Tag: BPS

  • bps

    Bank Dunia menyebut angka kemiskinan Indonesia melonjak jadi 194,6 juta jiwa. Angka ini, selisih jauh jika membandingkan data statistik angka kemiskinan versi BPS per September 2024 yang hanya 24,06 juta jiwa, Komparasi ini bakal terlihat lebih njomplang jika mengukur angka tahun 2025 nanti; daya beli yang melemah hingga PHK massal dimana-mana. BPS cuma ABS?

    (Lontar.co): Bekerja sebagai driver ojek online sejak dua tahun terakhir membuat Handoko harus ekstra keras mencari uang. Ia terpaksa bekerja sejak pukul 6.00 pagi hingga malam hari, tak jarang ia juga harus onbid hingga dini hari, jika penghasilan yang ia dapat belum memadai.

    Sebagai driver ojol, rata-rata Handoko hanya bisa membawa pulang uang tak sampai Rp100 ribu, setelah dipotong untuk membeli BBM dan top up saldo drivernya.

    Dengan uang seminim itu, ia harus bisa menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil, dan menyisihkan setidaknya Rp20 ribu per hari untuk angsuran motor bulanannya.

    Praktis, ia dan keluarganya harus hidup dengan uang Rp80 ribu per hari. Uang ini dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang harganya terus melambung.

    Ia dan istrinya terpaksa mengalah, makan seadanya, demi agar kedua anaknya bisa tumbuh seperti anak-anak kebanyakan.

    “Sekarang harga beras aja sudah 20 ribu sekilo. Beras sekilo itu, cuma cukup untuk dua hari. Itu baru beras, belum lauknya. Terpaksa kami yang mengalah, makan seadanya, prioritasnya buat anak-anak aja,” katanya.

    Terkadang, demi bisa mendahulukan kebutuhan pangan anak-anaknya, Handoko dan istrinya hanya mengkonsumsi mie instan.

    Idealnya, menurut Handoko, untuk menghidupi keluarganya, ia butuh uang paling sedikit Rp150 ribu per hari. Dengan uang sejumlah itu, setidaknya kebutuhan pangan keluarganya bisa tercukupi walau sederhana.

    Berbeda dengan Handoko, Ardianto buruh bangunan yang juga warga Desa Pemanggilan, Natar terpaksa harus bekerja apa saja demi mencukupi kebutuhan keluarga.

    Apalagi, sejak awal Januari 2025 lalu, ia sudah menganggur, mau tak mau ia dan istrinya harus banting tulang kerja serabutan.

    Ardianto kini bekerja sebagai pekerja harian di toko material, dengan upah Rp50 ribu sehari, sembari terus was-was jika tenaganya tak dipakai lagi.

    Sedang istrinya ikut bekerja sebagai buruh pembuat bata dengan bayaran kurang dari Rp25 ribu sehari—tergantung dari jumlah bata yang ia buat.

    Itu pun mereka harus bekerja dari pagi hingga sore.

    Ketiga anaknya juga dipaksa menyesuaikan keadaan orang tuanya, terlebih mereka juga tak terdata sebagai penerima bantuan sosial dari pemerintah.

    “Kalau nggak makan sehari dua hari itu sudah biasa, apalagi cuma makan pakai sayur daun katuk,” katanya.

    Buatnya, kebutuhan hidup bukan cuma soal makan, apalagi anak-anaknya sudah mulai besar, mau tak mau ada prioritas lain yang harus mereka dahulukan,”dua anak saya mau masuk sekolah, semuanya butuh biaya, kerjaan saya nggak nentu apalagi istri, jadi terpaksa di hemat-hemat sebisanya”.

    Untuk dirinya, istri dan ketiga anaknya yang sudah beranjak besar, Ardianto menyebut butuh paling sedikit Rp200 ribu per hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, selain untuk membeli beras, lauk pauk, ia juga butuh untuk biaya sekolah kedua anaknya.

