Rajah dan Jalan Panjang Hijrah Menuju Kaffah

Merajah atau menato tubuh dianggap bagian dari ekspresi atau sekedar bagian dari gaya hidup. Tapi, belakangan mereka yang tubuhnya penuh dengan tato ini, mulai sadar dan memilih ‘kembali’.

(Lontar.co): Mulut Daniel tak pernah berhenti meniup pergelangan tangannya yang penuh dengan tato. Ia benar-benar sudah tersugesti, tiupannya bakal sedikit ‘mendinginkan’ rasa panas di tangannya yang terus menyengat.

Rasa panas yang menjalar hingga ke hampir seluruh tubuhnya ini mulai dirasakan Daniel sejak sepuluh tahun lalu. Ia sadar, panas itu muncul dari reaksi tubuhnya terhadap tinta-tinta tato yang merasuk hingga jaringan hipodermis kulit yang bersatu dengan lemak dan jaringan ikat, yang akhirnya memicu rasa terbakar saat otot terkontraksi.

Ia juga yakin, rasa panas yang seperti terbakar itu adalah efek jangka panjang rajahan tato yang menyelimuti tubuhnya.

Apalagi, hanya bagian wajahnya saja yang tak ia tato, selebihnya rajahan tato menjalar sejak dari mata kaki hingga ke leher, di balik telinganya masih ada pula gambar cicak yang seolah merayap ke dalam rambutnya.

Ia bukan preman apalagi bertingkah estetik kemudian menato tubuhnya, tapi lebih pada kesukaannya pada gambar-gambar yang menurutnya bagus untuk dibuat di tubuhnya dan euforia masa mudanya yang terlalu bebas.

Tato-tato itu ia buat bersama dengan temannya, dibuat bergantian di waktu yang tak tentu pula,”kalau ada gambar yang bagus kita buat”.

Mesin tatonya pun seadanya. Dibuat dari dinamo penggerak bekas Tamiya yang ia modifikasi, diberi baterai, diberi jarum. Tintanya, ia ambil dari isi bolpoin yang dioles di tubuh mengikuti motif tato yang akan dibuat.

Tapi, setelah usianya mendekati lima puluhan tahun, Daniel mulai sadar, hidup hanya tinggal menunggu waktu. Ia tergagap, sementara tubuhnya sudah terlanjur rusak oleh rajah-rajah tato yang disesalinya.

Ia juga merasakan malu luar biasa dengan tubuhnya sendiri, ia merasa kerap jadi perhatian orang banyak, risih dan kecil hati.

Berulang kali ia berusaha ber-eksperimen menghapus sendiri tatonya, menggosoknya dengan setrika, meski sakit ia tahan. Semua ia lakukan sebagai bagian dari proses hijrah yang sedang pelan-pelan ia resapi.

BACA JUGA  Susahnya Disabilitas Hidup di Indonesia, Kurang Perhatian, Anggaran pun Ala Kadarnya 

Ada pula Rani (15) remaja yang juga siswi SMA di Jalan Soekarno-Hatta ini cuek saja dengan tato disejumlah bagian tubuhnya yang diumbar begitu saja.

Di atas mata kaki kirinya, sebentuk tato permanen bergambar telapak kaki kucing, sedang di bawah pergelangan tangan kanannya, ada tato bertulis namanya, dengan font bergaya klasik dengan garis-garis yang kuat, ditambah tiga garis memanjang. Kemudian di tengkuknya, tato dua tangkai bunga yang juga memanjang sekitar 10 cm.

Untuk semua tato yang dibuatnya bersama sang pacar di salah satu gerai tato di Jalan ZA. Pagaralam itu, ia harus kucing-kucingan dengan orang tuanya,”kalo ketauan bisa ancur dunia persilatan,” kekehnya.

Makanya, ia menutup tatonya ketika di rumah, dengan celana, dengan baju dan rambut yang selalu ia gerai, agar keluarganya tak tahu, ia punya tato.

Untuk apa tato-tato itu?, Rani menjawab dengan amat santai,”biar couple dengan cowok gue lah”.

Ada kebanggaan saat Rani diminta bercerita tentang tato itu, meski ia sendiri tak bisa menjelaskan untuk apa,”ya keren aja kayaknya”.

