kejaksaan Tinggi Lampung harus segera bertindak tegas, memanggil dan memeriksa semua pihak terkait, tanpa tebang pilih,” kata Hengki yang mengaku bersama NGO di Lampung Barat dalam waktu dekat akan menggelar dukungan agar pihak Kejati Lampung mengambil langkah terkait hal ini. (*)