Keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya nilai upah pekerja adalah dilema angkatan kerja di Lampung. Sementara, memilih merantau ke Jakarta juga bukan solusi, pekerja asal Lampung kadung ditandai sebagai pembuat masalah.
(Lontar.co): Sudah hampir tiga bulan, Rizki ‘terdampar’ di Jakarta. Kerjanya tak tentu. Kadang jadi mekanik serep di bengkel motor, kadang pula nyambi di steam motor yang ada di kawasan Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara.
Pemuda tanggung, lulusan salah satu SMK di Bandarlampung ini nyaris pasrah dengan nasibnya di Jakarta. Ia tak tahu lagi harus melamar kerja dimana.
Badannya pun makin kurus, kulitnya makin melegam.
Ia sempat terpikir untuk pulang saja ke rumahnya di Lampung Tengah, tapi ia terlanjur malu.
Bermula dari ajakan seorang teman yang tinggal sekampung dengannya yang sudah bekerja di salah satu mall di Jakarta, Rizki terbuai. Apalagi, dua tahun setelah lulus dari SMK, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Padahal, nilainya lumayan bagus untuk ukuran lulusan sekolah kejuruan.
“Sampe di Jakarta, sudah ngelamar kemana-mana tapi malah di blacklist, katanya orang dari Lampung susah diatur,” katanya.
Mau tak mau ia harus mengganti identitas kependudukannya untuk bisa mendapatkan kerja, tapi agak sulit bagi pendatang yang terbilang baru seperti Rizki.
“Teman saya harus tingggal minimal setahun dulu baru bisa bikin KTP Jakarta, itu juga pake uang”.
Akhirnya, ia hanya bisa ‘luntang-lantung’ di ibukota. Beruntung, ia memiliki keahlian menjadi mekanik, sesuai dengan ilmu yang ia dapat di sekolah,”jadi mekanik serep, di bengkel deket kost. Kalau lagi nggak ada serepan, ikut nyetim motor,” ujarnya.
Hasilnya jauh dari cukup, untuk makan sehari-hari saja, ia hanya mengandalkan jatah makan dari steam motor tempatnya bekerja, sisanya untuk bayar kost-kostan yang luasnya hanya cukup untuk tidur saja.
Meski susah mencari kerja, Rizki lebih memilih tetap bertahan di Jakarta, daripada memilih pulang ke Lampung.
“Di Lampung, nyari kerja susah, kalau ada juga, gajinya kecil. Sudahlah, tahan-tahan aja disini (Jakarta), sambil ngumpulin uang buat KTP”.
Memiliki KTP Jakarta adalah masa depan lain buatnya. Meski ia mendengar selentingan untuk bisa mendapat selembar KTP ibukota butuh uang hingga ratusan ribu.
“Punya KTP Jakarta itu solusi satu-satunya untuk bisa kerja, walaupun harus bayar asal bisa kerja nggak apa-apa,” katanya optimis.
Ia mengakui, buat perantau asal Lampung sepertinya, amat sulit mencari kerja di Jakarta, stigma negatif pencari kerja asal Lampung memang sudah terlanjur melekat sebagai tukang buat onar hingga identik dengan tindakan kriminal.“Padahal, nggak semua orang seperti itu,” bela Rizki.
Faktanya, stigma itu masih berlaku sampai saat ini, meski tak tertulis dan bukan hanya kasuistik.
Karakter masyarakat Lampung yang dikenal keras makin melegitimasi stigma itu.
Identitas kultural yang melekat terhadap orang Lampung memang membuat dilema, sekeras apapun dibantah dan sebaik apapun sikap di Jakarta, beridentitas sebagai orang Lampung tetaplah masalah serius.
Pada akhirnya kebanyakan pencari kerja asal Lampung khususnya, harus mengganti identitas mereka sebagai solusi agar bisa bekerja dan bertahan di Jakarta.
