bonus demografi
Ribuan orang pencari kerja sedang mendaftar di Salah satu perusahaan. Foto: ist

Omon-omon Bonus Demografi

Narasi bonus demografi hanya paradoks yang terus didengungkan oleh pemerintah melalui Wapres Gibran. Faktanya, mencari kerja di Indonesia seperti mencari jarum ditumpukan jerami.

(Lontar.co): Saat menyampaikan bonus demografi di konten video yang dirilis melalui akun Youtube Wakil Presiden Republik Indonesia, tiga bulan lalu, mata Gibran Rakabuming kerap kali berkedip, bahkan kedipannya lumayan intens ketika ia terus berbicara tentang bonus demografi secara langsung.

Banyak interpretasi yang menyebut jika Gibran terlalu lelah saat membuat konten ini. Tapi, menurut pakar psikologi Paul Hokemyer kedipan mata erat kaitannya dengan kebohongan, sebagai bagian dari respon tubuh terhadap berbagai macam stres.

“Kedipan mata menjadi reaksi neurofisik di bawah alam sadar,” kata Paul Hokemeyer.

Paul juga merilis hasil penelitian, bahwa orang yang berbohong punya tingkat kedipan mata yang cenderung spontan dan terus meningkat.

Potensi kedipan mata juga, lanjut, jika ditinjau dari sudut evolusioner menilai berkedip sebagai respon dari upaya untuk melarikan diri terhadap bahaya ancaman yang tampak di depan mata.

“Indonesia akan mendapatkan puncak bonus demografi di tahun 2030 sampai 2045, sebuah kondisi yang terjadi, hanya dalam satu kali sejarah peradaban sebuah bangsa. Kesempatan ini, tidak akan terulang, dimana sekitar 208 juta penduduk kita akan berada di usia produktif, dimana generasi muda memiliki proporsi yang lebih besar,” kata Gibran dengan gestur yang tenang, tapi tetap dengan mata yang terus saja berkedip semakin intens.

Jualan Lama Bonus Demografi

Faktanya, bonus demografi itu memang ada, bahkan sudah diprediksi sejak lama, pada tahun 2015 lalu bahkan, jumlah penduduk usia produktif bahkan sudah ada sejak lima tahun lalu, tahun 2020 yang dirilis oleh BPS dan Bappenas, artinya bonus demografi memang topik lama yang ‘digoreng’ ulang sesuai dengan kondisi kekinian seiring maraknya hype gen z, millenial dan banyak kategori generasi lainnya berdasarkan lapisan umur.

Tapi, Gibran juga menutup mata dengan fakta yang sesungguhnya saat ini, dimana banyak usia produktif tak memiliki kesempatan mendapat kerja, disisi lain, angka PHK massal justru terus bergerak naik, seiring melesunya perekonomian.

Penting dicermati, jumlah angkatan kerja terus bergerak naik sejak tahun 2014, tapi angka pengangguran tak pernah bergerak turun, hal ini mengindikasikan ketidakmampuan pertumbuhan lapangan kerja untuk mengimbangi angka pengangguran yang terus membengkak dari tahun ke tahun, justru di saat Gibran dengan seriusnya menyebut bonus demografi, baik di konten Youtube maupun di kunjungan-kunjungan resminya.

(Katanya) 19 Juta Lapangan Kerja

Janji ketersediaan 19 juta lapangan kerja yang selalu didengungkan Jokowi tak pernah terealisasi. Belakangan, janji 19 juta lapangan kerja juga diturunkan ke Gibran, anaknya, tapi jangankan 19 juta, 1 juta lapangan kerja pun tak terlihat di 10 bulan pertama Prabowo dan Gibran memimpin, sementara PHK sudah terjadi dimana-mana.

BACA JUGA  Nasib Petani Anak Tuha yang Tetap Merana

Ekonom dari Core Indonesia, menyebut data terbaru dari BPS per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka yang didominasi anak muda sudah tembus di angka 16,16 persen, ini melonjak tiga kali lipat dari jumlah pengangguran secara nasional yang tercatat sebanyak 4,76 persen.

Dari jumlah total sebanyak 7,47 juta pengangguran nasional, sebanyak 52 persen didominasi oleh generasi muda, seperti yang disebut Gibran sebagai bonus demografi tadi.