    “Istri itu, kalau ke pasar bawa uang Rp50 ribu, cuma dapat beras dua liter sama sayur-sayuran aja, kalau dipakai beli ikan atau telur itu, sudah nggak cukup uangnya”.

    Perlambatan ekonomi yang memicu terjadinya PHK massal juga amat mempengaruhi keadaan sebagian besar masyarakat saat ini.

    Serapan kebutuhan yang rendah di sejumlah pasar menjadi indikator, daya beli masyarakat yang cenderung menurun drastis sejak awal 2025.

    Tak hanya retail yang terdampak, pedagang-pedagang di pasar tradisional pun ikut merasakan.

    Pada hari raya kurban lalu misalnya, nilai transaksi yang diharapkan meningkat justru sebaliknya.

    Tren itu juga bahkan sudah terlihat sejak sepekan sebelum hari raya Idul Fitri 2025, pada Maret lalu, konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan pokok cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.

    Parahnya, hal ini bahkan sudah diprediksi oleh Bank Dunia dalam laporan Poverty and Inequality Platform.

    Bank Dunia meratifikasi acuan standar garis kemiskinan secara global—termasuk Indonesia, dari paritas daya beli (PPP) tahun 2017 ke PPP 2021.

    Dalam purchasing power parity (PPP) 2021 ambang garis kemiskinan mengalami peningkatan untuk semua kategori negara berdasarkan pendapatannya.

    Negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) standarnya berubah dari $3,65 per hari jadi $4,20 per hari.

    Sedang Indonesia yang masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income) standar batasnya juga naik dari $6,85 menjadi $8,40 per hari.

    Jika ‘dikurs-kan’ dalam rupiah, standar $1 PPP sama dengan Rp5.993.

    Purchasing power parity (PPP) adalah konsep standar dasar yang dipakai oleh Bank Dunia untuk membandingkan harga barang dan jasa yang sama di seluruh negara yang kemudian dikonversi melalui nilai mata uang dollar Amerika, agar proses perbandingan lebih mudah dilakukan.

    Dengan metode itu, maka terdapat sebanyak 194 juta lebih penduduk Indonesia—dari total sebanyak 285 juta penduduk Indonesia tahun 2024, yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pengeluaran rata-rata per hari di bawah Rp49.244.

    Kenyataannya, rumus penghitungan standar garis kemiskinan versi Bank Dunia ini jauh lebih relevan dengan kondisi Indonesia kini, melalui sejumlah indikator yang menggejala saat ini.

    Termasuk keadaan ekonomi yang dialami oleh Handoko dan Ardianto, jika merujuk standar PPP Bank Dunia, mereka adalah bagian dari 194 juta penduduk miskin Indonesia.

    Bandingkan dengan standar garis kemiskinan acuan BPS yang masih mengklasifikasikan pengeluaran di bawah Rp20 ribu per hari baru bisa disebut sebagai penduduk miskin.

    Faktanya, dengan uang Rp20 ribu sekalipun, masih belum cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup satu keluarga, bahkan keluarga dengan satu anak sekalipun!.

    “Beras aja sudah Rp20 ribu sekilo, terus makannya nggak pake lauk begitu? Atau nggak ada kebutuhan yang lain? Orang hidup itu butuh biaya buat hidup, apalagi punya anak dan istri,” tutur Handoko.

    Selama ini, sejak tahun 1998 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasi penduduk miskin dengan pengeluaran di bawah Rp595.242 ribu per bulan yang jika dibagi per hari menjadi sekitar Rp20 ribu pengeluaran per hari.

    Standar BPS ini jelas tak aplikatif dengan keadaan saat ini.

    Pemerintah jelas sudah abai dengan rakyatnya, karena menerapkan aturan tak sesuai dengan reflektivitas keadaan, bayangkan aturan yang diberlakukan pasca orde baru tumbang masih dipakai sampai kini, yang rentang jaraknya hampir mendekati tiga dekade dengan beragam perubahan ekonomi, pola konsumsi, kebutuhan dan pasar yang dinamis hanya dalam hitungan hari.