Bagi sebagian orang tato layaknya bagian dari ekspresi mereka. Imej tato yang awalnya menjadi milik kawanan preman mulai bergeser menjadi bagian dari gaya hidup, sebuah style yang tak lekang oleh masa.

Penikmatnya juga meluas dari berbagai lapisan mulai dari remaja hingga orang tua yang sudah berumur, persentase dari perempuan yang memiliki tato pun tak sedikit.

Tato bergeser dari sesuatu yang menyeramkan menjadi sebuah kelaziman, meski pemiliknya tak dianggap istimewa, biasa saja.

Seperti Rani, ia begitu bangga dengan tato yang dimilikinya, tapi takut saat berada di rumah. Meski ia yakin suatu saat, tato-tato yang ia buat bakal diketahui orang tuanya, ia juga tak bisa berbuat apa-apa, apalagi untuk menghilangkannya, justru ia khawatir akan merusak kulitnya.

Nadya Natassya, seniman tato dari Side Space Parlour dalam sebuah workshop menyebut, tato merupakan bagian dari ekspresi sekaligus seni melukis pada kanvas hidup (living canvas) yang tak selamanya baku.

Ia menyebut, tato adalah bagian dari ekspresi penting, wujudnya bisa apa saja, perlawanan, seni hingga kreativitas.

BACA JUGA  Berlayar di Daratan, Kehidupan Baru Nelayan Kampung Cungkeng

Tato, kata Nadya, bahkan sudah memiliki aliran yang dinamis bahkan saling berfusi satu sama lain di tiap aliran, utamanya adalah kontemporer.

Ia juga menolak, jika tato dianggap sebagai barang tabu, tapi lebih kepada penyampaian pesan dan makna yang tak pernah bisa disampaikan dengan lugas.

Ia melihat garis adaptasi, dari semua ketertinggalan persepsi tentang tato di masa lalu dan kini, antara konservatif dan modern, menurutnya harus bukan lagi sebagai sikap permisif tapi bagian dari ekspresi yang harus dihargai semua orang, termasuk tak peduli sekalipun.

Tato memang urusan personal, antara pemilik dan pembuatnya, desain yang detail, warna-warna yang penuh, hingga kesan kontemporer membentuk karakter dari kanvas-kanvas hidup itu, untuk dinikmati bagi Nadya dan sebagian orang yang merasa tato adalah bagian dan perjalanan hidup yang tak melalui proses rumit.

Dalam hal pemenuhan ruang-ruang spiritual, tato kerap kali menjadi pengganjal serius dalam banyak hal, meski tato masih berada dalam ruang bias dalam banyak keyakinan. Tato dalam persepsi religi adalah bagian dari upaya sadar untuk menyakiti diri yang menjurus pada keharaman serius. Bagaimana mungkin penciptaan makhluk yang paling baik dibanding makhluk lain di semesta, diubah hanya demi ekspresi estetis.

Karena itu, buat Daniel, tato adalah bagian dari masa lalu dunianya yang terlalu bablas. Ia bersyukur masih diberi hidup sampai saat ini, agar bisa memahami bahwa hakikat semua-semua yang bersifat dunia itu cuma sementara saja.

Ia ingin menghapus tato, seberapapun sakitnya, seberapapun jeleknya kulitnya nanti, sebagai konsekuensi masa lalu yang pernah ia pilih, hanya agar ibadahnya bisa diterima oleh-Nya.

Karenanya, Daniel dan tak sedikit pula orang-orang yang ingin menghapus tato, sekedar sadar atau bahkan ingin hijrah ke arah yang lebih baik.

Jhon Edwin dari Islamic Medical Service (IMS) Lampung melihat tingginya fenomena para pemilik tato yang ingin benar-benar hijrah secara kaffah (utuh).

Melalui IMS, ia menggagas program menghapus tato gratis diberbagai daerah di Lampung. Ada antusias yang luar biasa ketika program yang ia gagas sejak tahun 2018 lalu ini dihelat.

