Kampung Nelayan merah putih

‘Proyek’ Baru itu Bernama Kampung Nelayan Merah Putih

0 Comments
Kampung Nelayan merah putih
Kampung Nelayan Pulau Pasaran di Bandarlampung. Foto: ist

‘Proyek’ Baru itu Bernama Kampung Nelayan Merah Putih

0 Comments

Pemerintah tengah serius melakukan percepatan pembangunan kampung nelayan, termasuk di Lampung, tapi kenyataannya sampai saat ini nasib nelayan tak pernah benar-benar sejahtera, kebutuhan riil yang menjadi hal paling mendasar buat nelayan belum terpenuhi.

(Lontar.co): Sudah sejak seminggu lalu, Hamid tak melaut. Cuaca yang tak menentu membuat perairan Teluk Lampung terasa menakutkan buatnya.

Selama tak melaut itu, tekong kapal yang tinggal di Jalan Teluk Bone, Kelurahan Kotakarang, Telukbetung Timur ini terpaksa ‘pasang dalam’ dulu dengan pemilik kapal hingga warung sembako di dekat rumahnya, jika tak begitu, keluarganya bakal tak bisa makan.

Untuk menutupi kebutuhan harian, sesekali ia ikut membantu menambal lunas kapal milik tetangganya, upahnya jelas kurang dari cukup untuk menghidupi anak dan istrinya.

Demikian pula saat melaut, hasilnya amat tergantung dengan tangkapan yang tak pernah stabil, dan harus dibagi dengan banyak orang pula.

Rata-rata tiap melaut paling banyak ia bisa membawa upah Rp100 ribu, tapi seringnya hanya Rp80 ribu, padahal kapalnya selalu berangkat mencari ikan sejak hari masih pagi benar.

Tapi, untuk kebanyakan nelayan seperti Hamid, hasil laut memang sudah lebih berkurang saat ini dibanding beberapa tahun lalu.

Kondisi paceklik yang terus melanda nelayan di pesisir Teluk Lampung ini membuat kebanyakan dari mereka memilih tak melaut, sementara yang masih memaksakan diri tetap melaut justru pulang dengan hasil yang tak menentu. Padahal, harga solar juga dirasakan amat mahal dan tak sebanding dengan hasil yang mereka peroleh.

Kampung Nelayan Merah Putih

Mulai tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginventarisir sejumlah desa di daerah pesisir maupun desa budidaya perikanan untuk dijadikan sebagai Kampung Nelayan Merah Putih. Tujuannya untuk mengubah wajah pesisir agar lebih produktif dan terintegrasi dalam menghasilkan produk perikanan.

Program ini dianggap sebagai upaya transformasi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Target di tahap awal untuk 100 desa, dengan target secara keseluruhan di program ini adalah 1000 kampung nelayan.

Di Lampung, tahap awal program Kampung Nelayan Merah Putih, hanya untuk empat lokasi, yang meliputi Desa Ketapang dan Desa Bandaragung di Kabupaten Lampung Selatan.

BACA JUGA  Cerita Pekerja dan Nasabah Bank Plecit hingga Koperasi Keliling

Kemudian, dua desa lainnya, yakni; Sukorahayu dan Margasari di Kabupaten Lampung Timur.

Tak Tepat Sasaran

Tapi, di tahap awal ini, kampung nelayan yang ada di Teluk Bone atau yang lebih dikenal dengan Kampung Bugis tak masuk dalam program ini.

Padahal, jika dilihat potensinya, kampung nelayan di Teluk Bone yang masuk dalam Kelurahan Kotakarang, jelas jauh lebih ideal, dan masih satu wilayah dengan Pulau Pasaran yang menjadi produsen utama produk ikan teri nasi dari Lampung.

Dengan jumlah penduduk sebanyak 10.255 jiwa, mayoritas warga di kelurahan ini berprofesi sebagai nelayan, sebagai sumber penghasilan utama mereka.

Dalam data Kelurahan Kotakarang dalam angka tahun 2024 yang diterbitkan oleh BPS Kota Bandarlampung, menyebut bahwa sebagian besar warga Kotakarang adalah penerima manfaat bantuan sosial yang hidup dalam garis kemiskinan.

Tak hanya itu saja, di kelurahan ini juga, masih berdasarkan data statistik BPS tahun 2024 masih ditemukan sebanyak 13 anak yang mengalami stunting, kemudian 8 lainnya mengalami gizi buruk.

Di program Kampung Nelayan Merah Putih rencananya akan dibangun sejumlah fasilitas seperti dermaga, gudang beku, balai pelatihan, pabrik es, sentra kuliner, menara pandang, docking kapal, tempat pelelangan ikan beserta drainase dan IPAL, hingga gedung perkantoran.

Kenyataannya, rencana sejumlah fasilitas pembangunan yang ada dalam program Kampung Nelayan Merah Putih, dinilai oleh Hamid tak menyentuh kebanyakan nelayan.

Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan nelayan bukanlah dermaga, balai pelatihan, pabrik es hingga sentra kuliner, maupun tempat pelelangan ikan, melainkan kepastian suplai bahan bakar untuk kapal-kapal milik nelayan, selain itu harga hasil tangkapan juga sejauh ini kebanyakan tak menguntungkan nelayan.

“Seharusnya yang dibanyakin itu SPBU khusus nelayan, karena selama ini kami kesulitan mencari bahan bakar,” tutur Hamid.

Selama ini, lanjutnya, tiap kali hendak melaut, nelayan harus membeli solar di SPBU biasa, itu pun harganya tak menggunakan harga resmi, ada pula biaya tambahan atau ‘uang cor’ karena SPBU saat ini hanya melayani pembelian dengan menggunakan barcode.