    Difrensiasi standar kemiskinan ini tak ayal memicu tendensi negatif; BPS malas, sementara yang lain menyebut BPS cuma ABS.

    Tindakan yang disadari atau tidak oleh BPS ini juga mengarah pada ‘kejahatan kemanusiaan’, karena pemerintah jelas amat tergantung pada statistika badan itu dalam hal pendistribusian bantuan, me-regulasi ekonomi dan pengambilan kebijakan lain yang bersentuhan langsung dengan mereka-mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

    Ditengah ketidakpercayaan publik terhadap metodologi standar kemiskinan BPS, mereka justru berdalih perbedaan standar angka kemiskinan dengan Bank Dunia, lebih disebabkan karena penentuan median garis kemiskinan berdasarkan pendapatan menengah-atas bukan penghitungan penduduk Indonesia yang lebih spesifik.

    Dalam menetapkan standar miskin dengan pengeluaran per kapita Rp20 ribu sehari, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, yang dibagi dalam dua komponen utama; makanan dan non makanan.

    Untuk komponen makanan sebagai komponen utama, BPS menerapkan prinsip standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari dalam satu kesatuan pangan lengkap meliputi; beras, lauk (telur, tempe, tahu, sayur dan minyak goreng).

    Urusan makin njlimet mana kala BPS juga menyebut rumus penghitungan angka kemiskinan di tiap daerah juga berbeda-beda, tapi anehnya dengan berbagai alasan itu, BPS tetap menetapkan standar kemiskinan nasional Rp20 ribu per hari per kapita atau Rp595.242 per bulan per kapita.

    Dengan segala kompleksitasnya, metodologi penghitungan standar kemiskinan yang dipakai BPS jelas sudah usang, jadoel dan tak relevan dengan kondisi dan pola konsumsi, apalagi selama 27 tahun lebih metodologi itu tak ada perubahan sedikitpun.

    Penghitungan biaya kebutuhan dasar (cost basic needs) meski masih relevan dipakai, tapi perlu diupdate secara berkala dengan mengamati pergeseran pola-pola konsumsi yang terjadi di masyarakat dan pasar, karena kecenderungan pergeseran itu bergerak makin kompleks, disitulah peran dan kerja BPS sebenarnya.

    Lucunya, BPS mengesankan seperti bekerja dengan kacamata kuda, tak pernah peduli dengan tren, pola konsumsi, pasar hingga kebutuhan hidup yang selalu dinamis.

    “Dengan Rp20 ribu sehari, orang atau keluarga Indonesia itu memang masih bisa hidup, tapi hutang sana-sini,” ujar pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.

    Ada kesan lain, lanjutnya, jika standar kemiskinan berubah, bakal merusak citra pemerintah selama ini yang dianggap sukses menekan kemiskinan, sementara fakta sesungguhnya justru berkata lain.

    “Ini bisa berdampak pada prestasi dari pemerintah yang buruk karena tak berhasil menekan angka kemiskinan, malah sebaliknya semakin tinggi”.

    BPS yang selama ini dianggap sumber kredibel dengan data statistik superior ternyata selama ini bermain dalam data yang monoton, tak kredibel dan terus memperburuk keadaan.

    Untuk hal yang mendasar, dalam hal hajat hidup masyarakat banyak dan kebanyakan BPS sedemikian ‘tega’ membangun kesan yang kontradiktif dengan keadaan sesungguhnya.

    Selama 27 tahun, keadaan dibuat samar, dalam komposisi statistik tanpa akurasi lapangan yang kuat, eksistensi BPS memang patut dipertanyakan (.)



  • Angkatan kerja di Indonesia kini, cenderung menuju ke pengangguran struktural. Perubahan teknologi, perubahan industri dan globalisasi yang diselimuti lesunya perekonomian adalah indikatornya. Akibatnya, jumlah kaum rebahan makin menumpuk dan terus mencari apologi. 