Mereka yang awalnya berharap bisa bekerja di sektor formal, terpaksa pula harus tersisih dan menjadi pekerja-pekerja informal dengan hasil yang jauh dari memadai.
“Biaya hidupnya besar disini, beda sama di Lampung. Uang seratus ribu cuma cukup untuk hidup sehari kalau tak pandai-pandai menghemat,” aku Rizki.
Rizki bahkan hanya makan satu kali sehari, dan disimpan untuk keperluan lain. Sesekali teman sekampungnya datang untuk sekedar mengajak makan.
Entah sejak kapan stigma yang cenderung rasis ini berlangsung, namun yang jelas sejak puluhan tahun lalu, banyak perantau asal Lampung khususnya yang memang kesulitan mencari kerja tak hanya di Jakarta saja, tapi juga di daerah Tangerang, Bekasi hingga Bogor.
Parahnya, meski stereotip tentang orang Lampung di mata Jakarta sudah terlanjur melekat, tapi setiap tahun, arus pendatang asal Lampung ke Jakarta bukannya menyurut tapi malah terus bertambah.
Sementara saat berada di Jakarta, mereka tak bisa berbuat banyak. Selain karena stereotip, kenyataannya sebagian besar dari mereka datang ke Jakarta tanpa keahlian.
Sebelumnya, Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta mencatat adanya lonjakan pendatang hingga 129 persen yang masuk ke Jakarta usai Lebaran 2025.
Data ini diperoleh berdasarkan arus balik pascalebaran. Jumlah ini bahkan melonjak jika dibanding arus balik lebaran 2024 lalu.
Dari total jumlah lonjakan itu, tak sedikit pendatang asal Lampung yang masuk ke Jakarta untuk berharap mendapat kerja di ibukota.
Meningkatnya volume pendatang ini, jelas berdampak pada angka kepadatan penduduk Jakarta.
Proses urbanisasi ini–termasuk yang berasal dari Lampung, ke Jakarta dengan membawa mimpi besar yang pada akhirnya harus pupus karena adanya stereotip tentang orang Lampung yang cenderung rasis dan diskriminatif.
Kenyataan ini juga diakui oleh Ega Faizal, Founder Komunitas Teman Baru yang menyebut ini sebagai tindakan yang diskriminatif.
Tak jelas alasan bagi kebanyakan industri yang menolak mempekerjakan perantau asal Lampung, meski memiliki keahlian yang sesuai sekalipun.
“Mungkin lebih ke arah khawatir karena orang Lampung kan memang terkenal keras. Khawatir akan menjadi masalah atau malah jadi tukang buat onar,” ujar Ega Faizal dalam video yang ia bagikan melalui media sosial.
Padahal, jika bicara soal keahlian, kebanyakan perantau asal Lampung memiliki skil yang mumpuni dan tak kalah dengan pelamar lain, Rizki misalnya, sejak masih berstatus pelajar di salah satu SMK di Bandarlampung, ia memiliki keahlian merakit sepeda motor.
Novrian, perantau asal Lampung lainnya bahkan pernah merasakan diskriminasi itu, saat sesi interview di salah satu perusahaan di Jakarta, bagian HRD perusahaan itu malah riuh dan nyinyir saat melihat ijazah Novrian yang lulusan Lampung.
“Begitu lihat ijazah saya dari Lampung, langsung stigma itu muncul, ya begal lah, ya tukang ribut lah,” ujarnya.
Ia juga baru tahu jika kebanyakan calon pekerja asal Lampung memang masuk dalam ‘daftar hitam’ oleh kebanyakan perusahaan.
Daftar hitam pekerja asal Lampung juga merambah bahkan hingga ke gender. Perspektif buruk tak hanya dialami oleh kaum pria, tak sedikit calon pekerja perempuan asal Lampung yang ikut merasakan imbasnya.
Tak hanya di sektor informal, calon pekerja di sektor domestik, seperti Asisten Rumah Tangga hingga babby sitter asal Lampung pun ikut terkena dampaknya.
