Kelemahan dan kesalahan sudut pandang mesti dirayakan sebagai stimulir perubahan. (Ilustrasi: Lontar.Co)

Merenung Menatap Bakung

0 Comments

Terbayangkan bila tiba-tiba Walikota Bandarlampung gandrung mempelajari psikologi analitik Carl Gustav Jung.

Mungkin dalam upaya memaksimalisasi tugas dan atau sebagai upaya untuk lebih memahami atau menyimak ketidaksadaran kolektif warganya, didorong hasrat menjadikan Bandarlampung kelak benar-benar bisa menjadi Kota Tapis yang sungguh-sungguh Berseri.

Maka ia mencoba membaca labirin kompleks psikologi manusia yang sering memainkan peran ganda. Tentang satu peran yang ditampilkan di depan publik (persona) dan tentang peran yang disembunyikan (shadow).  

Dualitas persona dan shadow, mewakili dua sisi mata uang yang membentuk identitas kolektif, masing-masing dengan fungsi dan dampaknya sendiri dalam kehidupan sosial.

Walikota manggut-manggut di hadapan lembar-lembar buku psikologi analitik, mencerna persona yang tak lain adalah topeng psikologis yang dikenakan di depan publik, lalu menuliskan poin-poin penting di buku catatannya.

Memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang identitas yang dibangun untuk memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat, atau peran yang dimainkan di tempat kerja, di sekolah, atau dalam lingkaran sosial.

Membayangkan dirinya yang harus tampak anggun, menata cara berbicara, memasang wajah serius dan profesional, sementara di rumah, ia seperti menjadi sosok lain, yang harus lembut, santai, dan humoris. Sampai titik ini ia masih nyaman dan memaklumi persona sebagai negosiasi antara diri yang sebenarnya dan tuntutan lingkungan.

Ia bersepakat dengan Jung, tanpa persona, interaksi sosial akan menjadi sangat sulit, karena kita akan terlalu rentan atau tidak mampu memenuhi ekspektasi publik.

Dan sayangnya ia luput memperhatikan lembar-lembar selanjutnya, bahwa ketergantungan yang berlebihan pada persona dapat menjadi bumerang. Terlebih jika tanpa sadar terlalu menyatu dengan persona, kehilangan kontak dengan diri yang sebenarnya, menjadi hanya apa yang “harus” ditampakkan, bukan apa kita yang sebenarnya.

BACA JUGA  Masjidnya Tumbuh, Manusianya Runtuh

Hal yang dapat menyebabkan keterasingan, kehampaan atau alienasi diri. Perasaan kosong, palsu, atau terputus dari emosi dan keinginan yang otentik.

Jika persona adalah apa yang ingin ditunjukkan atau dilihat orang lain, maka shadow adalah apa yang disembunyikan.

Shadow adalah sisi gelap yang tidak disadari dalam diri kita, venom, yang mencakup semua dorongan, emosi, dan keinginan yang tidak dapat diterima oleh kesadaran kita atau masyarakat. Sisi yang kita tekan atau tolak. Seperti rasa malu, ketakutan, amarah, egoisme, kecemburuan, dan bahkan potensi kreatif yang belum terungkap.

Meskipun sering digambarkan sebagai sisi gelap, shadow bukanlah sepenuhnya jahat. Ia juga mengandung potensi dan energi yang belum terungkap. Mengintegrasikan shadow berarti mengakui dan menerima bagian-bagian diri yang tidak kita sukai. Proses ini, yang disebut integrasi shadow, adalah langkah krusial dalam pertumbuhan psikologis.

Dengan berani menghadapi shadow, kita dapat mengakses energi kreatifnya, memahami ketidaksempurnaan kita, dan menjadi lebih utuh dan otentik.

Hubungan antara persona dan shadow adalah hubungan yang dinamis dan kontradiktif. Keduanya saling melengkapi dan saling berlawanan. Persona dibentuk oleh keinginan untuk diterima, sementara shadow adalah gudang dari apa yang ditolak.

Ketika persona terlalu mendominasi, individu menjadi kaku dan artifisial. Ketika shadow tidak terkendali, individu dapat bertindak impulsif atau merusak. Konflik batin yang signifikan sering kali muncul dari ketidakseimbangan ini.

Pada akhirnya, perjalanan menuju diri yang utuh bukanlah tentang membuang persona atau menghancurkan shadow. Ini adalah tentang menjadi sadar akan keduanya dan belajar menyeimbangkannya.

BACA JUGA  Revolusi Teori Bilangan, Dwi Berarti Pertama dan Eka Menjadi Kedua

Ini adalah tentang keberanian untuk melepaskan topeng, menghadapi sisi yang paling tidak kita sukai, dan menyadari bahwa kekuatan terbesar kita mungkin terletak di tempat yang paling kita sembunyikan.

Penghayatan yang mendalam tentang dua hal tersebut membuat walikota merasa tidak nyaman. Tiba-tiba muncul rasa muak pada diri sendiri, rasa tak nyaman merebak dan menyesakkan dadanya, termasuk kemuakan membayangkan pegawai-pegawai pemkot dan warga yang selalu tersenyum padanya di setiap perjumpaan.  

