Setelah Harga dan Rafaksi, Kini Kadar Aci

About Author
0 Comments

Pasca pemberlakuan Peraturan Gubernur Lampung Nomor: G/745/V.21/HK/2025 Tentang Harga Acuan Pembelian Ubi Kayu, justru direspon oleh pabrik tapioka dengan menerapkan aturan baru perihal kadar aci minimal 24 persen, yang dirasa berat oleh kebanyakan petani singkong. Selain itu, kebanyakan pabrik juga memilih tak beroperasi.

(Lontar.co): Iring-iringan tiga truk yang penuh dengan muatan singkong itu terpaksa dibawa pulang kembali. Penyebabnya, kadar acinya tak sesuai dengan standar yang sudah diatur oleh pabrik, wajib minimal 24 persen. Padahal, sudah sejak pagi, truk-truk itu ikut mengantri. Pilihannya ditolak atau dikenai potongan harga.

Video yang diunggah secara berantai di Facebook, yang kemudian viral di grup-grup petani singkong dari berbagai kabupaten di Lampung itu pun membuka fakta baru, justru di saat peraturan gubernur sudah resmi berlaku. 

Kesan perlawanan pabrik-pabrik pengolahan singkong terhadap aturan itu memang amat kuat. Mereka seperti sengaja menyiasati aturan itu dengan menambah batas minimal kadar aci, yang sama sekali tidak diatur dalam pergub. Dan, ketentuan itu diberlakukan oleh sebagian besar pabrik pengolahan singkong dari sebanyak 72 pabrik tapioka yang ada di Lampung.

Beberapa pabrik tapioka di Lampung Tengah dan Lampung Utara juga kebanyakan memilih siasat lain dengan menutup operasional sampai batas waktu yang tidak ditentukan, tapi indikasi pemberlakuan aturan kadar aci minimal 24 persen jadi jurus baru buat mereka, apalagi kebanyakan pabrik tapioka di Lampung dimonopoli oleh satu entitas korporasi besar.

Akibatnya petani di dua daerah ini makin tak berkutik, mereka makin cemas pula dengan musim penghujan yang sudah menjelang. Pasalnya, kadar pati singkong rentan lebih rendah saat curah hujan tinggi. Peningkatan volume air pada umbi punya pengaruh besar terhadap berkurangnya konsentrasi pati pada ubi kayu.

BACA JUGA  Skor Literasi Bandar Lampung Jauh di Bawah Metro, Eka dan Eva Harus Mulai Sadar

Di sisi lain, umumnya, untuk mencapai kadar pati seperti yang diinginkan pabrik-pabrik itu, butuh usia tanam ubi kayu setidaknya minimal 10 bulan saat mulai dipanen, tapi musim penghujan di penghujung tahun ini juga tak bisa ditunda.

Aroma permainan lain yang diungkap petani-petani singkong di berbagai daerah di Lampung juga mengarah perihal adanya praktik permainan timbangan pabrik yang selisih jauh dengan estimasi berat muatan yang dibawa petani. 

Meski harga dan rafaksi sudah menyesuaikan dengan harga acuan pembelian yang ditetapkan, namun banyak petani singkong yang melaporkan selisih berat timbangan yang berbeda antara pabrik dan timbangan petani.

Soleh Isa, salah satu petani di Lampung Tengah menyebut singkong yang ia bawa dari kebun menuju pabrik tak kurang dari 9 ton, tapi kenyataannya setelah ditimbang oleh pabrik, berat singkong yang ia bawa terhitung hanya 7 ton, ada selisih hingga 2 ton lebih, dan itu terjadi di hampir semua pabrik.

Demikian pula, soal kewajiban kadar aci minimal 24 persen, sebenarnya tak realistis diterapkan untuk hampir semua varietas ubi kayu yang dibudidayakan petani singkong di Lampung.

Varietas-varietas ubi kayu seperti Garuda hingga Sekoci amat susah untuk bisa mencapai kadar aci sampai 24 persen, meskipun usia tanam satu tahun sekalipun.