Angka pengangguran di Indonesia yang didominasi oleh generasi muda di Indonesia ini bahkan disebut organisasi perburuhan internasional (ILO) sebagai yang tertinggi dibanding Thailand yang cuma 4,3 persen, Malaysia 12,3 persen, Vietnam yang hanya 6,8 persen, Filipina yang hanya 6,6 persen termasuk negeri prindavan India yang angka penganggurannya hanya 12,8 persen, sedangkan pengangguran di Indonesia disebut oleh ILO sudah berada pada titik yang mengkhawatirkan.

Dengan angka pertumbuhan ekonomi yang hanya stagnan di angka 5 persen ke bawah jelas tidak mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah signifikan.

PHK Dimana-mana

Saat jumlah pengangguran terus bertambah setiap waktu, Kementerian Ketenagakerjaan juga menyebut sepanjang Januari-Juni 2025 ada sebanyak 42.385 orang terkena PHK.

Daerah-daerah yang berkontribusi tinggi terhadap angka PHK massal itu justru menjadi daerah-daerah yang selama ini sebagai sentra-sentra produksi nasional, seperti Jawa Tengah dengan angka PHK massal tertinggi sebanyak 10.995 orang, selanjutnya diurutan kedua ada Jawa Barat dengan angka PHK sebanyak 9.494. Diurutan ketiga terbesar ada Banten dengan jumlah PHK sebanyak 4.267 orang.

Ada kenaikan hingga 32, 19 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2024 yang angka PHK massal-nya hanya sebanyak 32.064 persen.

Jumlah ini diperkirakan bakal terus bertambah seiring makin melesunya perekonomian, karena industri-industri skala besar yang bergerak di bidang manufaktur, perdagangan besar dan retail hingga sektor jasa menjadi sektor-sektor industri penyumbang kasus PHK massal.

Data terbaru dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menyebut sampai dengan saat ini, merujuk data BPJS Ketenagakerjaan ada sebanyak 40 ribu pekerja yang mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

“Ekonomi Indonesia sudah di lampu kuning,” kata Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani.

Ramai Perusahaan Gulung Tikar

Mimpi bonus demografi juga tak seiring dengan banyaknya perusahaan-perusahaan raksasa di Indonesia yang gulung tikar, sepanjang Januari-Maret 2025 saja, setidaknya ada 9 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja yang besar, harus bangkrut dan kemudian memicu PHK besar-besaran.

BACA JUGA  Ayak-ayak, Serenada untuk Bumi dan Tubuh Perempuan

Perusahaan-perusahaan seperti; Sritex Group, Sanken, Yamaha Music, KFC Indonesia, PT Tokai Kagu Indonesia, PT Danbi International, PT Bapintri, PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh, adalah perusahaan-perusahaan yang kolaps dan menambah daftar panjang puluhan ribu pekerjanya yang menjadi pengangguran.

Data terbaru lainnya dari Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2025 ada setidaknya 12 perusahaan yang juga tengah ‘sekarat’ dan terancam di delisting dari bursa efek karena kondisi keuangan yang buruk hingga mulai pailit.

Delisting saham merujuk pada proses penghapusan pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia, delisting dilakukan karena faktor masalah keuangan serius.

Kerja tapi Gaji Minim

Bonus demografi ala Gibran juga cenderung ilusif, karena meskipun tercatat bekerja, tapi diupah dengan amat minim bahkan jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) tiap daerah.

Kondisi ini banyak terjadi, tak hanya di level UMKM, bahkan industri skala besar pun ‘sembunyi-sembunyi’ membayar kesejahteraan dengan amat minim kepada pekerjanya.

Upah murah ini juga berkorelasi dengan jam kerja yang amat panjang, jauh melebihi ketentuan .

Sepanjang empat tahun terakhir, 2022 hingga 2025, jumlah pekerja dengan upah murah angkanya hampir setara dengan jumlah pekerja dengan upah yang layak.

Jika di tahun 2022 lalu, ada sebanyak 46 persen dari total pekerja di Indonesia yang diupah jauh di bawah UMR, maka pada tahun 2024 angkanya melonjak menjadi 48,4 persen.

Kemudian, di tahun 2025 angkanya melonjak drastis hingga 52,78 persen atau sebanyak 28.53 juta pekerja mendapatkan upah di bawah standar yang seharusnya.