    (Lontar.co): Usia Rani sudah di ujung muda, 25 tahun. Hanya sisa dua atau tiga tahun lagi, ia bakal terganjal batas maksimal syarat jamak kebanyakan perusahaan untuk calon pelamar kerja. 

    Bekal S2 kependidikan yang baru berapa bulan ia sandang juga tak membantu banyak.  

    Ada puluhan sekolah swasta yang sudah ia lamar, tapi masih nihil. Latar orang tuanya yang abdi negara juga tak membantu. Koneksi orang dalam juga sama saja. Semua sedang lesu. 

    Sementara untuk melamar menjadi sales, rasanya seperti sia-sia. Kuliah hanya selisih satu tingkat mendekati doktoral tapi kerja jadi sales itu, terasa seperti anomali. 

    Endingnya antiklimaks. Ia memilih menikah, menjadi ibu rumah tangga. Gelar kesarjanaannya yang tinggi selesai saat itu juga. 

    “Sambilannya jualan online. Jualan baju sama jualan ikan nila ranau, kebetulan di rumah punya kolam penampungan ikan,” kata Rani yang kini tengah mengandung anak pertama. 

    Rani menjadi salah satu bagian dari sebanyak 5 juta orang lebih angkatan kerja di Lampung yang dilanda ketidakpastian akan masa depan lapangan pekerjaan. 

    Survei Angkatan Kerja Lampung pada Februari 2025 kemarin, menyebut jumlah angkatan kerja tahun 2025 bertambah sebanyak 41.830 orang selama periode Februari 2024 ke Februari 2025, dengan total jumlah angkatan kerja di Lampung sebanyak 5.085.000 orang. 

    Sedangkan jumlah pengangguran di Lampung per Agustus 2024 juga bertambah hingga total menjadi 209,16 ribu orang, atau bertambah sebanyak 1,92 ribu orang dibandingkan Agustus 2023. 

    Itu semua data dari BPS Lampung. Bisa jadi, angkanya lebih dari itu, apalagi di daerah-daerah pelosok pedesaan, yang terdampak secara langsung terhadap minimnya lapangan kerja. 

    Angkatan kerja di desa tak bisa menikmati akses lapangan kerja secara langsung, berbeda dengan di kota. Jika memaksa bersaing mencari kerja, mereka bakal berhadapan dengan kelompok angkatan kerja dengan tingkat pendidikan minimal lulusan SMA, S1 bahkan S2, seperti Rani. 

    Sementara, umumnya tingkat kelulusan angkatan kerja di desa rata-rata adalah SMP, sangat jarang SMA. 

    Pada akhirnya, mereka—angkatan kerja dari desa ini, tersisih dari pekerjaan-pekerjaan formal, dan lebih banyak di informal. Sektor ini, cenderung tak memiliki jaminan kerja, jaminan sosial dengan upah yang jauh dari memadai. 

    Data ini makin diperkuat dengan hasil statistik angkatan kerja dari BPS tahun 2024 yang menyebut status pekerjaan utama penduduk di Lampung didominasi oleh pekerjaan di sektor informal yang jumlah pekerjanya ada sebanyak 3,31 juta orang atau 69,14 persen, sedangkan pekerja formal sebanyak 1,47 juta orang atau 30,86 persen dari total jumlah penduduk Lampung yang telah bekerja. 

    Sedangkan jenis pekerjaan informal yang paling banyak di Lampung adalah buruh, pekerja harian dan sedikit karyawan. Dengan dominasi latar belakang pendidikan, yakni tamatan sekolah dasar, sebanyak 35,53 persen, 

    Yang menarik, adanya jumlah pekerja sektor informal di Lampung yang memiliki latar belakang pendidikan diploma; S1, S2 hingga S3 yang jumlahnya mencapai 9,33 persen. 