BACA JUGA  Aliansi Triga Lampung: Pak Prabowo Tolong Lihat Kesemrawutan Perkara Agraria di Lampung

Umumnya, kadar pati maksimal yang bisa dicapai untuk berbagai varietas hanya sampai kurang dari 22 persen.

Dalam kondisi ini, posisi pabrik menjadi lebih kuat, alih-alih menaati pergub harga acuan pembelian ubi kayu, mereka justru memiliki daya tawar untuk membuat harga singkong petani kembali jatuh, dengan memainkan aturan kadar aci yang tak bisa dipenuhi petani.

Ketentuan soal batasan kadar aci ini juga mulai diberlakukan di pabrik-pabrik yang ada di Mesuji. Nur Rohim, petani singkong di sana menyebut hanya ubi berkadar aci minimal 24 persen yang bakal diterima pabrik, jika kadarnya di bawah itu, maka harganya tak mengacu pada harga acuan pembelian yang sesuai pergub.

Ariyansah petani singkong di Mesuji juga menilai ketentuan kadar aci sama sekali tak diatur dalam pergub itu, kecuali harga, batas rafaksi dan umur panen minimal delapan bulan.

“Ini jelas pelanggaran terhadap pergub, karena pabrik mengakali pergub dengan membuat aturan baru soal kadar aci minimal,” kata Ariyansah.

Seolah kompak dengan pabrik, lapak-lapak penampungan ubi kayu yang ada di Lampung Tengah bahkan menetapkan batas kadar aci yang jauh lebih tinggi dari ketentuan kadar aci dari pabrik, lapak hanya menerima ubi kayu dengan kadar aci 26 sampai 29 persen.

Sebenarnya, dalam tata kelola yang lebih luas, yang diatur dalam Pergub Nomor 36 Tahun 2025 Tentang Tata Kelola dan Hilirisasi Ubi Kayu, pemerintah provinsi telah mengatur tentang pembentukan tim pemantauan harga acuan pembelian hingga pemberlakuan sanksi terhadap para pihak khususnya pelaku usaha yang melanggar peraturan ini, yang meliputi enam sanksi administratif, yakni; peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, penutupan lokasi, pencabutan izin operasional, pembatasan izin dan denda administratif.

BACA JUGA  Cerita Derita Ahli Gizi di MBG

Dalam paparannya juga, Gubernur Lampung, Mirza menegaskan Pergub ini menjadi dasar hukum pertama di Lampung yang secara tegas mengatur pelanggaran terhadap harga acuan pembelian ubi kayu.

Pemberlakuan sanksi, menurutnya, dilakukan secara berjenjang, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang terkait dengan tata niaga singkong ini.

“Sanksinya berjenjang, mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga pencabutan izin usaha bagi yang melanggar. Mekanismenya jelas, transparan, dan adil,” kata Mirza.

Tapi memang secara khusus, dalam beleid itu sama sekali tak mengatur soal ketentuan kadar aci, yang justru dijadikan celah oleh industri untuk tetap mempertahankan monopoli harga yang selama ini berlangsung. Pada situasi ini, petani singkong hanya dihadapkan pada dua pilihan, dibeli dengan harga yang murah atau tak dibeli sama sekali.

Pegiat tani asal Mesuji, Made Kastiawan yang sejak setahun terakhir aktif menyuarakan nasib para petani singkong hingga ke pemerintah pusat, menyebut masalah singkong di Lampung seperti tak berkesudahan, meski pemerintah daerah telah menetapkan aturan harga pembelian dan besaran rafaksi, kenyataannya muncul aturan baru dari pabrik soal kadar aci, belakangan marak pula keluhan soal selisih timbangan yang tak masuk akal sehingga merugikan petani.

“Saya hanya mengimbau teman-teman petani, untuk sudah saatnya untuk mengganti tanaman singkong dengan tanaman lain,” katanya.

Further reading