Pada Rampai (Seharusnya) Kita Berjaya

Sambal Lampung itu otentik, justru karena rampainya.

(Lontar.co): Suatu ketika, dalam kontestasi memasak, Chef Renatta pernah mengomentari sambal buatan salah satu peserta yang menurutnya tak punya sensasi apa-apa kecuali pedas,”akan lebih berkarakter jika diberi tomat ceri,” kata Chef Renatta.

Tomat ceri yang dimaksud Chef Renatta merujuk pada entitas buah rampai yang amat melimpah di Lampung.

Rampai memang mampu membangun karakter sambal secara utuh, bukan cuma menghadirkan pedas tapi beragam warna rasa ia hadirkan, asam dan kesegaran sebagai ciri murni sambal yang otentik.

Sementara masyarakat Jawa bagian tengah, membangun karakter sambal dengan cirinya yang manis, melalui eksplorasi rasa sejak masa kolonial yang pernah diulas secara khusus oleh William Barrington melalui bukunya Life in Java: With Sketches of the Javanese (1864), ia menyebut makanan berat masyarakat Jawa yang disajikan kepada tuan-tuannya adalah nasi, kari dan sambal.

Sedangkan, ahli kuliner Belanda Catenius Van Der Meijden dalam buku resep masakan yang ia buat dan terbit tahun 1942 menyebut secara spesifik tentang, ketika para pembantu di rumah tuan-tuan Belanda amat pandai membuat begitu banyak jenis sambal, meski hanya mengkombinasikan cabai dan garam dalam satu tumbukan. Tapi, tak ada unsur rampai di situ, begitupun dalam buku-buku resepnya yang lebih dalam mengulas sambal; Sambal Oeloek, rampai sebagai bahan tak pernah disebut apalagi dikenali.

Ini berbeda dengan masyarakat yang ada di Pulau Sumatera bagian selatan khususnya, yang sebenarnya lebih minim khasanah kekayaan bumbunya, karena kontur lahan yang tak ideal untuk beberapa rempah, tapi justru memiliki otentisitas sambal yang lebih kaya melalui rampai sebagai ciri sambal dengan karakter yang berbeda, lebih segar, menihilkan manis untuk menjaga konsistensi rasa pedas tetap ada, tapi tak mendominasi, melainkan membangun rasa beriringan, disinilah rampai kemudian memainkan peran pentingnya.

Rampai jelas berbeda dengan tomat. Tomat yang disebut masuk ke Indonesia pada abad ke-19 sangat tak ideal dalam kamus sambal, meski pada gilirannya kerap kali dipaksakan, sebagai pengganti rampai.

Dalam penyajiannya juga, tomat lebih sebagai pelengkap dan tak punya nilai untuk mempengaruhi dan menghadirkan rasa lain pada sambal seunik rampai.

Meskipun, rumpun rampai bersinggungan dengan tomat atau bahkan disebut sebagai gen pembentuk langsung dari tomat, tapi rampai dianggap sebagai tanaman liar yang tak terlalu dinilai sebagai entitas buah, yang dianggap perlu dibawa dalam misi dagang dari negara asalnya, Ekuador dan Peru.

BACA JUGA  Ekonomi Me-layu tapi Bisnis Buket Terus Mekar

Sementara, ranumnya buah-buah rampai sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Lampung dan masyarakat Sumatera Selatan yang menyebut rampai sebagai buah Cung Kediro. Pada gilirannya masyarakat Sumatera Selatan memiliki karakter sambal yang mirip dengan sambal rampai dari Lampung yang segar dan tentu saja khas, Sambal Cung.

Sebagai spesies tomat liar, seperti yang disebut oleh Maria Stephanie dalam Ensiklopedia dari Bumi Nusantara ke Piring Kita, rampai justru lebih punya makna yang amat dalam bagi masyarakat Lampung dan Sumatera Selatan.

Ia mempengaruhi banyak jejak tradisi kebersamaan, sebagai ciri identik masyarakat Lampung di masa lampau. Rampai bahkan tumbuh beriringan dengan entitas sambal itu sendiri, yang sampai meluas ke tradisi-tradisi makan bersama yang oleh masyarakat Lampung dikenal dengan istilah Nyeruit.

Dalam setiap pajuhan tersisip kulit-kulit dan biji rampai yang segar, tapi tak berusaha mempengaruhi rasa pedas, tapi lebih kepada menghadirkan sensasi kesegaran pada sambal itu sendiri.