BACA JUGA  Jejak Orang Lampung di Sihanoukville: ‘Jalur Sutera’ Rute Kamboja (4-habis)

“Tingginya keinginan teman-teman yang ingin menghapus tato ini yang mendasari keyakinan saya untuk membantu teman-teman untuk hijrah secara utuh melalui program hapus tato gratis,” kata Jhon.

Setiap hari pula, Sekretariat IMS di Jalan WR. Supratman, Gedungpakuon, Telukbetung Selatan, selalu ramai didatangi mereka-mereka yang ingin benar-benar lepas dari tato.

“Sudah lumayan banyak yang hijrah. Sudah sekitar 700-an orang yang hijrah menghapus tatonya dengan kita”.

Tingginya animo itu pula membuat Jhon Edwin menggagas program Lampung Hijrah Fair beberapa tahun lalu di Bandarlampung dan Metro.

Program ini utamanya adalah hapus tato gratis, tak ada syarat khusus untuk hapus tato gratis ini, hanya saja sebelum tato dihapus harus ada surat keterangan bebas HIV, Hepatitis B dan C serta diabetes dari laboratorium,”kalau tidak bisa atau tidak tahu cara dapat surat keterangannya, kami bisa bantu buatkan. Buat sahabat, kami memberikan kemudahan-kemudahan untuk membantu mereka hijrah ke jalan yang benar,” tuturnya.

Rupa-rupa orang pernah ia layani, mulai dari kaum perempuan yang ingin menghapus tato sampai pernah menghapus tato yang banyaknya hingga setengah badan.

“Pernah pula kami melayani sahabat yang ingin menghapus tato bergambar zodiak pacarnya yang sudah ditinggal menikah,” kenangnya.

Jhon menerangkan, hapus tato tak bisa dilakukan dalam sekali pertemuan, prosesnya bahkan hingga berkali-kali.

Apalagi untuk tato yang berwarna-warni, prosesnya bisa hingga 12 kali pelayanan,”kalau yang warna hitam saja bisa sampai 5 kali proses dengan jarak dari tindakan pertama ke yang selanjutnya minimal satu bulan”.

Hebatnya lagi, IMS tak hanya sekedar memberikan pelayanan hapus tato gratis dan kemudian melepasnya begitu saja.

IMS justru terus melakukan pembinaan mulai dari belajar mengaji dan taklim hingga pemberdayaan ekonomi kepada mereka yang berniat hijrah,”niatnya sampai sahabat-sahabat itu benar-benar kaffah (sempurna) dalam berhijrah ini. Jangan setengah-setengah”.

Di IMS pula, Daniel seperti menemukan dirinya kembali. Meski masih banyak tato di bagian tubuhnya yang belum terhapus dengan sempurna, tapi ia yakin Tuhan selalu membuka pintu maaf melaui taubat-taubat yang selalu ia panjatkan setiap malam.

Further reading

  • Gitar yang Belum Punya Nama

    Dino, mahasiswa semester tiga di sebuah kampus negeri, duduk termenung di sudut warung kopi. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi uap resah dari dalam dirinya masih hangat. Di antara denting sendok pengaduk dan suara motor lewat, dia mendengar getar suara hati, “Kapan aku bisa punya gitar sendiri?” Dino bisa bermain gitar, tapi tidak memiliki gitar. Sejak […]
  • Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

    “Apa benar bahasa Lampung terancam punah, Mbak?” tanya seorang teman. Kami sedang duduk di salah satu sudut gedung Nuwo Baca Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung. Menikmati empuknya kursi berwarna cokelat, sesekali menjawab beberapa sapa petugas yang lewat. Suasana siang yang nyaman walau di luar terlihat matahari cukup menyengat. (Lontar.co): Saya menganggukkan kepala dengan pilu. Berdasarkan […]
  • Lukaku Potensi Laku Skincare-mu

    Alya baru saja mengunggah reels dengan kutipan sastra. “Kita adalah luka yang saling menemukan rumah.” Musiknya sendu, pencahayaannya remang, dan ekspresinya pasrah seperti habis ditinggal tapi masih berharap. Itu bukan konten biasa. Melainkan terapi. Belum dua menit tayang, muncul komentar, “Buka endorse nggak, Kak? Skincare-ku cocok buat yang habis patah hati.” BACA JUGA  Jejak Orang […]