Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi di sejumlah sekolah di Lampung makin menambah kekhawatiran orang tua dan menjadi beban tambahan buat guru hingga proses penunjukan mitra program MBG yang tidak transparan dan kental dengan praktik KKN.
(Lontar.co): Sepucuk surat edaran berkop Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandarlampung tanggal 15 Agustus 2025 itu membuat gundah sejumlah kepala sekolah.
Surat tentang dukungan satuan pendidikan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) se-Kota Bandarlampung yang ditandatangani Plt Kadis Dikbud Kota Bandarlampung, Eka Afriana itu, sebenarnya dirasa amat membebankan sekolah.
Dalam bisik-bisik kebanyakan kepala sekolah, program MBG justru dirasa merepotkan, mengkhawatirkan hingga membuat resah, bukan cuma kepala sekolah dan guru, tapi juga orang tua murid. Tapi memang, keluhan itu selamanya tak akan pernah bisa ‘tersampaikan’ buat kebanyakan kepala sekolah di Kota Bandarlampung.
Mengeluh ke dinas, buat mereka justru akan jadi masalah besar sekaligus serius buat mereka. Beberapa sekolah bahkan menolak dengan cara yang halus dengan beragam alasan, meski tak secara eksplisit menyebut alasan penolakan.
Banyak sekolah yang sebenarnya ‘terjepit’ oleh keadaan. Di satu sisi mereka harus menjalankan ‘amanat’ dari dinas, tapi di sisi lain mereka juga harus siap menerima protes dari orang tua murid.
Sampai akhirnya, dua minggu pasca surat edaran itu terbit, 247 siswa di Kecamatan Sukabumi mengalami gejala keracunan massal usai menyantap MBG, Jumat (29/8/2025).
Mengandung Bakteri
Tak bisa dibayangkan, program yang seharusnya menyajikan menu makanan bergizi justru tak higienis hingga mengandung bakteri.
Dalam inspeksi di dapur MBG yang dikelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi lokasi produksi MBG ditemukan bakteri E.coli pada air yang digunakan untuk mengolah bahan makanan yang kemudian menjadi indikasi kuat sebagai penyebab keracunan massal.
Bakteri Escherichia coli atau E.coli diketahui sejenis bakteri yang hidup di usus manusia dan hewan.
Meski dalam beberapa strainnya dianggap tak berbahaya, namun ada jenis bakteri E. coli yang menghasilkan senyawa toksin Shiga (STEC) yang bisa menyebabkan infeksi asus akut yang bisa memicu gejala diare, kram hingga sakit perut yang kronis.
Pada kasus keracunan massal yang terjadi di tiga sekolah di Kecamatan Sukabumi, indikasi jenis bakteri E. coli mengarah pada dua suspek, yakni; Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) yang berkembang pada lingkungan yang tidak memiliki sanitasi air dan makanan memadai.
Kemudian, Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC), yang paling banyak menyebabkan penyakit dengan mengkontaminasi pada sayuran, buah, daging yang kurang matang.
Pada kasus keracunan di Sukabumi, indikasi kotoran manusia maupun hewan yang mencemari air dan kemudian digunakan dalam pengolahan bahan pangan.
Yang menarik, dalam kasus keracunan massal di Sukabumi, seharusnya kontaminasi bakteri tidak akan terjadi jika pengolahan bahan makanan dilakukan dengan standar pengolahan makanan yang tepat, meskipun terdapat beberapa bahan makanan yang tercemar bakteri E. coli.
Karena faktanya, bakteri E. coli dapat dibunuh dengan pengolahan bahan makanan menggunakan air panas bersuhu 70 hingga 100 derajat celcius, atau setidaknya pada suhu 60 derajat celcius yang dipertahankan selama lima menit, sudah amat efektif membunuh bakteri E. coli.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa proses pengolahan Makan Bergizi Gratis (MBG) dilakukan dengan serampangan dan asal-asalan, padahal misi sesungguhnya dari MBG adalah pemenuhan gizi dari makanan yang sehat.
Proses pengolahan bahan makanan MBG yang asal-asalan semakin kuat mana kala hasil temuan Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung di lokasi dapur MBG yang jauh dari standar higienitas.
Hasil penelusuran Lontar di lokasi juga menunjukan keadaan itu, ruang-ruang pengolahan makanan yang kotor hingga ruang penyimpanan makanan jadi yang siap didistribusikan ke tiap satuan pendidikan pun kondisinya sama saja.
Beberapa warga di sekitar lokasi dapur MBG bahkan baru tahu jika tempat itu adalah dapur SPPG, padahal dalam pengamatan warga setempat, lokasi dapur memang tak ideal dijadikan sebagai tempat pengolahan makanan apalagi untuk program MBG.
“Saya kira malah dapur katering biasa, memang tiap hari selalu ramai yang kerja, tapi nggak sesuailah kalau dijadikan dapur untuk MBG, banyak lalatnya,” tutur seorang warga.
Kasus keracunan ini pula, seolah menjawab keresahan sebenarnya dari kebanyakan kepala sekolah di Kota Bandarlampung.
Daftar Panjang Kasus Keracunan MBG di Lampung
Kasus keracunan massal terhadap sebanyak 247 siswa di tiga sekolah yang ada di Kecamatan Sukabumi ini, semakin menambah daftar panjang kasus keracunan massal akibat pelaksanaan program MBG di Lampung.
Sehari sebelum kasus keracunan massal di Kecamatan Sukabumi, keracunan juga dialami sebanyak 43 santri di Pondok Al Ishlah, Matarambaru, Lampung Timur, sebagian besar diantaranya harus dirawat inap di puskesmas dan klinik.
