Pengojek online bagaikan hidup di jalan
Tetapi, mereka tak berharap
meninggal dunia di aspal jalanan
(Lontar.co): Ojek online (ojol). Mereka adalah penerima jasa untuk mengantar penumpang yang memesan lewat aplikasi internet di telepon genggam. Para ojol adalah pengemudi motor. Mereka bagaikan hidup di jalan. Tetapi, tak ada keinginan wafat di aspal jalanan.
Sejak perampingan karyawan di perusahaan, Kurnia –sebut saja begitu– termasuk pegawai yang dirumahkan. Ia pun menganggur. Tak mau lama berdiam diri sementara istri dan anak harus makan, Kurnia pun mengajukan kredit motor. Ia pindah profesi jadi pengojek.
Dari pagi, setelah mengantar anak sekolah yang masih duduk di kelas 6 SD, Kurnia tancap gas mencari penumpang. HP-nya berdering tanda ada pemesan. Pukul 14 ia ke sekolah anaknya. Jemput pulang. Setelah itu kembali mengojek.
Sudah empat tahun Kurnia menjalani profesi pengojek online. Alhamdulillah, dia selalu bersyukur, masih aman-aman saja. Baik ancaman pembegal yang bisa terjadi kapan saja, ataupun kecelakaan lalu lintas (lakalantas) misalnya menabrak, tabrakan, atau lakalantas lainnya.
Dalam kerjanya, Kurnia pergi pagi dan pulang hampir dinihari. Setiap hari ia bisa dapat di atas Rp400 ribu lebih. Itu sudah bersih setelah membeli BBM. Penghasilan tersebut harus ditabung sebagian untuk mencicil dan merawat kendaraan. Untuk kebutuhan sehari-hari dan juga biaya kebutuhan sekolah anak. Beruntung Kurnia dianugerahi seorang anak. Kalau tiga atau empat, anak? Akan lain masalah.
Kurnia adalah “wakil” ojol yang jumlahnya jutaan orang di Indonesia. Yang “diberi” lapangan pekerjaan melalui aplikasi online. Mereka saling bersaing mengejar penumpang. Para pengguna jalan umum itu bagaikan Valentino Rossi di sirkuit. Sama-sama berisiko kecelakaan di aspal jalanan.
*
Jakarta bukan surga bagi pengojol. Juga lahan subur pengojek. Persaingan lebih besar, layak sebuah jurang besar antara orang bermobil dan masyarakat yang mengandalkan ojek. Kalau tidak pintar dan garcep, alamat tak memperoleh penumpang.
Tanpa menggunakan aplikasi, penumpang pun ragu. Padahal mendapatkan penumpang tanpa memesan lewat aplikasi, hasilnya tidak dipotong. Itulah dilema para pengojek.
Sementara cicilan motor harus sesuai jadwal setiap bulannya. Kalau telat sudah dikejar oleh pesan yang masuk. Bisa-bisa ditarik showroom karena tak bayar beberapa bulan. Sisi lain untuk hidup di Jakarta, hanya kentut yang gratis!
Afan –bukan nama sebenarnya– tahu benar itu. Bertahun-tahun menjadi warga “liar” di Jakarta, ia paham betul. Dikatakan “liar” karena KTP-nya yang ada di sakunya berlabel luar Jakarta. Pengalaman sehari-hari adalah sekolah baginya untuk menundukkan bekas ibukota RI itu. Siang malam dia hidup di jalan, tapi dia tak pernah ingin mati di aspal jalanan.
“Kalaupun sudah ajal, kumau wafat baik-baik saja di ranjang di depan istri dan anak. Tidak didahului dengan menyusahkan keluarga. Dimandikan dan dikafani sesuai ajaran Islam. Dikubur tanpa merepotkan para takziah,” ia membatin.
Hidup sudah sengsara, kalau mungkin jangan pula dalam kematian lebih sengsara. Semasa hidup sudah miskin, ia berharap ketika wafat tidak menyulitkan keluarga. Terkhusus istri dan dua anak yang sangat dicintai. Debu jalanan, terik di jalan, hujan dikala penghujan.
Cukuplah baginya demi menjadi pejuang bagi keluarga. Bukan merepotkan di kala ajal menjemput. Ia juga selalu berdoa, andai pun Tuhan mau menjemput usah pula diambil di ruang rumah sakit. Atau jenazah ditemukan di jalan.
“Jangan ya Allah. Lindungi aku dari kesusahan seperti itu,” doanya dalam setiap salat lima waktu.
Doa, tak semua dikabulkan hari ini Tuhan Maha Tahu, Allah memberi sesuai peruntukan hamba-Nya. Boleh jadi, suatu permohonan tidak dikabulkan atau ditunda, tapi akan diberi lipat ganda dengan hal lain di kemudian hari.
Afan tak kecewa. Ia juga tidak akan merutuk jika doanya belum terkabulkan. Ia tetap bersyukur, bahwa ia diberi istri yang mencintai. Menerimanya apa adanya. Saat menganggur, tak diomeli. Ketika menjadi pengojek online, sang istri tak rendah diri. Begitu pula dua anaknya, adalah anak-anak yang menerima. Tidak menuntut macam-macam.
Tetapi, jalan hidup siapa bisa tahu? Takdir dan ajal seperti rahasia badai bagi laut. Ya, ia banyak belajar dari perjalanan pelaut: “karena laut mengajarkan rahasia badai/aku pun setia berlayar” (puisi “Perjalanan Pelaut” karya Isbedy Stiawan ZS, 1987).
Para pelaut tahu kapan musim badai, maka mereka setia berlayar. Ketika datang badai, mereka akan menepi. Begitu pula Afan, sebagai orang yang hidup di jalan maka tak ingin mati dirajam aspal jalanan. Ketika lelah ia akan istirahat. Saat mengantuk menerpa, ia harus menepi sejenak untuk menyelesaikan kantuknya.
Tetapi kematian bisa kapan saja, itu rahasia Tuhan. Di waktu dan tempat yang sudah ditetapkan Allah. Afan seolah memburu kematian itu. Dia masuk ke kelimunan orang-orang yang sedang berdemo.
Suasana panas, mata perih karena hamburan gas air mata yang dilontarkan polisi ke rombongan pendemo. Panik. Mundur. Polisi merangsek maju. Malaikat maut seakan mengawasi dari atas untuk menangkap siapa yang dikehendaki-Nya.
Mobil kendaraan taktis (rantis) punya Brimob melaju kencang. Tujuannya menghalau para pendemo mundur atau kocar kacir. Afan berada di antara kerumunan itu. Ia lari sekencang-kencangnya, ingin menghindar. Mengelak dari serudukan mobil rantis Brimob. Apa daya, Afan bukan mesin buldozer. Ia hanya manusia yang tak memiliki daya dan upaya.
Tertabrak. Terlindas. Nyawanya pun diangkut Tuhan ke langit. Duka pun menyebar.
Di situ ada pintu untuk kita masuk. Reformasi di tubuh kepolisian RI perlu dipikirkan. Polisi sebagai pengayom, polisi sebagai pelindung rakyat. Kini perlu digagas ulang. Saatnya, kehadiran sosok polisi di tengah rakyat bukan sebuah ancaman. Atau menakutkan. Mereka adalah kawan rakyat. Di mana pun tempat dan situasinya. Seperti tentara (ABRI) yang ditengarai selalu menjadi “kawan setia” rakyat. (*)