    Dari angka lulusan diploma hingga strata yang ‘terpaksa’ bekerja di sektor-sektor informal ini, menjadi indikator serius bahwa lapangan pekerjaan kini memang amat sulit. 

    Para sarjana ini pada akhirnya juga, harus bersaing dengan lulusan-lulusan sekolah menengah atas untuk bisa bekerja meski hanya di sektor informal.  

    Mereka bersaing dalam banyak hal; pengalaman hingga usia. Belum lagi, adanya kecenderungan faktor ‘orang dalam’ yang acap kali menjadi paling dominan dalam hal kesempatan kerja. 

    Kondisi makin kompleks mana kala bicara soal keahlian.  

    Saat ini, kebanyakan lulusan sarjana yang masuk dalam angkatan kerja adalah sarjana-sarjana yang memiliki gelar kesarjanaan berbasis keilmuan atau yang fokus pada pengembangan pengetahuan dan teori, seperti; sarjana ekonomi dan sarjana hukum, adalah gelar-gelar kesarjanaan yang faktanya ‘tak laku’ dipakai untuk dunia kerja saat ini.  

    Dunia kerja saat ini lebih condong merekrut calon pekerja yang memiliki gelar kesarjanaan berbasis keahlian atau sarjana terapan, terlepas dari faktor orang dalam. 

    Ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja ini pula, masih harus bertumpuk dengan angka pengangguran yang terus membengkak, apalagi di tahun 2025 ini. 

    Seiring melesunya perekonomian, badai PHK juga terjadi dimana-mana, meski angka jumlah PHK tahun 2025 belum bisa digambarkan secara utuh.  

    Selain lemahnya daya beli, program efisiensi yang didengungkan pemerintah juga menimbulkan efek pemutusan hubungan kerja. 

    Data Kementerian Ketenagakerjaan sejak Januari hingga Mei 2025, tercatat angka pekerja yang terkena PHK di seluruh Indonesia sebanyak 26.455 kasus. 

    Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebut adanya kecenderungan peningkatan kasus PHK dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Namun, angka PHK massal yang dilaporkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) jauh lebih mencengangkan lagi dan berbeda jauh dengan data kasus PHK dari Kementerian Ketenagakerjaan. 

    Apindo melaporkan dalam rentang waktu 1 Januari hingga 10 Maret 2025, tercatat sebanyak 73.992 kasus PHK massal. Angka ini merujuk pada jumlah kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan pada periode itu. 

    Sementara di Lampung, kasus PHK juga terjadi dibeberapa daerah yang menjadi sentra-sentra kawasan industri.  

    Merujuk Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK di Lampung mencapai 143 orang.  

    Angka ini belum ditambah dengan sebanyak 233 Petugas Pintu Air (PPA) yang terpaksa diberhentikan karena alasan efisiensi dari pemerintah pusat.  

    Apalagi, data-data kasus PHK di Lampung ini masih data tahun sebelumnya, sedangkan tahun 2025 belum bisa diakumulasikan, padahal terhitung sejak Januari-Mei 2025, ada begitu banyak kasus PHK yang terjadi seiring makin lesunya perekonomian. 

    Sektor-sektor ritel yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar kedua setelah industri, yang paling merasakan imbasnya, banyak raksasa-raksasa ritel yang akhirnya menutup gerainya. 

    Transmart misalnya, sejak tahun 2024 lalu sudah ‘mati suri’. Komplek pusat perbelanjaan yang ada di Jalan Sultan Agung, Way Halim itu kini terlihat sepi. 

    Di supermarketnya, jumlah pengunjung bisa dihitung dengan jari, demikian pula di gerai-gerai pakaiannya, tak terlihat satu pun pembeli. Sedangkan gerai-gerai kuliner yang dulu ramai, kini sepi, beberapa gerai bahkan sudah tutup sejak beberapa bulan lalu. 

    Sepinya pembeli di Transmart ini juga secara tidak langsung berimbas pada pengurangan jumlah pekerja di mall ini. 

