sekolah
Lima siswa baru yang ada di SDN 1 Gedongmeneng. Foto: Meza Swastika

Robohnya Sekolah Negeri

Sejumlah sekolah dasar negeri di Bandarlampung bertumbangan, karena minim murid. Kualitas yang stagnan hingga terus terjebak pada rutinitas administratif semata, membuat orang tua memilih sekolah swasta. Tapi, sekolah swasta juga tak melulu bicara kualitas, banyak hal tersembunyi yang disimpan rapat-rapat agar citra baik tetap terjaga.

(Lontar.co): Upacara bendera di minggu kedua tahun ajaran baru di SDN 1 Gedongmeneng itu terasa lengang. Tak ada suara riuh siswa dari lapangan sekolah.

Wajah Mellyani seperti tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam. Ia lebih banyak termenung saat memimpin upacara itu, pandangannya terus mengarah ke lima siswa baru yang ada di hadapannya.

Loyalitasnya sebagai pendidik seketika terasa seperti sia-sia.

Sekolah Negeri Kehilangan Siswa

Setidaknya ada dua sekolah dasar di Bandarlampung yang minim jumlah siswa barunya di tahun ajaran 2025/2026.

Kedua SD negeri itu, yakni; SDN 1 Gedongmeneng dan SDN 1 Pecoh Raya. Di, SDN 1 Gedongmeneng, hanya ada lima siswa baru kelas 1 dari total 4 kelas yang disiapkan.

Sedangkan di SDN 1 Pecoh Raya, hanya ada 16 siswa baru dari 4 rombel yang awalnya disiapkan.

Padahal, idealnya, dalam satu rombongan belajar (rombel) setingkat sekolah dasar, minimal ada 28 siswa.

Kepala SDN 1 Gedongmeneng, Mellyani menyebutkan total jumlah siswa di SDN 1 Gedongmeneng hanya ada 48 siswa, rinciannya; kelas 1 dan 2 hanya 5 siswa, kelas 3 hanya tujuh siswa, kelas 4 sebanyak 12 siswa, kelas 5 sebanyak 9 siswa dan kelas 6 hanya ada 10 siswa.

Kondisi ini jelas memprihatinkan, meski sebanyak 10 guru yang ada di SDN 1 Gedongmeneng tetap menunjukkan dedikasinya sebagai pendidik, tapi situasi ruang kelas yang sepi dari siswa memang terasa timpang dan aneh.

Padahal, SDN 1 Gedongmeneng sudah ada sejak tahun 1977, sekolah ini selalu punya riwayat dengan jumlah siswa yang selalu penuh.

SDN 1 Gedongmeneng bukanlah sekolah biasa. Ia sekolah rintisan yang lahir dari kebutuhan masyarakat di sana, yang kemudian membentuk karakter kewilayahan dalam lingkup kecil tapi membentuk identitas yang amat besar bagi Kota Bandarlampung, sebagai pusatnya pendidikan di Lampung.

‘Dikepung’ Sekolah Swasta

Jika Mellyani beralasan sepinya jumlah siswa yang mendaftar di SDN 1 Gedongmeneng karena faktor perubahan lanskap wilayah, dari yang semula permukiman menjadi kost-kostan mahasiswa, sebenarnya pendapat itu tak sepenuhnya benar dan kurang realistis.

Karena, statistik penduduk hasil sensus BPS Lampung tahun 2023, menyebut ada sebanyak 5.481 penduduk yang tinggal di Kelurahan Gedongmeneng.

Selain itu, di kelurahan ini, hanya ada satu sekolah dasar negeri yang beroperasi; SDN 1 Gedongmeneng, dengan demikian, praktis tingkat persaingannya dengan sekolah dasar negeri lain, bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

BACA JUGA  Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

Tapi, jika dicermati lagi, ada setidaknya 5 sekolah swasta yang ‘mengepung’ SDN 1 Gedongmeneng. Lima sekolah dasar swasta itu bahkan diketahui memiliki nilai akreditasi tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan SDN 1 Gedongmeneng.

Demikian pula untuk SDN 1 Pecoh Raya, setidaknya ada 2 sekolah swasta yang punya grade tinggi dan jauh melampaui sekolah negeri yang mengepung SDN 1 Pecoh Raya.

Bisnis Pendidikan itu Bernama Sekolah Swasta

Faktanya, ada yang salah dengan pendidikan di sekolah negeri saat ini. Ada kecenderungan, kebanyakan orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah swasta ketimbang negeri.

Kecenderungan itu yang kemudian direspon oleh para pemilik modal yang kemudian membangun sekolah-sekolah swasta baru dengan berbagai model dan basis.

