Ratusan sekolah dari berbagai jenjang di Lampung memperoleh bantuan perangkat Chromebook dari Kemendikbudristek di era Nadiem Makarim. Tapi, memang kurang difungsikan, hanya dipakai saat ANBK, selebihnya dibiarkan berdebu.
(Lontar.co): Sore hari 30 Juni 2025, seorang guru Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) yang bertugas di salah satu SMP negeri di daerah yang lumayan pelosok di Lampung Tengah, secara khusus menemui Lontar. Ia membawa satu perangkat Chromebook di tas jinjingnya.
Hari itu, ia memang khusus datang dari jauh untuk mengulas spesifikasi hingga detail performa Chromebook yang kini tengah diusut oleh Kejaksaan Agung, yang berpotensi meningkatkan status mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai tersangka.
Sekilas, secara fisik Chromebook itu lebih mirip netbook. Dimensinya sama persis. Ada font logo bertulis ‘Zyrex’ dan logo mungil Google Chrome di sudut kanan atas yang sudah amat familiar, berbentuk lingkaran dengan empat warna mencolok; merah, kuning, hijau dan biru.
Penampilannya juga sederhana, tuts-tuts keyboard yang terkesan ringkas, dan berbeda dengan keyboard laptop berbasis Windows yang menambahkan tombol-tombol fungsi ‘f’ di bagian atas. Di Chromebook, tombolnya lebih dominan pada fungsi perangkat, untuk merekam layar, volume, pencerah layar termasuk tombol power.
Saat terkoneksi dengan jaringan internet, tampilan awal layar Chromebook langsung memuat berbagai tampilan-tampilan informasi seputar Kemendikbudristek yang berbeda tiap waktunya, karena perangkat ini terkoneksi langsung dengan jaringan server belajar.id.
“Tapi, kalau soal ketahanannya saya akui, Chromebook ini lumayan kuat. Saya pernah beberapa hari bawa Chromebook ini di bawah jok motor cuma dibungkus pakai totebag, melewati jalan yang rusak, cukup sering, tapi tak mempengaruhi performa dan fisiknya,” aku guru itu lagi.
Namun, ia mengakui, sebanyak 20 unit Chromebook bantuan yang ada di sekolah yang berada di bawah pengelolaannya memang ‘tak familiar’ dengan kebanyakan siswa yang sudah kadung terbiasa dengan sistem operasi Windows.
Akibatnya, saat simulasi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) semuanya jadi berantakan,”padahal sebelumnya sudah kita latih dulu mereka, mulai dari sistem pengoperasian dasar, fungsi-fungsi aplikasi, tapi tetap saja, waktu ANBK mendadak gaptek semua,” kenangnya.
Banyak siswa yang komplain bahkan ada yang memilih membawa perangkat laptop dari rumah sendiri, padahal model pengoperasian punya kecenderungan yang sama dengan perangkat smartphone.
Akhirnya, selama tiga tahun sejak menerima bantuan Chromebook, terhitung hanya 3 kali perangkat bantuan ini digunakan, sisanya lebih banyak masuk di lemari sekolah,”sampai berdebu, karena jarang dipakai”.
Sejak awal bantuan akan diberikan, ia mengaku sudah berulang kali meminta kepada kepala sekolahnya untuk terlebih dahulu diberikan pelatihan, bukan hanya kepada siswa tapi juga guru-guru di sekolah.
Tapi, karena kurang memahami, atau kebanyakan guru termasuk kepala sekolah menganggap bantuan Chromebook yang akan diberikan selayaknya perangkat laptop kebanyakan, maka akhirnya usulan pelatihan itu hanya dianggap angin lalu.
“Kenapa saya usul diberi pelatihan dulu, karena Chromebook itu berbeda dengan laptop biasa, mulai dari operating systemnya dan ruang penyimpanannya, apalagi semua guru termasuk siswa juga mengenal laptop berbasis Windows, tapi mungkin karena dianggap sama dengan laptop-laptop biasa akhirnya usulan saya soal pelatihan nggak digubris”.
Benar saja, ketika perangkat-perangkat itu datang, banyak yang kemudian bingung cara menggunakannya, sementara sekolah-sekolah penerima ‘dipaksa’ segera beradaptasi dengan perangkat Chromebook seiring makin dekatnya pelaksanaan ANBK.
Chromebook memang sepenuhnya mengandalkan koneksi internet dalam pengoperasiannya, tanpa internet, perangkat ini nyaris tak bisa digunakan, karena aplikasi-aplikasi pihak ketiganya hanya bisa digunakan saat ada jaringan data yang mapan.
Selain koneksi internet, kendala lainnya adalah ketersediaan jaringan yang memadai. Yang jadi masalah, ada beberapa daerah di Lampung Tengah termasuk lokasi sekolahan si guru ini, yang kualitas koneksinya tak baik-baik amat.
Hanya ada dua provider yang diketahui punya jaringan yang ‘memadai’ di daerah itu, Telkomsel dan Indosat. Indihome bahkan belum meng-cover wilayah ini.
“Mau tak mau harus pakai tethering dari perangkat smartphone saya, tapi batas perangkat yang bisa terkoneksi juga terbatas. Handphone saya hanya bisa memberikan koneksi maksimal untuk 10 perangkat, sedangkan ada 20 Chromebook yang harus di akses di waktu yang sama, akhirnya jadi masalah lagi,” jelasnya lagi.
Masalah demi masalah mulai muncul, soal beban biaya internet yang besar karena hanya mengandalkan koneksi berbasis tethering dari smartphone yang biayanya sangat besar dan harus diganti oleh pihak sekolah.