Di awal September, salah satu sekolah dasar negeri di Beringin Raya hampir mengalami keracunan setelah siswa menerima menu MBG yang belakangan diketahui sudah basi, beruntung guru sekolah setempat cepat mengantisipasi.
Bukannya diganti dengan yang baru, pengelola SPPG setempat justru hanya menggantinya dengan susu kotak.
Kasus keracunan juga dialami oleh sebanyak 15 siswa SDN Negaraagung dan SMPN 1 Sungkai Jaya yang mengalami mual, muntah, dan pusing usai menyantap MBG, tiga siswa diantaranya terpaksa di rawat inap.
Masih di Lampung Utara, kasus keracunan massal juga dialami oleh puluhan siswa SD IT Insan Rhobani pada pertengahan Juli 2025 lalu.
Rekam jejak kasus keracunan massal di program MBG di Lampung menunjukan adanya pola lama yang terus berulang, namun pemerintah justru melihatnya sebagai data biasa yang tak punya makna apa-apa sehingga keadaan itu justru akan terus berpotensi menimbulkan lebih banyak korban keracunan justru di program yang digagas oleh pemerintah sendiri.
Ribuan Korban Keracunan MBG
Kasus keracunan massal di Lampung ini pula, semakin menambah jumlah ribuan kasus keracunan progam MBG.
Kepada Kompas, Kepala Pusat Ekonomi dan UMKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Izzudin Al Farras menyebut dalam 8 bulan pertama pelaksanaan program MBG di sejumlah wilayah Indonesia, sudah ada lebih dari 4 ribu korban keracunan MBG.
Kasus keracunan yang mencuat saat ini, semakin mengungkap persoalan serius dalam pelaksanaan MBG.
Bahkan, ribuan korban keracunan MBG ini belum secara utuh menggambarkan persoalan paling dasar dari pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis yang lemah dari banyak hal, mulai dari perencanaan dan pengawasan.
Belum lagi, persoalan-persoalan serius lainnya seperti pasokan bahan mentah ke pelaksana SPPG, indikasi penggunaan minyak babi di nampan MBG, praktik mark up anggaran hingga soal dapur fiktif yang berpotensi menjadi lahan korupsi baru.
Pola Koruptif dalam Rekrutmen Mitra MBG
Kompleksnya persoalan dalam pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) juga mengungkap adanya indikasi pola koruptif dalam rekrutmen mitra Makan Bergizi Gratis.
Dalam laporan resmi Transparency International Indonesia (TII) yang dilakukan melalui pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA) menyebut program MBG rawan disusupi praktik koruptif sebagai dampak dari lemahnya tata kelola dan pengawasan.
Sebagai bentuk intervensi sosial terbesar dalam sejarah Indonesia, MBG menelan anggaran hingga Rp400 triliun dengan target penerima manfaat hingga sebanyak 82,9 juta jiwa ini, dijalankan hanya dengan mengandalkan peraturan presiden dan operasional MBG hanya dilakukan berdasarkan petunjuk teknis yang tidak mengikat tiap lembaga pelaksana.
Dalam temuan TII itu, terungkap adanya konflik kepentingan dalam proses penunjukan mitra pelaksana program.
Hasil temuan menunjukan, kebanyakan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ditunjuk tanpa mekanisme seleksi, beberapa SPPG bahkan diketahui terafiliasi langsung dengan partai politik hingga aparat.
Demikian halnya di Lampung, indikasi penunjukan mitra sebagai pelaksana program juga tak ada kejelasan apalagi transparan.
Beban Tambahan Baru Buat Guru
Masalah lain yang muncul dari program MBG adalah adanya beban tambahan baru buat guru di seluruh sekolah.
Dalam pelaksanaan MBG, tiap sekolah diwajibkan membentuk tim khusus yang terdiri dari lima orang; 1 kepala sekolah dan 4 guru.
Tim di tiap satuan pendidikan juga harus berkoordinasi dengan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) sesuai kecamatan domisili sekolah.
Tugas tim ini juga amat kompleks setiap harinya, karena harus memastikan jumlah dan kondisi pengemasan di ruang transit, kemudian melakukan uji organoleptik yang meliputi; cek warna, bau dan rasa dari sampel MBG.
Selain itu, tim juga bertugas mendistribusikan MBG dari ruang transit ke tiap kelas, memastikan waktu pelaksanaan sejak dari sebelum, saat dan setelah makan.
Tim ini juga, harus memastikan pengangan limbah sampah sisa makanan yang wajib dikemas dalam wadah untuk dikirim kembali ke SPPG.
Yang lucu, dalam laporan berkala pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dilaporkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandarlampung setiap hari Jumat tiap pekannya, semua laporan punya kecenderungan yang sama bahkan tiap laporan dari satuan pendidikan punya kemiripan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.
Ini terlihat dalam sub laporan terkait respon peserta didik terhadap program Makan Bergizi Gratis yang semuanya menyebut bahwa program ini dianggap sangat positif dan bahkan disambut antusias dan sangat dinantikan dengan gembira oleh peserta didik.
Tak hanya itu saja, dalam laporan tiap satuan pendidikan juga terdapat poin sub laporan respon peserta didik terhadap program MBG yang tak segaris dengan fakta di lapangan, yang menyebut bahwa program MBG bukan hanya sangat dinantikan oleh peserta didik tapi juga dikesankan bahwa program MBG dianggap punya kontribusi terhadap peningkatan semangat belajar siswa.