Walaupun sejatinya, rampai tak pernah secara khusus dihadirkan dalam riwayat-riwayat masyarakat Lampung seperti halnya kopi dan lada. Tapi, rampai justru ikut andil membentuk karakter langsung dari masyarakat Lampung itu sendiri, dalam banyak hal, utamanya dalam khasanah kuliner dan kekayaan bumbu yang original.

Sebagai entitas liyan, rampai memang menihilkan tekstur melainkan instrumen penting dalam membentuk rasa, ia tak bisa hadir sendiri, ia melengkapi beragam bumbu dan buah dalam lesung, yang kemudian disajikan untuk menggugah pengalaman sensorik untuk menghadirkan kenikmatan sambal secara utuh.

Dalam hal kuliner, masyarakat Lampung memang tak punya kecenderungan menghadirkan nilai-nilai estetis, apalagi dalam kelompok-kelompok eksklusif patriarki yang hanya melulu bicara tentang rasa, meski sederhana sekalipun, tapi tetap harus enak, sehingga kemudian, kita mengenal konsep; mengan bangik dan bangik mengan, itu saja.

Dalam dua konsep; mengan bangik dan bangik mengan itu, pada kelompok lapisan masyarakat dengan strata paling bawah, sambal kerap kali memegang kendali penuh atas sajian lain yang hanya nasi dan lalapan saja.

Di sini, kaum perempuan Lampung pada akhirnya memang memikul beban yang besar untuk menghadirkan rasa yang sesuai dengan selera agar setidaknya mampu menghadirkan kedua konsep itu sekaligus ke dalam pinggan para lelaki.

BACA JUGA  Komdigi Target 9 Juta Talenta Digital, Tapi Akses Internet Lemot dan Tarif Premium

Dari dua konsep itu, masyarakat Lampung memang tak pernah menanggapi bentuk, biasa saja. Mereka hanya bicara soal rasa yang amat detail, dan rampai sebagai pembentuk cita rasanya.

Sejak lama, hal itu berlangsung terus menerus, turun-menurun, diwariskan sebagai kekuatan kuliner paling khas untuk mengiringi seruit sebagai bentuk akhirnya.

Smithsonian Magazine dalam Special Reports Smithsonian Journeys Travel berjudul Why Is This Wild, Pea-Sized Tomato So Important?, menyebut kehadiran rampai, atau yang mereka sebut tomat seukuran kacang polong (pea sized tomato) sebagai bagian bumbu paling berharga yang punya nilai penting dalam mewarnai khasanah kuliner Peru, selain rempah-rempahnya.

Tomat seukuran kacang polong itu telah mewarnai lapisan generasi di Peru untuk menghasilkan berbagai sajian menu melalui kekayaan rempahnya yang kuat seperti Aji Amarillo (cabai kuning) dan Aji Panca (cabai merah), Huacatay maupun oregano.

Dalam laporan itu juga, para ahli botani percaya, bahwa rampai atau tomat liar (Solanum pimpinellifolium) atau masyarakat Peru dan Ekuador menyebutnya dengan ‘pimp’ sebagai nenek moyang dari semua tomat yang ada di dunia saat ini.

Sama seperti masyarakat Lampung, penduduk Ekuador dan Peru juga memperlakukan rampai sebagai tanaman liar.

Tapi, masih dari laporan Smitshonian Journeys itu, masyarakat Peru mengistimewakan pimp yang menempatkan dan menjadikannya sebagai salah satu sajian istimewa nah mewah di restoran-restoran mahal.

Pakar tomat dari Universitas California, Roger Chetelat dalam laporan khusus itu menyebut siapapun yang pernah menikmati saus merah pedas atau pernah menyeruput sari manis asam bersama bistik sapi, wajib berterima kasih pada spesies liar yang sederhana tapi punya berjuta kegunaan itu.

Rampai atau buah pimp yang tumbuh di Amerika Selatan bagian barat adalah rampai-rampai yang tangguh, yang bisa tumbuh dan bertahan hidup tanpa ada campur tangan apapun dari petani.

Rampai-rampai ini juga harus bertahan di iklim yang jauh berbeda dengan daerah-daerah tropis seperti di Lampung, beberapa daerah di Ekuador dan Peru sebagai ladang-ladang luas rampai tak bertuan, bahkan memiliki lanskap gurun terkering dan terkeras di dunia.