Di Bandarlampung saja, jika merujuk data dari Kemendikdasmen terhadap jumlah satuan pendidikan swasta setingkat sekolah dasar jumlahnya mencapai 81 sekolah swasta, atau setengah dari total jumlah sekolah dasar negeri yang ada di Bandarlampung, yang jumlahnya 166 sekolah dasar negeri yang tersebar di 20 kecamatan.

Jika melihat komposisi jumlah sekolah dasar negeri dan swasta ini, seharusnya sekolah-sekolah negeri masih berpeluang besar menyerap hampir 80 persen siswa baru sekolah dasar di tahun ajaran 2025/2026, yang jumlah pendaftarnya mencapai lebih dari 15 ribu calon siswa sekolah dasar.

Tapi, faktanya, hanya sedikit sekolah-sekolah dasar negeri yang bisa memenuhi kebutuhan kuota rombongan belajar, kebanyakan sekolah-sekolah negeri non unggulan kalah saing dengan sekolah-sekolah swasta.

Kondisi ini, justru berbeda jika mengamati tingkat persaingan di jenjang sekolah menengah; SMP dan SMA. Pada jenjang sekolah menengah, sekolah-sekolah negeri masih mampu memenuhi kebutuhan kuota rombongan belajar mereka.

Swasta Berjaya, Disdik Diam Saja

Krisis siswa di sekolah-sekolah dasar negeri di Bandarlampung seharusnya menjadi alarm serius buat Pemerintah Kota Bandarlampung.

Jika dulu, mindset orang tua terpaksa menyekolahkan anaknya di swasta karena gagal masuk di sekolah negeri, tapi sekarang, justru sebaliknya, orang tua lebih punya ketertarikan terhadap sekolah swasta daripada negeri.

Pergeseran persepsi masyarakat terhadap mutu pendidikan antara sekolah negeri dan swasta menjadi determinan dari sepinya sekolah negeri kini.

Kebanyakan orang tua cenderung ingin sesuatu yang ‘lebih’ daripada sekolah yang hanya menjadi tempat belajar semata. Tuntutan kebutuhan pembangunan karakter, penguatan nilai keagamaan, penguatan program sejak dini hingga disiplin, meskipun sebagai konsekuensinya, orang tua harus membayar mahal untuk semua ini. Yang menarik, pola pikir orang tua sudah mulai terbuka, bahwa pendidikan menjadi sebuah investasi penting untuk masa depan anak-anak.

BACA JUGA  Cerita ‘Kuproy’ Asal Lampung di Proyek IKN

Sekolah swasta juga efektif membangun branding yang kuat, bukan hanya basis tapi juga fasilitas yang jauh lebih baik, kelas-kelas seperti tahfiidz, bilingual hingga coding adalah sebagian kecil dari karakter sekolah swasta yang lebih update untuk masa depan. Hal-hal ini yang tak dimiliki sekolah-sekolah negeri.

Sekolah Negeri yang Selalu Terjebak Rutinitas Administratif

Sementara, sekolah negeri tetap saja monoton, jalan di tempat, dan hanya melulu terjebak dalam rutinitas administratif semata, tidak ada kekhasan dan identitas. Kepala sekolah dan guru selalu saja terjebak dengan birokrasi yang kaku dan panjang yang membuat mereka susah untuk berinovasi karena sudah terlalu lama terjebak dalam sistem sekaligus administrasi yang rumit dan panjang.

Di saat sekolah negeri terus terjebak dengan keadaan yang menekan ini, carut marut infrastruktur sekolah yang buruk juga menjadi masalah serius. Banyak sekolah negeri yang kondisinya memprihatinkan dan mengkhawatirkan, jika pun ada perbaikan, kualitasnya semata proyek yang tak bertahan lama, karena orientasinya bukan pada kualitas tapi keuntungan.

Dalam hal kualitas ini pula, terungkap dalam data Kemendikdasmen tahun ajaran 2024/2025 lalu yang menyebut dari 19.791 SD swasta yang ada di Indonesia, 28,4 persen diantaranya telah terakreditasi A, sedangkan SD negeri yang jumlahnya sebanyak 129.367 di Indonesia, hanya 20,7 persen saja yang sudah terakreditasi A.

Pemerhati pendidikan sekaligus penulis, M Ainul Yaqin Ahsan menilai pemerintah perlu melakukan intervensi kebijakan segera, karena sekolah negeri bukan hanya butuh pembiayaan tapi juga harus diperkuat secara manajerial, karena sekolah-sekolah pemerintah tak cukup dengan hanya mengandalkan statusnya yang sebagai sekolah negeri.

