Apa yang didengar hari ini adalah opini, bukan fakta yang sesungguhnya. Dan, semua yang kita lihat ini adalah perspektif, bukan mengandung kebenaran…
(Lontar.co): Dunia yang terlalu sibuk, memang menuntut semua orang–tanpa kecuali, untuk bergerak. Ketika diam, maka dianggap lemah.
Padahal, diam dan kosong adalah himpunan jati diri yang amat mudah dikenali, untuk dinikmati dalam ketenangan.
Dalam keheningan yang mutlak itu, ada dikotomi kontrol yang tenang, sedikit pelan, mengalir sebagai keadaan yang melingkupi di tengah determinasi yang kadang bohong dan kerap tak realistis.
Maka kemudian, pada akhirnya semua memang seperti tak terjadi apa-apa, Tetap berdiri dan melangkah pelan-pelan agar tak stagnan dan dihantam kepentingan.
Kebutuhan akan gerak adalah absolut saat ini, meski kebanyakan dari kita tak tahu untuk apa gerak itu ada, yang melawan dan kalah, tak pesimis tapi lebih memilih diam, karena hantu kriminalisasi itu nyata, bukan pula hendak mengampul.
Dunia yang Bising dan Penguasa yang Selalu Menekan
Saat ini, semua diukur lewat produktivitas, negara yang terus menuntut dengan tekanan yang luar biasa, sementara orang-orang dipaksa seperti robot. Bayangkan, hidup seseorang dan semua orang sudah diukur dalam rutinitas semu, dari sejak membuka mata kemudian menutupnya kembali.
Penguasa terlalu berkuasa mengintervensi kehidupan seseorang sedemikian pelik, sementara mereka hidup dalam gelimang apa saja yang mereka ingini.
Kita, dipaksa bergerak sesuai dengan ritme mereka, jika tidak; yang kalah diinjak, yang marah dibinasakan.
Konsep adil dalam kerangka pemerintah sudah tak lagi seimbang dengan kehidupan setiap orang.
Cita-cita bangsa ini makin bias oleh segelintir orang yang hidup dengan limpahan kuasa yang akut. Dan, ritme ini terus berulang seperti kita kecil dulu, bahwa bergerak adalah sebuah nilai baik.
Kita dituntut untuk bergerak sesuai kehendak, dengan evaluasi penuh sejak kaki melangkah ke gerbang sekolah hingga nanti kemudian mati, semua melulu bicara tentang target. Dan, ketika target-target itu tak bisa diraih, pikiran kemudian merangsang penyesalan dan menganggap bahwa kita tak pernah melakukan apa-apa.
Mengejar yang Tak Bisa Dijangkau
Dalam manipulasi gerak yang dibuat oleh para penguasa melalui embel-embel kesejahteraan sosial itu yang kemudian membuat manusia terlalu berambisi pada hal-hal yang sebenarnya tak bisa mereka jangkau, mereka tahu itu, tapi tak perduli.
Sementara hal yang secara kasat bisa mereka bangun dan kendalikan justru luput dan dibiarkan begitu saja, dianggap sebagai hal biasa yang bukan dinilai sebagai sebuah anugerah (gift).
Itu pula yang coba dicermati oleh Setyo Wibowo dalam bukunya Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme. Setyo menitiknya pada; bukan apa yang terjadi pada kita, tapi bagaimana kita memberi reaksi terhadap keadaan itu.
Setyo membagi daya jangkau tiap manusia melalui apa yang bergantung padanya dan apa yang tidak.
Karena menurutnya, kebanyakan kita terkadang terlalu berpikir melampaui representasi diri secara berlebihan.
Bahwa masalah pada setiap orang itu pasti ada, tapi bagaimana memberi reaksi pada masalah yang tak melulu tergantung pada diri kita sekaligus memahami cara kita memberi reaksi terhadap masalah itu, sesederhana itu, untuk mencapai sebuah kebahagiaan yang terkadang jadi impian banyak orang.