    Tahun 2025 memang layaknya kiamat buat para pencari kerja.  

    Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menyebut adanya ketidakseimbangan antara pasar kerja dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah tiap tahunnya. 

    Rata-rata ada 2 juta hingga 3 juta angkatan kerja baru yang terus menambah jumlah angkatan kerja tahun-tahun sebelumnya hingga angka angkatan kerja terus bertambah, yang kini sudah menembus angka 149 juta angkatan kerja. 

    “Ketimpangan terlihat, karena daya serap lapangan kerja kurang dari 1 persen dari jumlah angkatan kerja, disisi lain jumlah angkatan kerja tiap tahun terus bertambah,” kata Shinta. 

    Pakar ekonomi makro dan mikro dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),  Agung Riyardi menyebut ada banyak faktor yang memicu terjadinya gelombang PHK massal di tahun 2025. 

    Di faktor internal, misalnya; kerugian perusahaan, efisiensi operasional hingga keuangan yang pailit menjadi penyebab utama. 

    Sedangkan, faktor eksternalnya adalah; perlambatan ekonomi nasional, dampak perang dagang secara global, hingga kesalahan kebijakan adalah faktor-faktor penyumbang yang paling besar penyebab terjadinya PHK. 

    Agung Riyardi melihat bahwa pemerintah Indonesia belum mampu membangun lingkungan bisnis yang solid dan prediktif, sehingga pihak swasta mencari caranya sendiri untuk bertahan, salah satunya adalah melakukan PHK massal. 

    Di saat badai PHK menghantam, pemerintah juga terkesan bungkam, padahal idealnya negara memberi solusi, selain dengan menjaga ekosistem ketenagakerjaan serta iklim usaha yang sehat, serta memberangus beragam pungutan liar, agar swasta mau berinvestasi dengan aman dan nyaman. 

    Menggunungnya angka angkatan kerja yang berbaur dengan pengangguran serta mereka yang terdampak oleh PHK massal ini juga masih dihantui oleh ancaman kemajuan teknologi yang kian beringas menghantam dunia kerja,  

    Pekerjaan-pekerjaan yang dulu masih dilakukan oleh manusia mulai mengalami otomatisasi. 

    Jenis-jenis pekerjaan yang dulu menjadi incaran banyak orang, seperti; staf administrasi, teller bank, kasir, customer service, pekerja manufaktur hingga desainer grafis ikut terdampak secara langsung. 

    Sementara jenis pekerjaan lainnya hanya tinggal menunggu waktunya saja. 

    Beragam kronik yang kemudian menggumpal itu, kini menjadi apologi buat kaum rebahan, sembari menyongsong pengangguran struktural yang sudah di ujung mata. 

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     



  • Data BPS tahun 2024, menempatkan Lampung sebagai daerah dengan jumlah perokok terbanyak di Indonesia. Segmennya beragam, mulai dari yang tua hingga anak-anak. Parahnya, penyumbang usia terbesar perokok terbanyak di Lampung adalah usia remaja, 15 tahun ke atas. 

    (Lontar.co): Asap rokok pekat memenuhi warung berukuran 2×3 meter itu, sesekali tawa lepas enam orang anak berseragam SMP itu terdengar, bahkan hingga ke jalan.  

    Empat dari enam siswa yang ada di warung itu, terlihat santai menghisap rokok, tak ada gurat ketakutan di wajah mereka, padahal pintu gerbang sekolah tempat mereka belajar, hanya berjarak kurang dari 10 meter, satpam sekolah juga sering terlihat mondar-mandir di tepian jalan, tapi mereka tak peduli. 

    Di tempat lain, di sebuah mall yang bersisian langsung dengan Lapangan Saburai, tiga remaja berseragam sekolah menengah atas, juga santai bersenda gurau sambil asyik menikmati rokok, seorang diantaranya bahkan remaja perempuan yang selalu celingukan melihat ke sekelilingnya, tiap kali akan menghisap vape, sejenis rokok elektrik. 