BACA JUGA  Aspek Kemiskinan yang Luput dari Pendataan BPS

Per 20 liter solar yang mereka beli dengan jerigen, nelayan-nelayan ini dikenai tambahan uang cor hingga Rp20 ribu per jerigen.

Terlebih, saat ini bahan bakar solar amat susah didapat, kalaupun ada, kebanyakan SPBU juga tak melayani pembelian dengan jerigen karena khawatir diketahui Pertamina.

“Sekarang, mencari solar susah setengah mati, kalaupun ada SPBU yang masih ada stok solar, mereka tak mau melayani pembelian dengan jerigen,” keluhnya.

Padahal, sekali melaut, tiap kapal nelayan berbobot minimal 5 GT membutuhkan bahan bakar solar paling sedikit 50 liter untuk sekali melaut, berangkat dan pulang, terkadang bahkan lebih, karena saat ini, kebanyakan nelayan harus mencari ikan hingga jauh ke tengah laut.

Proyek-sentris Program Kampung Nelayan

Oleh karenanya, untuk nelayan seperti Hamid dan juga kebanyakan nelayan lain, program Kampung Nelayan Merah Putih juga dirasa tak menyentuh langsung kebutuhan riil masyarakat.

Idealnya, fasilitas yang akan dibangun di kampung-kampung yang menjadi locus program Kampung Nelayan Merah Putih berdasarkan kebutuhan nelayan setempat, bukan kemauan instansi terkait maupun pemerintah daerahnya.

Seperti di Desa Margasari dan Desa Sukorahayu, Kecamatan Labuhanmaringgai yang menjadi dua lokasi Kampung Nelayan Merah Putih di tahap awal, kebanyakan nelayan di sana, mengaku sama sekali tak dilibatkan dalam hal perumusan rencana pembangunan fasilitas, lokasi pembangunan maupun kebutuhan dasar apa saja yang sebenarnya menjadi hal mendasar yang paling dibutuhkan nelayan di dua desa itu.

Pada kunjungan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Lampung Timur ke dua desa calon lokasi Kampung Nelayan Merah Putih pada Mei 2025 lalu misalnya, proses pelibatan nelayan setempat justru minim, padahal saat itu dinas terkait sedang menyusun proposal calon Kampung Nelayan Merah Putih untuk diajukan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Kita mana tahu apa-apa, kampung nelayan itu nanti bakal seperti apa, karena sama sekali tak diberi tahu,” ujar salah seorang nelayan di sana.

BACA JUGA  Jalan Tol Lampung Makin Sunyi

Tak hanya itu saja, para nelayan di dua desa ini juga baru tahu detail calon lokasi Kampung Nelayan Merah Putih, setelah ada kunjungan dari dinas tersebut.

“Nggak pernah ada omongan. Nggak pernah dimintai pendapat, tau-tau calon lokasi dan zonasinya sudah ada, kan bingung juga kita, ini sebenarnya yang mau pakai fasilitas itu nanti orang dinas atau nelayan yang ada di sini,” tutur nelayan lain di Desa Margasari.

Konsep pengembangan Kampung Nelayan Merah Putih yang minim pelibatan nelayan di calon lokasi kampung ini memang cenderung proyek-sentris atau project based karena pada prinsipnya tak menyentuh langsung kebutuhan nelayan yang ada di kampung tersebut, sehingga pada akhirnya program besar skala nasional itu hanya menjadi mubazir dan membuang-buang biaya yang besar saja.

Sekjen Koalisi untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati juga menyatakan hal itu, ia bahkan meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memikirkan ulang program tersebut.

Ia bahkan menilai, daripada membuat program baru yang dikesankan dibutuhkan nelayan padahal kenyataannya justru sebaliknya, akan lebih baik dialihkan untuk program seperti pemetaan daerah pesisir dan penyaluran bantuan kepada kampung yang benar-benar membutuhkan penyelamatan segera.

“Kalau kita berimajinasi, kebijakan ini seharusnya berangkat dari bawah ke atas. Seharusnya, ya, KKP banyak melakukan pendekatan ke desa-desa pesisir yang justru perlu difasilitasi,” kata Susan dikutip dari Alinea.id.

Selain itu, Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany juga mewanti-wanti Kementerian Kelautan dan Perikanan soal pengelolaan kampung nelayan yang sejatinya tak mudah seperti yang dibayangkan.

Hal ini, meliputi prasarana seperti cold storage yang juga harus menyesuaikan ketersediaan pasokan listrik di kampung tersebut.

Demikian pula dengan pembangunan dermaga dan penyediaan alat tangkap yang membutuhkan biaya yang besar.

Selain itu, hal krusial lainnya adalah soal infrastruktur sosial, dalam hal kemampuan nelayan untuk bekerja secara individu maupun kelompok,”dengan memetakan ini akan diketahui kebutuhan sebenarnya termasuk pemberian alat tangkap yang berbeda,” jelasnya.

Further reading

  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]
  • kopi intan

    Bersama BRI, Kopi Intan Sukses Naik Kelas

    Di bawah binaan BRI, Kopi Intan berhasil menapaki pemasaran kopi Lampung hingga ke berbagai daerah di Indonesia. (Lontar.co): Aroma harum biji-biji kopi yang sudah selesai di roasting itu menguar kemana-mana, asalnya dari arah salah satu rumah di Kampung Empang, Pasir Gintung, Bandar Lampung. Dari dalam rumah sederhana yang terus menebarkan semerbak harum biji kopi itu, […]