Stoik Bukan Apatis
Sejak tahun 2019 lalu, bergema tren di milenial tentang konsep-konsep stoa, stoik atau stoikisme dalam memaknai keadaan yang melingkupi mereka, di sekitar yang dekat atau yang jauh lebih berjarak.
Konsep stoik bahkan sudah dimulai oleh kebanyakan pemikir teknologi di Silicon Valley, yang aplikasinya banyak dipakai di hampir semua belahan dunia saat ini.
Ahli-ahli teknologi berlatar milenial di Silicon Valley hingga kini mulai membuat praktek yang selama ini selalu membuat mereka nyaman, tentang bagaimana melatih kemampuan merefleksi terhadap apa yang tergantung pada diri mereka dan yang tidak bergantung pada mereka, yang selama ini membangun rasa nyaman buat mereka.
Mereka melakukan dengan cara yang terkadang ekstrem, seperti; berjalan tanpa alas kaki di tengah salju, untuk melakukan tindakan kontra yang sudah dibangun oleh diri mereka selama ini sehingga membentuk kata; nyaman.
Di Indonesia, sekelimunan orang yang bahagia dengan keadaannya kini dan kemarin, dan tak terlalu bising dengan simbol-simbol produktivitas, saat hidup dengan hati yang lapang dalam kesehariannya yang tenang.
Sampai saat ini, penikmat stoik di Indonesia mulai nyaman dengan diam, melepas kebisingan dengan memilah apa yang tergantung pada mereka dan apa yang tidak.
Stoikisme menolong kita membedakan mana peristiwa dan mana reaksi yang harus kita berikan terhadap peristiwa itu. Karena, Stoik lebih menekankan pada dua titik penting; pikiran dan tindakan, untuk kemudian merinci, bahwa hasrat, penilaian dan tindakan adalah hal mutlak yang harus kita punya, sedangkan tubuh, harta, relasi dan peristiwa adalah milik orang lain.
Gangguan Diri
Epictetus seorang filsuf Stoa pernah menyebut, bahwa pada dasarnya manusia itu terganggu kemudian merasa resah bukan karena peristiwa eksternal atau tindak tanduk orang lain, tapi manusia resah karena opininya tentang peristiwa itu.
Kondisi ini menjadi umum ketika bicara dalam lingkup keseharian kita yang hidup dan dihidupi (pikirannya) oleh orang lain, dalam skala yang lebih dekat, melalui perangkat-perangkat yang mendampingi kita. Kemudian, kita takut dan merasa khawatir ketika kita justru lebih memilih berada di luar atau di dalam kerumunan itu.
Ini pula yang menggejala pada Henry Manampiring yang akhirnya menterjemahkan depresinya melalui buku Filosofi Teras yang terbit 2018 lalu.
Henry bercerita tentang dirinya yang depresi amat berat bahkan nyaris bunuh diri. Uniknya, ia sendiri tak bisa mengisolir faktor yang membuatnya seperti itu, peristiwa yang bertumbukan secara bersamaan, ia duga sebagai latarnya.
Depresi yang amat berat itu kemudian berhasil ia luruhkan melalui terafi stoa untuk meredefinisi dirinya kembali sebagai sosok yang ‘tak beremosi’.
Dari pengalamannya itu, ia membentang stoa melalui perspektif tunggal, yang ia jabarkan melalui buku Filosofi Teras.
Henry menyangkal bahwa stoa identik dengan apatisme, stoa justru menjadi bagian penting dari refleksi bahwa diri itu memiliki keterbatasan oleh karenanya harus disyukuri.
Stoa dan Relevansi Kekinian
Bahwa tidak terlihat bukan berarti tidak ada sama sekali. Dalam hal stoik, mengajak untuk mawas terlebih dahulu terhadap pikiran sendiri, karena sebagai watak, ketika manusia diliputi emosi negatif; marah maupun takut, manusia kerap kali menyalahkan orang lain atau peristiwa eksternal sebagai biang keladinya. Padahal, stoa tak melihat dalam perspektif itu.