BACA JUGA  Lomba Menulis Pilih yang Realistis

Tapi, kenyataannya, di daerah endemisnya langsung, rampai memang tak semegah dan semewah lada dan kopi, yang diberi panggung melalui sertifkat indikasi geografis, sebagai identitas yang diberikan untuk produk yang hanya ada dan berasal dari daerah tertentu, dengan mempertimbangkan reputasi, kualitas hingga karakteristiknya yang khas dan merujuk pada daerah asalnya.

Lada hitam Lampung Timur misalnya, memperoleh sertifikat indikasi geografis tahun 2015 lalu sebagai daerah penghasil lada hitam berkualitas di Indonesia. Lada bahkan di-glorifikasi melalui perayaan-perayaan seremonial sebagai even tahunan.

Demikian juga dengan kopi, sentra-sentra kopi robusta di Lampung, seperti Lampung Barat, Way Kanan hingga Tanggamus telah sejak lama memperoleh sertifikat indikasi geografis, sebagai produk perkebunan yang memiliki spesifikasi berkualitas level dunia.

Sedangkan rampai, sejak lama memang tak pernah diwariskan dalam bentuk nilai, sebagaimana kebiasaan masyarakat Lampung yang hanya berorientasi pada nilai transaksi pada proses barter di masa lampau. Ia dianggap hanya sebagai pelengkap biasa, yang diabaikan begitu saja dan (dianggap) tak punya potensi.

Dalam kelompok bumbu ia kerap kali jadi kelompok paling marjinal, dibanding bawang dan cabai, levelnya hanya kelas dua, ia memang benar-benar seperti liyan.

Padahal, rampai bisa jadi kekuatan penting untuk membangun karakter kuliner Lampung. Pasarnya membentang sampai jauh, dari Nusa Tenggara hingga ujung Jawa.

Marketplace-marketplace riuh dengan transaksi berpuluh-puluh kilo rampai setiap harinya.

Pasar-pasar yang masih gelap dari matahari, membangun kesepakatan barter antar pedagang Jawa dan Lampung, rampai dengan bawang dan rampai dengan cabai atau bisa juga rampai dengan uang, yang kemudian dibawa ke Pulau Jawa sebagai komoditas yang mahal.

Dari situ pula kemudian, rampai menjadi bagian tak terpisahkan dari sambal-sambal masyarakat Jawa dan penduduk di Indonesia bagian timur, ia ditempatkan pada posisi yang istimewa, bahkan rampai yang berhasil dibudidayakan di Jawa dianggap sebagai sebuah pencapaian luar biasa.

Rumah-rumah makan bertajuk sambal Lampung pun semarak di Pulau Jawa dan orang-orang memburunya sebagai kenangan dan kenikmatan.

Sementara di lumbungnya sendiri, rampai hanya tumbuh di lahan-lahan yang tak istimewa, di tepian siring, di dekat wc umum. Perlakuannya tak istimewa sebagaimana tanaman lain, bahkan kerap dianggap belukar.

 

 

Further reading

  • rampai

    Pada Rampai (Seharusnya) Kita Berjaya

    Sambal Lampung itu otentik, justru karena rampainya. (Lontar.co): Suatu ketika, dalam kontestasi memasak, Chef Renatta pernah mengomentari sambal buatan salah satu peserta yang menurutnya tak punya sensasi apa-apa kecuali pedas,”akan lebih berkarakter jika diberi tomat ceri,” kata Chef Renatta. Tomat ceri yang dimaksud Chef Renatta merujuk pada entitas buah rampai yang amat melimpah di Lampung. […]
  • Gitar yang Belum Punya Nama

    Dino, mahasiswa semester tiga di sebuah kampus negeri, duduk termenung di sudut warung kopi. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi uap resah dari dalam dirinya masih hangat. Di antara denting sendok pengaduk dan suara motor lewat, dia mendengar getar suara hati, “Kapan aku bisa punya gitar sendiri?” Dino bisa bermain gitar, tapi tidak memiliki gitar. Sejak […]
  • Bahasa Lampung, di Tepi Jurang Terancam Punah?

    “Apa benar bahasa Lampung terancam punah, Mbak?” tanya seorang teman. Kami sedang duduk di salah satu sudut gedung Nuwo Baca Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung. Menikmati empuknya kursi berwarna cokelat, sesekali menjawab beberapa sapa petugas yang lewat. Suasana siang yang nyaman walau di luar terlihat matahari cukup menyengat. (Lontar.co): Saya menganggukkan kepala dengan pilu. Berdasarkan […]