    Di Lampung, amat lazim melihat remaja-remaja usia sekolah yang dengan santainya menghisap rokok di tempat-tempat umum. 

    Masyarakat cenderung menormalisasi perilaku mereka, tanpa berusaha untuk mengingatkan apalagi menegurnya. 

    Itu belum termasuk di daerah-daerah, di Kabupaten Lampung Tengah misalnya, pemandangan anak yang masih berusia di bawah umur juga sudah terbiasa menghisap rokok, meski masih secara sembunyi-sembunyi, namun untuk menemukan anak usia dini merokok di tempat-tempat umum, ternyata bukan perkara yang sulit. 

    Fakta lain menyebutkan, maraknya peredaran rokok ilegal atau non cukai di Lampung yang merambah hingga wilayah pedesaan dengan harga yang terjangkau membuat kalangan remaja bisa dengan mudah mendapatkan rokok. 

    Harga rokok-rokok ilegal itu bahkan dijual setara dengan uang jajan anak sekolah, rerata sebungkus rokok ilegal dijual paling murah Rp10 ribu, paling mahal hanya kurang dari Rp20 ribu. 

    Rokok-rokok ilegal asal Pulau Jawa yang ‘diselundupkan’ melalui berbagai modus itu menjadi salah satu penyumbang tingginya jumlah perokok di Lampung. 

    Rokok non cukai dijual bebas mulai dari warung kecil hingga toko-toko distributor rokok, tanpa ada pengawasan yang serius dari aparat terkait, 

    Rokok-rokok ilegal ini pula setidaknya masuk melalui dua pintu utama, yakni Pelabuhan Bakauheni dan Pelabuhan Panjang, yang kemudian disebar ke seluruh penjuru wilayah Lampung melalui akses Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). 

    Metode distribusi dari pabrik ke warung hingga toko dilakukan melalui rantai yang panjang dan rumit.  

    Setiap hari, ratusan ribu slop rokok di kirim dari Pulau Jawa dengan berbagai modus, mulai dari dikamuflasekan dengan buah-buahan, barang klontong 

    Rokok-rokok ilegal sejenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang diselundupkan itu, diangkut dengan kendaraan truk untuk dikirimkan ke tiap distributor. 

    Dari distributor, rokok-rokok yang tak dilengkapi dengan cukai itu kemudian dikirim dengan mobil-mobil sejenis blindvan hingga kurir-kurir sepeda motor ke warung hingga toko di seluruh pelosok. 

    Pertengahan tahun lalu, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Bandarlampung saja memusnahkan setidaknya 40 juta batang rokok ilegal yang nilainya ditaksir mencapai Rp48,5 miliar. 

    Tapi, meski upaya pemberantasan terhadap peredaran rokok ilegal masih terus dilakukan, namun para pedagangnya masih dengan leluasa berjualan, terlebih di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh aparat. 

    Hal ini menjadi sangat relevan jika merujuk pada data BPS yang menyebut Lampung sebagai daerah dengan jumlah perokok aktif terbanyak di Indonesia. 

    Data BPS menyebut sebanyak 33,84 persen penduduk usia 15 tahun ke atas di Lampung menjadi perokok aktif. 

    BPS menyebut, daerah dengan persentase perokok tertinggi di dominasi oleh daerah-daerah pedesaan. Minimnya akses informasi, tekanan sosial hingga faktor ekonomi menjadi pemicunya. 

    Di Lampung, dari total 33,84 persen perokok aktifnya, disumbang oleh daerah-daerah yang masih masuk dalam kategori pelosok, seperti; Lampung Barat dan Pesisir Barat, Way Kanan, Lampung Tengah dan Pesawaran. 

    Kelima daerah ini menjadi penyumbang tertinggi jumlah perokok aktif di Lampung. Di urutan pertama adalah Kabupaten Lampung Barat, sebanyak 30,89 persen penduduk dari total 319 ribu jiwa adalah perokok aktif. 

