Membaca 80 Puisi Bahasa Lampung

Membaca 80 puisi berbahasa Lampung karya penyair Indonesia yang dipamerkan Lampung Literature serasa belajar berbahasa Lampung.

(Lontar.co): Adalah Lampung Literature bekerja sama dengan Balai Pelestarian Kebuadayaan (BPK) Wilayah 7 Bengkulu-Lampung menggelar Pameran Puisi Bahasa Lampung di lantai 2 Perpusatakaan Daerah Lampung. Dimulai sejak Senin 20 Oktober dan berakhir Senin 27 Oktober 2025.

Sebanyak 80 karya penyair Indonesia diketengahkan. Seperti puisi Sitor Situmorang, Chairil Anwar, W.S. Rendra, Goenawan Mohammad, Abdul Hadi WM., Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, Ahmad Yulden Erwin, dan Iswadi Pratama.

Puisi saya ada tiga, yakni “Rendezvous”, “Aku Tandai” dan “Tengah Malam,Telepon Berdering”. Tetapi bukan karena ada tiga puisi saya yang dialih wahana ke bahasa Lampung dan dipamerkan maka saya menulis catatan ini. Catatan ini upaya saya mengapresiasi gagasan perhelatan tersebut.

Kalau pameran karya seni rupa (lukis) sudah biasa, karena sudah terlalu sering kita lihat dan kerap ditulis media massa. Soal puisi dipamerkan dengan cara dicetak dan dibingkai saja, meski dalam bahasa asli, rasanya langka. Oleh sebab itu, boleh dibilang ini terobosan baru di ranah kesenian.

Hal ini diakui Alexander GB, ketua pelaksana pameran puisi berbahasa Lampung. GB, panggilan akrab aktor dan cerpenis Lampung ini, pernah mengklaim, “Ini yang pertama bahkan di dunia!” Saya sepakat, tentu saja.

Puisi-puisi para penyair Indonesia yang dikoleksi oleh Lampung Literature, pertama yang harus diacungi jempol. Berikutnya, kerja kurator untuk mengkurasi jutaan puisi dari karya penyair Indonesia, juga patut dikasih pujian. Saya memastikan, ke 80 puisi yang sudah ditranslet ke bahasa Lampung — dialek Sai Batin, Pepadun, dan Lampung Kotabumi — adalah puisi-puisi yang tidak lagi diragukan kualitasnya.

BACA JUGA  60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

Para pengalih wahana ke bahasa Lampung, tercatat nama-nama yang familiar dalam khasanah seni di Lampung (khususnya sastra dan teater). Mereka adalah Djuhardi Basri, Fitri Yani, Robby Aslam Amrouzi, Ridho Pratama, Novian Pratama, dan Neri Juliawan.

Dari para pengalih wahana puisi berbahasa Indonesia menjadi puisi “rasa Lampung”, maka kehadiran puisi-puisi dari penyair lintas usia dan ragam budaya tersebut bernuansa ke-Lampung-an. Tingkat keahlian “memindahkan” puisi-puisi itu menjadi citarasa Lampung, benar-benar diuji. Pasalnya kosakata kedua bahasa bakal ditemukan, belum lagi soal mana banyak perbendaharaan kata di Lampung dan Indonesia.

Sepekan pameran puisi berbahasa Lampung digelar, tercatat disaksikan tak kurang 100 pengunjung tiap hari. Mayoritas yang berkunjung adalah pelajar dan mahasiswa serta seniman Lampung (pemerhati seni sastra). Hanya saat pembukaan, boleh jadi sedikit dari pejabat yang hadir.

Jumat 24 Oktober 2025 sekira pukul 14.00 saya hadir. Menikmati puisi-puisi yang dipamerkan layaknya karya seni rupa, membaca 80 puisi karya penyair Indonesia dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Lampung. Dari 2 bahasa yang ditampilkan itu, pengunjung sekaligus belajar bagaimana membaca puisi berbahasa Lampung. Bahasa ibu, yang mungkin jarang digunakan lagi oleh warga di daerah ini. Kecuali di waktu-waktu tertentu.