UMKM Ikut Terdampak

Industri yang dikelola secara profesional, efisien dengan permintaan yang stabil saja terdampak, bagaimana dengan UMKM yang sejak beberapa tahun terakhir jatuh bangun akibat faktor inflasi, harga bahan pokok yang melonjak hingga ketidakpastian situasi pasar global, membuat UMKM kembung kempis.

UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional, hanya sebagai pemanis ucapan dari pemerintah, karena di saat puluhan ribu UMKM terdampak dari lesunya perekonomian nasional, mereka tak memiliki akses yang lebar untuk mengajukan kredit.

Saat kredit sulit di akses, infrastruktur juga ikut menghambat, model manajemen yang dilakukan dengan praktik informal makin memperparah kondisi UMKM kini.

Pertumbuhan kredit UMKM juga terus menyusut. Faktornya, di tengah situasi ekonomi yang melambat, daya beli melesu, pengusaha kelas UMKM ragu mengajukan kredit karena ketidakpastian pasar.

Laju pertumbuhan kredit ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tercatat masih melambat pada awal tahun 2025 ini.

Data Bank Indonesia merilis realisasi kredit di sektor UMKM yang hanya tumbuh 2,1 persen di periode dan tahun yang sama, mengalami perlambatan, bahkan pada level usaha menengah pengajuan kredit hanya tumbuh 0,5 persen, dan di level usaha mikro penyaluran kreditnya bahkan minus 0,9 persen.

BACA JUGA  Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

Kondisi ini, dipicu oleh rantai birokratis kredit yang rumit, hingga bunga pinjaman kredit yang sangat tinggi, kondisi ini membuat lebih dari 80 persen UMKM menghidupi usahanya dari modal pribadi.

Di saat jalan yang terseok-seok itu, UMKM masih pula kesulitan untuk memperoleh akses pasar yang luas.

Yang menyedihkan lagi, menurut Apindo, dari 66 juta UMKM di Indonesia, hanya sebanyak 7 persen UMKM saja yang terkoneksi dengan pasar domestik, kemudian hanya 4 persen saja UMKM yang bisa menembus pasar domestik.

Bandingkan dengan UMKM di Vietnam yang 20 persen UMKM di sana sudah eksis di pasar global.

Kebanyakan ekonom juga memperkirakan, jika pemerintah tak cepat tanggap, maka lebih dari 60 persen UMKM di Indonesia bakal berdampak sistemik, jika UMKM gagal tumbuh, maka perekonomian Indonesia sudah amat mengkhawatirkan. Padahal, UMKM yang menggeliat menjadi indikator ekonomi di level bawah yang masih dinamis.

Bonus Demografi cuma Omon-omon

Bonus demografi, seperti kata Gibran yang kerap kali berkedip, jika tak diikuti dengan ketersediaan jumlah lapangan kerja yang setara dengan jumlah angkatan kerja justru akan menjadi bumerang serius buat pemerintah, yang hanya terlena pada data statistik yang cenderung semu.

Selain itu, Gibran juga tak melihat melimpahnya angkatan kerja dan jumlah pengangguran terbuka dicampur dengan jumlah pekerja yang terkena PHK massal membuat persaingan kerja makin ketat di tengah ancaman bonus demografi, apalagi kualitas pendidikan pekerja juga tak ideal untuk menciptakan tenaga terampil yang berkorelasi dengan upah yang layak pula.

Bahwa akan ada bonus demografi untuk Indonesia dan hanya terjadi satu kali dalam sejarah peradaban bangsa seperti kata Gibran, itu memang benar, tapi kenyataannya angkatan kerja ini juga tak memiliki bekal keterampilan hingga pengetahuan yang memadai untuk disebut sebagai tenaga siap kerja.

Besarnya populasi angkatan kerja di rentang usia tertentu memang modal, tapi jika tak diiringi dengan pertumbuhan ekonomi, maka hasilnya adalah omong kosong.

Karenanya, Sosiolog Universitas Padjajaran yang juga pengamat kebijakan publik, Jannus Siahaan menilai usia produktif yang dibingkai dalam bonus demografi itu selamanya tak akan pernah bisa bertemu jika kualitas hidup hingga ketersediaan lapangan kerja tidak ada.

Sehingga, bonus demografi seperti yang selalu diucapkan Gibran itu tak lebih dari sekedar omon-omon semata.

 

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]