“Masyarakat sudah kritis dan selektif, karenanya intervensi harus segera dilakukan, jika tidak beberapa tahun ke depan, sekolah-sekolah negeri bakal ditinggalkan siswa,” katanya.

Tapi, bukannya melakukan intervensi, Pemerintah Kota Bandarlampung justru bertindak sebaliknya, Walikota Bandarlampung Eva Dwiana malah akan mengalihfungsikan sekolah-sekolah yang minim murid untuk dijadikan lokasi Sekolah Siger.

Dua sekolah yakni; SDN 1 Gedongmeneng dan SDN 1 Pecoh Raya, akan ia ‘sulap’ jadi bangunan Sekolah Siger, ia seperti tak perduli dengan keberadaan siswa-siswa yang masih ada di sana.

“Bangunannya mau kita pakai untuk Sekolah Siger, ada beberapa sekolah yang akan kita alihfungsi untuk Sekolah Siger, mau kita buat jadi tiga lantai,” kata Eva.

Buruk Rupa Aib Disimpan

Tapi, sekolah-sekolah swasta juga tak selamanya baik. Banyak hal-hal negatif yang justru mereka simpan rapat-rapat karena akan sangat berpengaruh pada citra mereka di masyarakat, sementara sekolah-sekolah ini bisa besar dari mahalnya biaya yang dibayar orang tua.

BACA JUGA  Cerita Pekerja dan Nasabah Bank Plecit hingga Koperasi Keliling

Nama baik, buat sekolah swasta adalah yang utama, karenanya dengan cara apapun pula, mereka berusaha menutup ‘aib’ sekolah.

Padahal, ada begitu banyak dugaan kasus-kasus kekerasan, bullying dan praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan tuntutan orang tua.

Tahun 2024 lalu misalnya, siswi di salah satu SD swasta di Bandarlampung menjadi korban pelecehan seksual oleh gurunya sendiri, parahnya lagi, aksi bejat sang guru justru dilakukan saat jam belajar.

Kasus ini kemudian diungkap oleh Polresta Bandarlampung setelah orang tua korban melapor, diketahui aksi bejat pelaku kepada korban, setidaknya sudah dilakukan tiga kali.

Jika ditarik ke belakang pula, ada putra penyanyi terkenal yang menjadi korban bullying oleh orang tua siswa lainnya di salah satu sekolah dasar swasta di Bandarlampung.

Selain itu, ada pula kasus bullying di salah satu SD swasta terkenal di Bandarlampung yang juga disimpan amat rapat meski korbannya mengalami sejumlah luka.

Coreng moreng sekolah swasta juga tak hanya dialami peserta didiknya saja, tak sedikit pula guru yang dipaksa bekerja ekstra keras melebihi waktu kerja ideal, mereka di eksploitasi pikiran dan tenaganya termasuk bertindak menjadi ‘sales’ tiap kali tahun ajaran baru.

Padahal, diakui atau tidak hampir sebagian sekolah dasar swasta di Bandarlampung juga memberi kesejahteraan yang jauh dari kata layak untuk guru-gurunya.

Deretan permasalahan di sekolah swasta juga masih dibayangi dengan tingginya persaingan antar sekolah dasar swasta yang begitu berambisi mengejar prestasi demi nama baik dan demi citra sekolah agar terus terlihat baik di masyarakat meski harus melakukan berbagai cara yang mengarah pada tindakan kecurangan.

Sumber Kemacetan

Keberadaan sekolah-sekolah swasta ini pula menjadi sumber kemacetan baru di Bandarlampung. Sejumlah ruas jalan di lokasi sekolah-sekolah swasta ini selalu menjadi titik sumbatan kemacetan di pagi, siang dan sore hari.

Simpul-simpul kemacetan ini, kini menjadi pemandangan yang lazim di Kota Bandarlampung.

Polresta Bandarlampung bahkan harus membuat sejumlah rekayasa lalu lintas untuk memecah konsentrasi tumpukan kendaraan di banyak titik kemacetan.

Polisi seperti tak berdaya mengurai kendaraan yang setiap pagi, siang dan sore selalu menumpuk di titik yang sama setiap hari.

Beberapa sekolah swasta itu bahkan diketahui minim kantong parkir sehingga membuat kendaraan orang tua parkir di badan-badan jalan yang makin membuat lalu lintas makin semrawut.

Sementara, pengelola sekolah terkesan lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada polisi.

Sekolah-sekolah swasta tak ubahnya lahan bisnis baru dengan ‘mengeksploitasi’ pendidikan sebagai sumbernya.

Further reading