Manuver Walikota Bandarlampung Bikin Publik Termangu  

0 Comments
Hati bila sudah dicampakkan akan hilangkan kepekaan nurani. (ilustrasi: Lontar.co)

Manuver Walikota Bandarlampung Bikin Publik Termangu  

0 Comments

Selalu ada cerita tentang walikota Bandarlampung. Tak jarang publik dibuat termangu oleh manuvernya.

(Lontar.co): Tidak ada yang salah dengan kebiasaan memberi. Konon, dalilnya, banyak memberi bakal banyak menerima. Persoalannya siapa yang memberi dan menerima. Jangan sampai pemberian beralih menjadi upeti tanda takluk sekaligus menghamba. Atau menjadi sebentuk hadiah serupa umpan mengharap pamrih.

Pernah mendengar ungkapan “maksudnya benar tapi caranya salah”? Biarpun ada unsur salah di dalamnya, tetap terkandung nilai kebenaran. Agaknya, perilaku demikian masih bisa dimaklumi. Bisa dianggap sebuah kelalaian. Tapi berbeda makna kalau perilakunya sudah salah, bahkan sejak di niatan.

Mungkin pernah pula mendengar pribahasa “ada udang di balik batu”. Kalau ini maknanya sudah jelas. Malah sangat gamblang. Memberi karena mengharap imbalan. Ada maksud tersembunyi di sebaliknya.

Petuah di atas bukan pepesan kosong belaka. Biar pun ungkapan lama, tetap bisa dilihat contoh riilnya hingga hari ini. Khusus untuk pribahasa “ada udang di balik batu” hampir dipastikan pelakunya telah menyiapkan dalih. Akan ada sederet alasan yang disodorkan untuk menampik tudingan.

Berkelit itu sudah pasti. Karena manuver demikian tentu diawali dengan niat. Telah ditarget kepentingan yang disasar. Mirip penangkap ikan memasang bubu di aliran sungai. Meletakkan perangkap, membiarkan kawanan ikan melenggang masuk, sampai akhirnya tak berkutik dan baru menyadari setelah terjebak.

Piawai bukan? sudah barang tentu. Ini bukan cupu, tapi sudah suhu. Hanya orang tertentu yang bisa atau mau melakukannya. Persyaratannya pun tidak mudah. Dituntut manusia yang memegang prinsip halal-haram-hantam untuk mampu mempraktikkan.

Dan yang tidak kalah penting ialah mesti pandai bermain watak. Permainan watak ini tidak bisa dianggap enteng. Apalagi disepelekan. Hanya orang-orang pilihan yang lentur melakoninya. Ini tidak sembarang, Bung! atau malah bisa dibilang sebagai koenci kesuksesan. Lho, kok bisa?

BACA JUGA  Purwopedia, Tempat Dimana Semuanya Bermula

Mari kembali ke analogi bubu. Kalau memasang bubu tetapi ditunggui di dekatnya, hakul yakin hanya ikan dengan gangguan jiwa (IDGJ) yang sembrono mau nyelonong masuk ke dalamnya. Namun kemungkinan bertemu ikan stres sangat tipis. Peluangnya kecil.

Yang paling aman, pasang bubu lalu tinggalkan. Biarkan nanti akan indah pada waktunya. Ketika ikan merasa semua berjalan baik-baik saja tanpa ada yang perlu dicurigai, maka ikan sehat walafiat jasmani dan rohani sekalipun sangat mungkin masuk dalam jebakan.

Demikian pula fatsun yang berlaku pada kehidupan manusia. Kalau memasang bubu atau umpan, jangan terlalu kentara. Kelewat mudah dibaca nantinya. Berkamuflase-lah. Apalagi kalau yang akan disasar dari umpan tersebut adalah manusia. Atau sekumpulan manusia seperti oknum-oknum pada sebuah lembaga, misalnya.

Karena memasang bubu, maka jelas sudah tujuannya. Ingin menjebak mangsa. Mengharap peroleh keuntungan karenanya. Kepingin timbal balik. Mungkin hasilnya tidak langsung dicicipi. Tidak serta-merta. Butuh waktu, persis sedang menjebak ikan di sungai.

Tapi biarlah. Karena persyaratan lain bagi pemasang bubu ialah harus memiliki stok sabar berlimpah. Tak apa lama, asal tujuan tercapai. Ketimbang terburu-buru tapi hampa. Tak memperoleh hasil alias zonk.

Tapi apa hubungan antara pribahasa, bubu dan manuver walikota Bandarlampung? Nah, di sini persoalan runyamnya. Namun, serunyam apa pun perkara kalau dibicarakan oleh sesama manusia yang memegang teguh akal budi dan punya standar nurani yang sama, diyakini obrolan bakal lekas nyambung. Mudah dipahami. Karena berada dalam satu frekuensi alam pikir dan atmosfir kalbu yang sama. Ehemm

Sebaliknya akan repot urusannya kalau standar yang dipegang berbeda. Termasuk dalam pemberian hibah Rp60 miliar yang diinisiasi walikota Bandarlampung untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.