    Kemudian, di urutan kedua ada Kabupaten Pesisir Barat yang menyumbang sebanyak 29,71 persen perokok aktif dari sebanyak 156 ribu penduduk disana. 

    Selanjutnya, Way Kanan menjadi penyumbang ketiga dengan persentase 25,76 dari total 493 ribu penduduk Way Kanan. 

    Kemudian di posisi keempat dan kelima ada Kabupaten Pesawaran (25,75 persen) dan Lampung Tengah dengan jumlah perokok aktif mencapai 25,66 persen. 

    Tingginya jumlah perokok di Lampung ini bahkan mengalahkan Jawa Barat yang persentase perokok aktifnya mencapai 32,98 persen atau diurutan kedua, dan Bengkulu diurutan ketiga sebanyak 32,96 persen. 

    Stopping Tobacco Organization and Products (STOP) salah satu organisasi global yang concern terhadap fungsi pengawasan industri rokok menyebut industri rokok berupaya menggaet remaja sebagai salah satu target pasar potensialnya. 

    Banyak modus industri rokok demi meluaskan pasar ke segmen milenial hingga anak-anak. 

    Terlebih, banyak industri-industri rokok konvensional yang terdampak akibat maraknya peredaran rokok ilegal yang memengaruhi omzet mereka secara langsung yang menurun drastis. 

    Untuk mengantisipasi anjloknya omzet yang besar itu, banyak industri-industri rokok raksasa yang kemudian membuat berbagai ‘inovasi’ yang tak melulu bergantung pada rokok-rokok sejenis filter dan kretek yang pasarnya terus tergerus oleh rokok-rokok ilegal. 

    Industri rokok raksasa kemudian ‘mengalihkannya’ dengan produk rokok inovasi, seperti rokok elektrik, vape maupun pod. Mereka memanfaatkan media-media sosial yang dianggap efektif untuk menarik minat generasi muda. 

    Setidaknya ada tiga praktik yang dilakukan industri rokok dalam menjerat generasi muda di Indonesia, yakni; merancang produk yang disenangi oleh anak muda; memengaruhi opini publik dengan pesan dan figur yang menyesatkan; dan mencampuri kebijakan yang dapat menurunkan konsumsi rokok dan nikotin di kalangan anak muda. 

    Di modus pertama, merancang produk yang disenangi oleh anak muda, rakrasa industri rokok nampaknya sukses, selain membuat produk seperti vape dan pod dengan menjual nikotin dan TAR cair atau yang dikenal dengan istilah eliquid, mereka juga menciptakan produk-produk turunan seperti permen. 

    Umumnya, produk-produk berbasis nikotin ini dikemas dengan rasa dan aroma manis yang tak hanya disukai generasi muda tapi juga anak-anak yang secara perlahan menimbulkan efek kecanduan, sama halnya seperti rokok pada umumnya. 

    Terlepas dari berbagai ‘siasat’ jahat industri rokok itu, faktanya, rokok menjadi salah satu ancaman serius dari aktivitas perusakan lingkungan yang bahkan tidak disadari oleh pemerintah apalagi para perokoknya. 

    Dalam berbagai temuan yang dikompilasi menunjukkan, selain plastik, sebanyak 4,5 triliun puntung rokok dibuang begitu saja di seluruh dunia tiap tahunnya. 

    Puntung rokok ini bahkan menjadi sampah yang paling banyak di muka serta sampah yang paling sering dibuang ke pantai dan mencemari hingga merusak kehidupan dan biota laut. 

    Selain puntung rokok, limbah-limbah dari rokok elektronik, seperti catridge juga makin memperburuk keadaan, karena semakin menambah banyak limbah-limbah logam dan baterai. 

    Akibat dari limbah-limbah rokok maupun produk turunannya yang dibuang sembarangan ke tanah membuat terjadinya akumulasi bahan kimia beracun sehingga terjadi degradasi tanah.