Kebetulan bertepatan pula bahwa beberapa waktu belakangan ini, Bandarlampung diberitakan sedang mengalami situasi darurat sampah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk keterbatasan kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan kendala dalam pengelolaan sampah.

Beberapa daerah di Bandarlampung bahkan mengalami penumpukan sampah yang cukup parah. Dan walikota merasa, fakta tersebut sebagai ekspresi yang jujur, wujud nyata dari ketidaksadaran kolektif yang tidak ditutup-tutupi.

Ia tak terlalu sepakat saat banyak pihak berupaya mencari solusi darurat, seperti mencari lokasi TPS sementara atau menjalin kerjasama dengan daerah lain untuk pengelolaan sampah. Ia tak hendak menuntut kesadaran masyarakat untuk memilah dan membuang sampah pada tempatnya.

Kondisi ini, menurutnya, justru sangat tepat sebagai cermin, agar semua warganya sadar dengan sesuatu yang selama ini disembunyikan. Sisi gelap kolektif yang termanifestasi pada sampah yang menumpuk dan tak terkendali.

Ia menertawakan keprihatinan wakil ketua  DPRD Bandarlampung atas penyegelan TPA Bakung oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) pada 28 Desember 2024. Dalam pernyataannya, wakil ketua DPRD menekankan pentingnya tindakan segera dari pemkot dan DPRD untuk menyelesaikan masalah ini, tanpa menimbulkan dampak lebih besar bagi masyarakat.

BACA JUGA  Ubasuteyama, Dulu Mitos Sekarang Fakta

“Penyegelan ini adalah peringatan serius bagi kita semua. Pengelolaan TPA Bakung yang tidak sesuai standar telah menjadi persoalan lama yang harus segera ditangani. Kini saatnya pemerintah kota dan DPRD bersinergi untuk mencari solusi cepat sekaligus berkelanjutan.”

Walikota tersenyum tipis, prihatin, dengan orang-orang yang dianggapnya tidak berani jujur mengakui sisi gelapnya itu.

Bukankah menumpuknya sampah adalah aktualisasi sisi gelap kolektif kita. Sisi yang mati-matian disembunyikan, ditutup-tutupi agar tak tampak oleh orang lain, tentang wajah kita yang belang-belonteng, tentang hati yang tamak, yang sesungguhnya diliputi dendam, kemarahan, atau iri dengki. Tentang tiadanya integritas. Shadow atau sisi gelap yang mungkin lebih hitam dan lebih amis dari air lindi, penyebab udara dan tanah tercemar limbah cair dari sampah.

Di dekat jendela kerja lantai 6 Gedung Balai Kota ia tersenyum sedih, mengenang air lindi yang mengandung zat berbahaya dan meresap ke sungai serta mengalir ke Teluk Lampung, menyebabkan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan, adalah juga manifestasi kecemaran psikologi kolektif warga Bandarlampung yang semakin tidak jelas nilai dan norma berkehidupannya, dan semakin menumpukknya sisi gelap, menumpuknya sampah-sampah psikologi yang selama ini tidak diakui dan diterima.  

Selepas apel Senin pagi, menyaksikan semua pegawai pemkot yang berbaris rapi, tampak bersih dan wangi itu, walikota merasa ada yang salah dengan dirinya, pegawai pemkot, dan atau warganya.

Maka ia tak tergerak untuk segera menangani sesuatu yang digembar-gemborkan media sebagai darurat sampah. Sebab mungkin ia lebih terganggu otentisitas atau integritas kolektif yang semakin langka di kota ini. (*)

(Alexander Gebe: Penulis/Seniman)

Further reading

  • chromebook

    Menjajal Chromebook Bantuan Mas Menteri

    Ratusan sekolah dari berbagai jenjang di Lampung memperoleh bantuan perangkat Chromebook dari Kemendikbudristek di era Nadiem Makarim. Tapi, memang kurang difungsikan, hanya dipakai saat ANBK, selebihnya dibiarkan berdebu. (Lontar.co): Sore hari 30 Juni 2025, seorang guru Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) yang bertugas di salah satu SMP negeri di daerah yang lumayan pelosok di Lampung […]
  • Merenung Menatap Bakung

    Terbayangkan bila tiba-tiba Walikota Bandarlampung gandrung mempelajari psikologi analitik Carl Gustav Jung. Mungkin dalam upaya memaksimalisasi tugas dan atau sebagai upaya untuk lebih memahami atau menyimak ketidaksadaran kolektif warganya, didorong hasrat menjadikan Bandarlampung kelak benar-benar bisa menjadi Kota Tapis yang sungguh-sungguh Berseri. Maka ia mencoba membaca labirin kompleks psikologi manusia yang sering memainkan peran ganda. […]
  • Harga Diri Wartawan

    “Ayah, Nodi laper,” ucapan anakku itu pelan saja. Mengucapnya pun sambil memainkan robot transformer murahan yang dulu kubelikan di lapak amparan depan sekolahnya. Tapi, kata-kata pelan itu menusuk dalam sekali. Tadi pagi kami sarapan dengan telur dadar, kecap dan nasi putih. Beras tinggal secanting kurang, kutanak dengan rice-cooker. Telur dibagi dua, Nodi dan Tiko lahap […]