Setiap malam, kota menutup wajahnya dengan kelap-kelip palsu. Lampu jalan yang muram, kafe-kafe yang terus memutar lagu lama, dan sepeda motor yang menderu seperti berusaha melawan kehampaan. Di antara itu semua, Enji adalah salah satu dari sedikit jiwa yang masih terjaga, bukan karena ingin, tapi karena tak bisa tidur.
Usianya tiga puluh dua, pekerjaan tetap di sebuah perusahaan multinasional, apartemen kecil yang rapi, dan tabungan yang lebih dari cukup untuk membangun rumah mungil di pinggir kota. Tapi setiap malam, ia menyalakan motornya dan melaju ke jalanan yang bahkan tukang bakso sudah meninggalkannya.
Motor bebek itu yang ia pilih bukan karena gaya, melainkan karena suara mesin dan getarannya yang terasa nyata, menjadi temannya saat malam menelannya. Enji tidak tahu ke mana hendak pergi. Ia hanya mengikuti angin, membiarkan tubuhnya dibawa ke mana pun jalanan mengalir.
Bukan perkara baru baginya. Dulu, ketika masih bersama pria yang menemaninya selama tiga tahun lebih, ritual malam ini juga sering ia lakukan. Bahkan saat pria itu masih memeluknya di hari Minggu atau menjemputnya saat hujan turun deras. Hubungan mereka kandas begitu saja. Tanpa pertengkaran. Tanpa penjelasan. Seperti film yang tiba-tiba berhenti di tengah adegan.
Lalu datang pria kedua. Usianya lebih muda dua tahun darinya. Mereka berjalan bersama selama delapan bulan. Tapi lagi-lagi, ujungnya sama. Hubungan itu bubar seperti gula larut dalam kopi panas. Tidak meninggalkan ampas. Tidak meninggalkan alasan.
Setelah dua kali kegagalan, Enji merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu apa. Ia tidak merasa terluka. Tidak benar-benar sedih. Tapi kosong. Dan kekosongan itu menggelisahkan, mengusik malam-malamnya seperti suara tetes air dari keran bocor di dapur.
Ia mencoba menutupi itu semua dengan kerja. Pulang malam. Lembur. Membuat laporan sampai mata perih. Tapi setiap malam tetap datang sebagai pengingat bahwa ada ruang dalam dirinya yang tak pernah terisi.
Kadang, untuk menipu rasa gelisah, ia menyamar. Menguncir rambut panjangnya, memasukkannya ke dalam jaket, mengenakan topi, lalu helm. Berpura-pura jadi pria dan duduk di depan minimarket, menyeruput kopi dari termos kecil. Kadang hingga dua jam. Kadang lebih. Lalu pulang tanpa apa-apa selain rasa kantuk palsu.
***
Enji mengenal lelaki itu dari sebuah forum literasi online. Seorang penulis novel. Ia tidak tampan, tidak juga terlalu ramah. Tapi dari cara ia merespons, ada yang membuat Enji merasa… dikenali. Seperti seseorang yang tidak hanya mendengar, tapi menyimak.
Hubungan mereka tidak intens. Kadang hanya bertukar pesan soal lagu-lagu lama atau puisi yang baru terbit di majalah sastra. Namun perlahan, obrolan mereka menjadi tempat Enji mencurahkan isi kepalanya. Tentang banyak hal. Tentang malam-malam kosong, jalanan yang ia lewati tanpa tujuan, dan kegagalan-kegagalan yang tak sempat dikubur.
Laki-laki itu tidak pernah menghakimi. Tidak pernah menawarkan solusi. Ia hanya berkata, “Berhati-hatilah saat keluar malam, kadang hal yang gelap bukan hanya suasana.”
Mereka jarang bertemu, tapi setiap kali bertemu, rasanya seperti bertahun-tahun saling mengenal. Di sebuah kafe sepi yang jadi langganan mereka, lelaki itu akan datang membawa buku, dan Enji akan duduk dengan kopi pahit tanpa gula. Obrolan mereka bukan soal status hubungan, tapi tentang bintang, angin malam, dan perilaku manusia di waktu-waktu sepi.
Enji tidak tahu mengapa ia merasa bisa terbuka pada lelaki itu. Mungkin karena lelaki itu sendiri adalah penyendiri. Seorang penulis yang akrab dengan kesunyian dan bisa menyulap sepi menjadi narasi.
Suatu malam, tanpa sadar, Enji menyadari bahwa ia sudah tidak sering lagi keluar malam. Bukan karena takut. Bukan karena bosan. Tapi karena rasa gelisah itu mulai kehilangan bentuk.
Kadang, sebelum tidur, ia memutar lagu-lagu yang dikirim lelaki itu. Lagu yang entah bagaimana selalu cocok dengan suasana hatinya. Ia tak pernah mengatakan kalau lagu itu menenangkannya. Lelaki itu juga tak pernah bertanya.
Hingga suatu malam, setelah Enji menjalani hari yang panjang di kantor, mereka kembali bertemu. Lelaki itu menyerahkan sebuah novel kepadanya. Tanpa banyak kata. Novel itu hasil tulisannya yang dia susun beberapa bulan terakhir.
Di halaman pertamanya, tertulis: Untukmu, yang setiap malam menjadi penjelajah tanpa arah.
“Dibacanya nanti saja,” pinta sang penulis.
Enji manggut seraya mengurai senyum. Dalam dua hari buku itu tuntas dibacanya. Cerita dalam novel itu seperti melihat hidupnya sendiri dari kacamata orang lain. Enji membaca perlahan, dengan hati yang berdebar. Novel itu bukan hanya tentang kisahnya, tapi tentang bagaimana seseorang melihat dan memahami luka orang lain, lalu merangkumnya menjadi kalimat-kalimat yang tak menghakimi.
Pada halaman terakhir, ia membaca: Ketenteraman bukan hal yang dicari ke luar rumah. Ia seperti napas. Selalu ada, hanya sering tak disadari. Rasa syukur adalah pintunya, dan kesunyian adalah cermin untuk menemukannya.
Enji memejamkan mata. Tak ada air mata. Tapi dadanya hangat.
Ajaibnya, sejak itu ia tak lagi merasa perlu menipu gelisahnya dengan menyamar atau menyusuri jalanan kosong. Kini, ia cukup membuka jendela kamarnya dan menyapa angin pagi.
Kadang, di sela kesibukan, ia akan mengetik pesan singkat:
“Lagu apa malam ini?”
Kadang lelaki itu menjawab, kadang tidak. Tapi itu tak lagi penting. Karena bagi Enji, malam-malamnya kini telah berubah. Ia tahu, mungkin ia belum sepenuhnya sembuh, belum sepenuhnya damai. Tapi ia telah menemukan bahwa gelisahnya bukan kutukan, hanya ruang kosong yang menunggu diisi dengan kesadaran.
Dan barangkali, lelaki itu tidak hadir untuk mengisi ruang itu, tapi untuk mengingatkan bahwa ruang itu selalu bisa diterangi. Bahkan dengan cahaya sekecil kehadiran, sesederhana sepotong lagu, atau sehalaman cerita yang menyentuh. Sesederhana itu. (*)