Sebaliknya, stoik justru memberi jeda kepada manusia, untuk terlebih dahulu membangun pikiran, bahwa kenyataannya keadaan pembangun emosi negatif itu adalah bijak dalam pikiran, karena pada prinsipnya stoik mengajak semua untuk lebih bisa mengendalikan pikiran dan tindakan sebagai fitrah yang bisa dikendalikan untuk membangun ketenangan berdasar dari dua hal yang memang bisa dikendalikan secara langsung.
Bahwa stoa kini relevan dengan situasi kekinian, adalah karena selama ini stoa mengembangkan konsep melepas semua yang tak bisa dikendalikan yang pada akhirnya begitu menguras energi dan waktu, tapi lebih kepada mengalokasikan energi dan waktu itu untuk hal-hal yang bisa dikendalikan secara langsung dan itu amat membebaskan, sebagai faktor yang membangun ketenangan sendiri.
Di masa disrupsi dengan kompleksitas tinggi seperti saat ini, menjadi pemicu dominan mempengaruhi perilaku manusia, justru ke arah yang tidak sehat dan tak bahagia, karenanya stoa menjadi momentum membangun pikiran dan tindakan menjadi lebih sederhana dalam mengembangkan kehidupan sendiri atau saat berada di tengah-tengah kerumunan, dalam membangun konsistensi logika, bahwa pada dasarnya, pengaruh-pengaruh dari luar yang terus berkelindan setiap hari tak akan pernah bisa kita kendalikan, tinggal bagaimana kita memberi sentuhan reaksi pada pengaruh itu sendiri.
Sebagai paham, Stoikisme dihembuskan oleh Zeno di abad ke-3 dari teras-teras berpilar yang ada di Athena sebagai tempat para filsuf dan murid-muridnya berdiskusi dan belajar menyikapi keadaan.
Adapula pengaruh Epitectus, Seneca dan Marcus Aurellius dalam lapisan yang dibangun melalui sistem kerajaan, dimana sosok Marcus Aurellius akhirnya menjadi raja yang bijak kepada siapa saja.
Di era informasi yang terlalu merasuk seperti saat ini, kebanyakan kita lebih pandai menilai orang lain; merendahkan atau merasa rendah, dari orang lain, dan waktu yang ternyata habis untuk itu-itu saja.
Padahal, masyarakat Jawa sudah sejak lama menerjemahkan konsep stoa, dalam filosofi yang lebih sederhana, tapi dalam dengan membangun dikotomi kendali seperti stoa, melalui pesan-pesan tersirat bahwa hidup itu tak lebih dari sekedar permainan persepsi dan cara pandang (sawang sinawang).
Stoik oleh kebanyakan penganutnya dianggap sebagai obat mental yang paling ampuh, sebagai Henry Manampiring yang nyaris bunuh diri karena depresi, bahwa manusia kini sudah tak lagi bermasalah dengan perang, wabah atau kelaparan, tapi lebih kepada tekanan batin yang dipicu oleh ambisi yang tak bisa mereka kendalikan, tak mengapresiasi pencapaian hingga tekanan validasi, karena orang lebih sering takut daripada mengalami luka itu sendri. Dan, terus menderita karena tekanan imajinasi sementara kenyataannya tidak sama sekali.
Sawang sinawang menjadi bahasa paling sederhana hasil ekstraksi dari stoa yang membatasi dikotomi kontrol terhadap kendali internal dan eksternal.
Dalam sejarah Islam, Sayyidina Ali kental dengan prinsip-prinsip pengendalian diri, penerimaan takdir, memperhatikan hal-hal spesifik yang benar-benar berada dalam kendali kita sebagai manusia.
Yang pada akhirnya, stoa membawa siapapun menuju ketenangan pikiran, jiwa yang bebas dari pengaruh eksternal dengan kondisi batin yang jauh lebih stabil sebagai tujuannya (ataraxia).