Arizal, orang Lampung yang bisa dibilang sukses di Jakarta mengakui hal itu, menurutnya stigma negatif orang Lampung di mata orang Jakarta sudah ada bahkan sejak tahun 90-an.
“Pertama saya datang ke Jakarta tahun 92-an aja, stigma itu sudah ada. Waktu ngelamar kerja di supermarket, cuma saya yang disuruh tandatangan perjanjian untuk nggak buat masalah karena KTP saya Lampung,” kenang Arizal yang kini bekerja di salah satu anak usaha milik BUMN di Jakarta.
Waktu itu, lanjutnya, ada empat saja falsafah orang Lampung yang berusaha ‘hidup’ di Jakarta,”otak, otot, ngotak, ngotot, itu aja pegangan hidupnya di Jakarta. Kalau mau rusak, rusak sekalian, atau kalau mau jadi, jadi sekalian, karena ini soal pi’il ”.
Meski demikian, pria paruh baya asal Blambanganumpu, Way Kanan itu tak menyarankan untuk merantau ke Jakarta, selain tingkat persaingan kerja yang sulit, ekomomi yang terus melesu, ditambah beban Jakarta untuk menampung penduduk pendatang juga sudah semakin payah. Selain itu, potensi untuk menjadi pelaku kejahatan juga besar.
“Sering banget liat di medsos, orang Lampung di Jakarta, ditangkep karena maling motor, berantem, jadi tambah jelek citranya orang Lampung, cuma karena nggak punya kerjaan di Jakarta akhirnya bikin masalah di sini,” paparnya melalui pesan whatsapp.
Tapi, ia juga tak menampik, karakter orang Lampung di Jakarta cukup disegani karena mental yang berani, bahkan ada salah satu preman senior asal Lampung yang pernah begitu menguasai salah satu terminal di Jakarta,”orangnya masih ada tapi sudah tua, sekarang buka usaha bengkel motor di deket terminal itu,” ujarnya.
Identitas kultural masyarakat Lampung yang keras ini, memang menjadi pembeda dari kebanyakan masyarakat lain yang ada di Jakarta. Karakter yang identik, cenderung keras, membuat kebanyakan perantau asal Lampung lebih mudah dikenali.
Stigma buruk tentang orang Lampung di Jakarta dan masih berlangsung sampai saat ini, juga diakui oleh Founder Komunitas Teman Baru, Ega Faizal yang menilai tak selayaknya praktik rasis diterapkan kepada orang Lampung ketika merantau atau mencari kerja di Jakarta.
“Dulu waktu gua pertama kali ngelamar kerja di Jakarta, gua pernah ditolak bukan karena skill dan kemampuan gua, tapi karena KTP gua Lampung,” kata Ega Faizal di konten medsosnya yang viral.
Menurutnya, stereotip itu cenderung rasis dan diskriminatif. Dan, disadari atau tidak, stigma ini masih kerap terjadi,”anak daerah juga punya mimpi. Anak Lampung juga punya keahlian. Jangan lihat KTP-nya (Lampung) aja, tapi liat juga keahliannya,” tutur Ega.
Hal ini pulalah yang menginspirasinya untuk kemudian menggagas komunitas Teman Baru yang berpusat di Jakarta. Fokusnya adalah merangkul para perantau di Jakarta, dan tak harus berasal dari Lampung saja, agar tidak merasa sendiri apalagi kesepian.
Kini, jejaring itu sudah memiliki lebih dari 23 ribu anggota. Hal ini membuktikan, bahwa kebanyakan para perantau di Jakarta memang butuh ‘teman’.
Komunitas yang berdiri setahun lalu ini juga terus berdedikasi untuk hadir sebagai teman untuk menghadapi tantangan di perantauan.
Ia mengakui, ada begitu banyak perantau asal Lampung yang terserak di Jakarta dan sekitarnya, ada yang berhasil, ada pula yang sekedar bertahan hidup, meski tak sedikit pula yang akhirnya memilih jalan pintas.