Oemar Bakri Oemar Bakri
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti
memang makan hati
(Iwan Fals)
(Lontar.co): Menkeu RI Sri Mulyani, sudah mengklarifikasi pernyataan “Guru Jadi Beban Negara” tidak benar – terjadi editing netizen, setidaknya itu bisa dijadikan viral agar memicu kesadaran solidaritas pada nasib guru di tanah air.
Miris. Seorang guru madrasah di Demak, Jawa Tengah, harus terkena tuntutan Rp25 juta oleh orang tua murid karena menampar di lingkungan sekolah. Namanya Ahmad Zuhdi. Akrab disapa Guru Madin.
Guru Madin, sudah menderita dengan penghasilan tak seberapa harus pula mengeluarkan uang sebesar itu. Habis ludes seluruh gajinya selama menjadi guru. Ilmu yang diberi ke siswa-siswanya memang jadi jariyah, namun ia tak menghasilkan apa-apa secara materi.
Guru era kini memang jauh berbeda dengan masa-masa 60-an. Guru pada zaman sekarang, tak dibenarkan hanya menjewer telinga muridnya meski nakalnya kelewatan. Semasa saya di kelas 5 Sekolah Dasar (SD), seorang guru melempar penghapus kayu ke kepala muridnya dan berdarah. Sepulang sekolah, murid itu melapor ke orang tuanya. Jawaban ayahnya, “Kau memang salah, gurumu benar. Rasain hukuman itu!”
Betapa banyak guru masa kini yang bernasib buruk. Dari diperkarakan oleh orang tua murid, gaji yang sangat kecil membuat persoalan hidup keluarga menjadi rumit, sampai hal-hal yang membikin mereka dilematis.
Sepakat dengan cerita seorang guru SMA Negeri di Bandar Lampung saat ia bertanya kepada siswanya tentang cita-cita mereka mendatang. Ternyata dari ratusan siswa, hanya seorang yang menyatakan bercita-cita jadi guru. Membuat guru itu terharu. Ia peluk siswanya itu erat sekali.
Kisah ini diceritakan bu guru itu pada Diskusi Santai Guru Menjadi Beban Negara yang dihelat Forum Pemuda Peduli Pendidikan (FP3) Lampung di Nuwono Tasya Guest House, Rajabasa, Bandar Lampung, Jumat 29 Agustus 2025 lalu. Narasumbernya keren-keren. Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung Yanuar Irawan, Dewan Pakar Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung Gino Vanolie, dan Ketua KNPI Lampung Iqbal Ardiansyah.
Saya hadir. Ingin mendengarkan pembelaan atas nasib guru (yang) menjadi beban negara. Benarkah guru adalah beban negara, sehingga mesti dibela habis-habisan? Para narasumber hanya sedikit membicarakan substantif nasib guru. Narasumber justru bicara soal pendidikan: sekolah gratis, penghapusan biaya komite sekolah, ruang pendingin di sejumlah sekolah yang tak lagi difungsikan. Dan seputar pendidikan.
Mana suara buat guru? Saya membatin. Karena masih banyaknya guru honorer yang tak jelas kapan beralih ke ASN atau diterima P3K. Belum lagi, para guru yang mesti mengajar di luar ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi. Misal, lulusan bahasa inggris harus mengajar bahasa daerah, dan sejenis itu. Belum lagi beban tugas yang diemban dari atasannya, yakni kepala sekolah!
Peran guru menjadikan anak bangsa yang nemiliki ilmu (IQ) yang baik dan moral yang baik pula. Kecerdasan harus diimbangi dengan moralitas Berat bukan beban guru. Tapi mengapa masih juga di-framing membebani negara? Bukankah sudah bertahun-tahun mereka terima predikat “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tanpa tanda jasa lo!
Lalu apa sebutan buat guru yang sudah berabad-abad mengabdi, kalau tanda jasa pun tiada? Padahal kaum guru sangat berjasa. Merekalah yang menjadikan murid jadi presiden, wapres, sekretaris negara, para menteri, anggota dewan, gubernur, wagub, sampai ke birokrasi di bawahnya.
Kata Iwan Fals dalam lirik lagunya, “Oemar Bakri Oemar Bakri/Empat puluh tahun mengabdi/Jadi guru jujur berbakti/memang makan hati”.
Pada bait yang lain, Iwan berkata: “Oemar Bakri Oemar Bakri/Banyak ciptakan menteri/Oemar Bakri/Profesor dokter insinyurpun jadi/Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri/Seperti dikebiri”
Walaupun miskin, gaji guru dikebiri, mereka tetap mengabdi, dan tentu jasanya tak ternilai di hati Ibu Pertiwi. Bukan, sebaliknya “menjadi beban negara”. Oleh sebab itu, seperti dikatakan ibu guru dari salah satu SMA Negeri yang hadir dalam diskusi santai Jumat lalu itu, “biarlah gaji guru sebanding dengan gaji dua hari anggota dewan, kami punya harapan surga”. Mengapa? Karena setiap ilmu yang disampaikan lalu siswanya mengamalkan, akan menjadi jariyah di surga.
Masya Allah. Mulia nian hati guru. Mereka sudah mengamalkan dua baris lagu kebangsaan “Indonesia Raya”; bangunlah jiwanya/bangunlah badannya. Artinya, yang dibangun oleh para guru adalah jiwa-jiwa anak bangsa, agar mereka kuat demi membangun badannya (fisiknya).
Dua baris yang sering diabaikan oleh pemerintah, karena tak memahami makna dari lagu ciptaan W.R. Supratman tersebut. Meski berulang-ulang dinyanyikan setiap acara pemerintah, maupun upacara kenegaraan.
Saya mau bilang apa. Kita bisa apa? Bangsa ini sudah berlarat-larat tak sanggup memaknai karya seni, lagu kebangsaan sendiri. Selain, bagaikan beo, hanya bersuara. Bersama-sama. Sudah terprogram.
Dan, kita kalah jauh dengan Jepang. Saat dua kota di sana – Hiroshima dan Nagasaki – dibom atom, sang kaisar sangat khawatir hingga terlontar pertanyaan; “Bagaimana nasib guru, sisa berapa lagi?” Lalu mereka dikirim ke luar negeri. Untuk (menimba) ilmu. Belajar.(*)
*Karang Anyar-Negeri Sakti, Sabtu, 30 Agustus 2025.