Penataan visualisasi puisi yang estetik makin membangun atmosfir puitik. (Foto: ist)

Bahasa ibu — dalam hal ini Lampung — telah ditengarai akan punah, meski itu tidak terbukti. Pasalnya, bahasa Lampung masih digunakan oleh banyak penduduk etnis Lampung dan etnis lain yang sudah lama menetap di daerah ini. Bahkan, untuk merawat dan melindungi bahasa ibu ini, Universitas Lampung (Unila) sudah mengadakan program studi Bahasa Lampung untuk S1 dan S2. Ini salah satu penunjang agar bahasa ibu tidak punah.

BACA JUGA  Buku yang Bertanya: Apa Kabar Bunda Literasi?  

Membaca 80 puisi (dalam) bahasa Lampung, saya merasakan bahasa ibu pemilik etnis di daerah ini tetap terlindungi dan terawat, sampai ke anak cucu kelak. Apalagi jika lulusan Prodi Bahasa Lampung FKIP Unila diberdayakan dan didayagunakan pada pengajaran dan memperkenalkan kepada anak didik; generasi muda yang nanti menjadi bapak dan ibu bagi anak-anaknya.

Inilah harapan saya, adanya pameran puisi bahasa Lampung. Saya setuju biarlah para pengalih wahana yang mentranslet puisi Indonesia ke bahasa Lampung. Penyair sudah menyatakan komitmen sebagai “penyair (bahasa) Indonesia” dan bukan menulis puisi dalam bahasa ibu.

Maka tugas pengalihwahana yang masuk di antara kedua bahasa tersebut. Menafsir puisi yang ia hadapi, kemudian ditranslet ke bahasa yang dikuasai; misal Fitri Yani berangkat dari bahasa ibu Lampung Saibatin maka ia menulis ulang ke bahasa itu. Begitu pula Djuhardi Basri yang paham bahasa Lampung Kotabumi. Ini hanya contoh.

Menikmati sekaligus membaca 80 puisi berbahasa Lampung saya seperti berada di dua bahasa yang berbeda. Seperti juga ketika kita membaca puisi-puisi berbahasa Inggris atau bahasa negara lain yang telah ditranslet ke dalam bahasa Indonesia.

BACA JUGA  Hari-Hari Bahagia: Surga yang Jatuh ke Tong Sampah, Membongkar Mitos Kebahagiaan

Ketika kita membaca puisi Octavio Paz dalam bahasa Indonesia, bayangan kita bukan lagi bahasa asli penyair tersebut. Begitu pula saat membaca puisi-puisi karya penyair Cina, Rusia dan sebagainya, kita tengah membaca puisi dalam rasa Indonesia. Seperti juga saat menikmati puisi-puisi yang dialih wahana ini, pengunjung tengah menikmati puisi Indonesia dalam rasa Lampung.

Sayangnya, sepekan pameran puisi bahasa Lampung yang digelar Lampung Literature dikunjungi (cuma) mayoritas generasi muda, seniman, dan pemerhati sastra. Padahal, saya berharap turut dikunjungi pula minimal oleh bidang kebudayaan Disdikbud Lampung atau kepala UPTD Taman Budaya Lampung, atau lembaga kesenian yang ada di daerah ini.

Saya tak pernah “bermimpi” Kadisdikbud apatah lagi Gubernur Lampung “mau mendatangi” kegiatan semacam ini. Padahal dengan hadirnya “pemilik kebijakan” di daerah ini, merupakan bentuk sikap kepedulian mereka pada seni budaya — khususnya puisi. Dan, kita berharap, semarak menerjemahkan (mentranslet) puisi-puisi bahasa Indonesia ke bahasa Lampung semakin banyak dilakukan. Bahkan, diharapkan peran mahasiswa dan sarjana bahasa Lampung bisa terlibat juga.

Andai pameran puisi bahasa Lampung ini “dipindahkan” ke tembok-tembok flyover atau gedung perkantoran, sungguh semarak daerah ini oleh puisi-puisi bahasa Lampung. Syukur-syukur dituliskan dalam aksara Lampung. Ini tentu melibatkan banyak orang mulai penyair, transleter (pengalih wahana), dan perupa. Asyik kan?

Terakhir, patutlah saya sampaikan bravo untuk Lampung Literature yang “berani” menagih wahana puisi para penyair Indonesia ke bahasa Lampung. Teruskan, lanjutkan! (*)

Further reading