Saat sudah terkoneksi dengan jaringan internet pun, muncul masalah lain, penggunanya harus login menggunakan akun belajar.id, akun khusus yang telah disediakan oleh Kemendikbudristek untuk peserta didik dan tenaga kependidikan, karena perangkat terkoneksi langsung dengan admin pengelola jaringan belajar.id.
Aplikasi-aplikasi pembelajaran seperti google sheet, google docs dan google drive juga makin memusingkan siswa penggunanya, terlebih proses penyimpanan file atau dokumen yang amat tergantung dengan kualitas koneksi internet, apalagi model penyimpanannya berbasis cloud,”waktu latihan ANBK, banyak siswa yang kesal karena jawaban mereka tak tersimpan otomatis karena jaringan internetnya buruk, akhirnya harus mengulang lagi dari awal. Pokoknya ruwet banget lah waktu itu. Bukannya jadi solusi malah jadi masalah, akhirnya bener-bener nggak dipake sama sekali, jadinya mubazir aja”.
Klaim sepihak dari Kemendikbudristek kala itu yang menyebut perangkat Chromebook dilengkapi dengan keamanan berlapis juga tak berdasar, banyak situs-situs yang tak ramah untuk siswa masih bisa di akses meski tanpa menggunakan Virtual Private Network (VPN). Contoh sederhana adalah ketika Lontar mengakses situs film bajakan LK21 yang bisa dilakukan dengan mudah.
Demikian halnya ketika mencoba mengakses situs-situs yang masuk dalam daftar ‘blacklist’ oleh Komdigi juga masih bisa dikunjungi, termasuk konten-konten iklan yang punya kecenderungan bernuansa judi online dan pornografi masih bebas berkeliaran di Chromebook, yang di klaim ramah untuk dunia pendidikan ini.
Sebenarnya, sejak awal ketika Kemendikbud menyusun rencana bantuan peralatan Teknologi Informasi Komputer (TIK) untuk jenjang SD hingga SMA tahun 2020 melalui program digitalisasi pendidikan, tim Kemendikbud sudah melakukan uji coba terlebih dahulu bersama dengan Pustekkom Kemendikbudristek.
Hasilnya, ditemukan banyak kendala, salah satunya adalah Chromebook hanya bisa digunakan dengan jaringan internet, sementara banyak daerah di Indonesia yang ketersediaan internetnya belum merata.
Sementara, pengadaan Chromebook diupayakan untuk pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) tapi dengan kualitas jaringan yang belum merata, Chromebook dianggap tak efektif.
Saat itu, tim teknis sudah membuat kajian pengadaan peralatan TIK menggunakan sistem operasi Windows yang lebih unggul dibanding Chromebook, tak butuh internet, dan kebanyakan sudah familiar dengan sistem operasi Windows, tapi ternyata rekomendasi tim teknis tak dipakai sama sekali dan tetap memilih Chromebook.
Pasca tak dipakainya rekomendasi dari tim teknis itu, disusul dengan munculnya Permendikbudristek Nomor 5 Tahun 2021 disebutkan standar harga pengadaan Chromebook direntang harga Rp5,9 juta – Rp6,4 juta, dengan spesifikasi;
– Prosesor dual-core Intel Celeron N4020 atau N4500 (kecepatan 1,1–2,8 GHz)
– RAM 4 GB DDR4 atau LPDDR4
– Media penyimpanan 32 GB eMMC (beberapa model mendukung 64 GB)
– Layar 11,6 inci LED HD (resolusi 1366×768 piksel)
– Konektivitas WiFi 802.11ac dan Bluetooth 5.0
– Sistem operasi Chrome OS dengan lisensi Chrome Education Upgrade
– Berat rata-rata sekitar 1,3 kg, dengan daya baterai 30 Wh dan garansi 1 tahun
Sedangkan jika merujuk dalam katalog elektronik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Inaproc disebutkan harganya saat ini sekitar Rp5 juta, dengan spesifikasi yang mengacu pada Chromebook merek Zyrex tipe M432-1 yang memiliki spesifikasi yang sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 5 Tahun 2021.
Harga ini cenderung lebih mahal jika dibanding dengan harga pengadaan yang telah ditetapkan oleh Kemendikbudristek, di sejumlah marketplace harga Chromebook dengan tipe sejenis, hanya dijual dikisaran Rp4 jutaan.
Bahkan, untuk harga sekennya, Chromebook Zyrex tipe M432-1 dijual paling mahal Rp500 ribu. Anjloknya harga ini karena sistem operasi (OS) berbasis Chromebook yang tak terlalu disukai pembeli.
Di marketplace Facebook, harga seken Chromebook Zyrex M432-1 bahkan diobral seharga Rp300 ribu.
Dedi salah satu teknisi komputer, menyebut Chromebook susah laku di pasaran, karena terlalu tergantung dengan koneksi internet, sistem operasinya juga membingungkan.
“Kalau ada yang jual chromebook ke kita juga nggak kita tampung, karena susah laku,” kata Dedi.
Chromebook, lanjutnya, bisa diubah menjadi Windows hanya saja prosesnya rumit dan memakan waktu lama.”Memang bisa diubah ke Windows tapi prosesnya lama, harus pakai software juga untuk upgrade ke Windows”.
Di Lampung, pemberian bantuan Chromebook hampir merata diterima oleh seluruh sekolah dari berbagai jenjang pendidikan.
Namun kenyataannya, ribuan perangkat itu tak pernah digunakan, termasuk ketika ANBK digelar, hanya sedikit sekolah yang masih ‘memaksakan diri’ untuk tetap menggunakan Chromebook, alasannya bukan karena tak memiliki perangkat lain, melainkan karena Chromebook itu sudah terhubung langsung dengan admin pengelola belajar.id, sehingga tak perlu repot harus login yang kadang memakan waktu karena koneksi yang lelet hingga server yang lambat.