BACA JUGA  Damkar Menang lagi…

Walikota bersikukuh pemberian hibah itu wajar demi mendukung optimalisasi kinerja pelayanan Kejati terhadap masyarakat. Sedangkan banyak kalangan justru menyoalnya. Bagaimana mungkin hal itu dilakukan di tengah masih banyak kepentingan publik lainnya yang lebih mendesak namun masih terabaikan.

Urusan banjir, umpamanya. Sebentar lagi akan segera datang bulan November. Kalau merujuk pada kelaziman itu berarti musim hujan segera tiba. Curah hujan bakal tinggi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, itu artinya ancaman petaka sudah di depan pelupuk mata warga Bandarlampung.

Sudahkah walikota memberi jaminan bagi daerah-daerah langganan banjir untuk tidak perlu was-was lantaran Pemkot sudah melakukan antisipasi konkrit yang riil dan menyeluruh.

Benar, banjir itu bagian dari musibah. Tetapi kalau banjir sudah menjadi langganan ini namanya abai. Sudah diberi tanda alam, tapi tetap tidak peka untuk berikhtiar.

Kalau pun Pemkot berdalih sudah berbuat, sejauh apa upaya yang dilakukan. Benarkah upaya antisipasinya benar-benar konkrit dan tuntas. Bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban sebatas menunjukkan sudah bertindak, lalu nanti kembali meminta pemakluman bersama atas musibah banjir yang ternyata masih meradang.

Di sini letak repotnya komunikasi kalau tidak punya standar akal budi dan nurani yang sama. Publik ngotot menuntut haknya untuk dilindungi oleh pemerintah, sedangkan pemerintah tanpa malu malah lebih ngotot minta dimaklumi karena bencana yang datang adalah musibah kiriman Pencipta.

Kenapa disebut “tanpa malu”? sebab memang itu yang terjadi. Anggaran yang dipakai Pemkot Bandarlampung itu murni duit publik. Akumulasi dari pajak yang ditarik dari warga. Lantas si pemilik duit minta duitnya digunakan untuk melindungi mereka dari ancaman banjir. Anehnya pihak pengguna duit rakyat itu justru mbalelo. Apalagi sebutan yang lebih pantas disampirkan kalau bukan tak punya malu?

BACA JUGA  Banyak Jalan Menuju Makkah

Lebih memalukan lagi, walikota malah menyalurkan duit itu untuk membangun kantor Kejati yang jelas-jelas merupakan lembaga vertikal. Padahal sudah ada pemerintah pusat yang mengurusi Kejati dan punya kuasa anggaran jauh lebih jumbo.

Kalau pun bangunan kantor sekarang dianggap tidak representatif, biarlah muka pemerintah pusat yang pertama-tama dipertaruhkan. Walau masih patut dipertanyakan pula, apa benar gedung kantor Kejati sekarang yang katanya kurang representatif itu,menghambat pelayanan terhadap masyarakat. Pelayanan macam apa yang sudah terhambat?

Satu hal pula yang mengganggu akal sehat, kenapa pihak Kejati mau menerima hibah tersebut, padahal mereka pasti tahu keadaan Bandarlampung masih butuh penanganan dan perlu biaya besar. Seandainya memiliki standar akal budi dan nurani yang sama dengan warga Bandarlampung, sudah semestinya hibah itu ditolak. Itu jauh lebih mulia di mata masyarakat.

Pertanyaan lain yang tidak kalah menggelitik ialah kenapa walikota begitu bernafsu menggelontorkan hibah kepada pihak Kejati?

Ah, sudahlah. Hanya walikota Bandarlampung yang tahu jawaban sesungguhnya dari manuver yang dilakukannya. Kalau kita yang menafsirkan bisa beragam pemaknaan. Nanti bisa dikaitkan dengan pribahasa atau cerita tentang bubu ikan.

Meski sesungguhnya kita menunggu walikota Bandarlampung menjelaskan kepada pers secara terbuka dan riang gembira, seperti saat dirinya yang terlihat begitu semangat mengabarkan kepada media bahwa pemkot telah memberi bantuan 100 unit gerobak motor listrik kepada pelaku UMKM.

Padahal nilai total bantuan itu bak bumi dan langit, terpaut jauh dari angka Rp60 miliar.(*)

Further reading

  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]
  • kopi intan

    Bersama BRI, Kopi Intan Sukses Naik Kelas

    Di bawah binaan BRI, Kopi Intan berhasil menapaki pemasaran kopi Lampung hingga ke berbagai daerah di Indonesia. (Lontar.co): Aroma harum biji-biji kopi yang sudah selesai di roasting itu menguar kemana-mana, asalnya dari arah salah satu rumah di Kampung Empang, Pasir Gintung, Bandar Lampung. Dari dalam rumah sederhana yang terus menebarkan semerbak harum biji kopi itu, […]