Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Lampung Utara hingga persoalan limbah sisa aktivitas dapur MBG di Tulangbawang Barat menambah daftar panjang persoalan pelaksanaan MBG.
(Lontar.co): Tiap kali putranya hendak berangkat sekolah, Wiwik kini selalu mewanti anaknya untuk tak memakan apapun selain bekal yang ia siapkan.
Sejak anaknya mengalami keracunan dari makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG), Wiwik memang selalu khawatir, ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan pada anaknya.
“Sekarang tiap hari saya bawain bekal makanan. Saya benar-benar khawatir,” ujarnya.
Pertengahan Juli 2025 lalu, puluhan siswa SD IT Insan Rhobani Kotabumi, Lampung Utara mengalami keracunan setelah mengkonsumsi makanan program Makan Bergizi Gratis.
Dian, salah satu orang tua siswa di Kotabumi, bahkan bersikap keras pada anaknya,”saya sampai pesan ke anak, jangan pernah makan apapun makanan yang dikasih orang, termasuk makan bergizi gratis itu. Kalau cuma sekedar kasih makan untuk anak, saya masih mampu. Saya nggak mau anak saya jadi korban keracunan,” tegas Dian.
Kerja Serampangan Program MBG
Kekhawatiran Wiwik dan sikap keras Dian memang mewakili kebanyakan orang tua, yang tak ingin anak-anaknya mengalami hal yang tak diinginkan.
Wiwik bahkan mengaku saat anaknya mengalami keracunan, kondisi fisik anaknya amat lemah meskipun sempat mendapat perawatan di rumah sakit.
Sedangkan Dian menilai, Makan Bergizi Gratis (MBG) yang hanya berlauk bihun, sayuran toge, lauk telur serta buah jeruk dan susu kotak, tak sebanding dengan resiko yang mungkin dialami oleh anaknya.
Alih-alih membantu perbaikan gizi buat anaknya, Dian justru tak rela anaknya harus mengkonsumsi makanan yang tak layak.
“Kalau cuma lauk telor sama sayuran, maaf ngomongnya, walaupun hidup saya susah, saya masih mampu beli sendiri”.
Ahli Gizi dari Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada, Leiyla Elvizahro, S.Gz., melihat makanan kaya karbohidrat seperti nasi dan mie rentan basi jika berada dalam suhu ruang.
Kondisi makin kompleks mana kala proses penanganan makanan dilakukan dengan serampangan, apalagi dalam program Makan Bergizi Gratis penanganan makanan dilakukan dalam jumlah yang besar sehingga amat rawan dari kasus keracunan, seperti yang banyak dialami penerima manfaat program MBG.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa makanan yang disediakan dalam jumlah besar tetap harus memenuhi standar higienitas yang tinggi yang meliputi penutup makanan, penempatan pada suhu yang sesuai hingga kebersihan alat penunjang dan petugas penyaji.
Kemudian, waktu memasak dan penyajiannya juga harus disesuaikan dengan waktu konsumsinya, karena semakin lama waktu antara tiap proses dilakukan maka potensi kontaminasi terhadap makanan di program MBG juga semakin tinggi.
“Makanan yang disimpan di suhu ruang selama lebih dari empat jam berpotensi meningkatkan pertumbuhan bakteri dengan cepat,” jelas Leiyla.
Limbah MBG di Tulangbawang Barat
Belum selesai soal keracunan makanan di MBG, di Tulangbawang Barat, program Makan Bergizi Gratis juga menimbulkan masalah limbah yang mencemari sumur warga.
Adalah sumur milik Netilia Destiana warga Tiyuh Pulungkencana, Tulangbawang Tengah, Tulangbawang Barat, yang tercemar limbah dari dapur program Makan Bergizi Gratis.
Sumur yang ia dan keluarganya gunakan untuk kebutuhan pemenuhan air bersih sehari-hari tercemar limbah air kotor yang meresap sehingga menimbulkan bau dan perubahan warna air sumur menjadi hitam dan tak layak konsumsi.
“Baunya busuk dan menyengat, airnya juga jadi hitam, padahal sumur itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,” keluh Netilia.
Ia juga sudah berusaha menghilangkan bau dan sumurnya yang tercemar itu, termasuk memanggil petugas Damkarmat, tapi tak berhasil.
Selain sumur milik Netilia, limbah hasil aktivitas dapur MBG juga menimbulkan bau busuk yang mengganggu aktivitas warga.
“Saya dan warga lain sampai mengambil sampel air dari sumur lain, ternyata sama semua, ikut tercemar,” akunya.
Setelah dirunut dan oleh Netilia dan sejumlah warga di sana, ternyata sumber pencemaran mengarah pada satu titik, yakni; dapur proses pembuatan makanan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ia dan warga lainnya, sudah berulangkali mengingatkan hingga menegur pengelola dapur MBG, tapi tak mendapat respon yang positif,”pernah ada yang datang dari dapur MBG, ngambil sampel air, sudah itu nggak ada kabarnya lagi,” tutur Netilia.
Kesal tak direspon, warga kemudian membuat laporan langsung ke pamong Tiyuh Pulungkencana.
“Apa yang kami lakukan ini hanya ingin meminta pertanggungjawaban dari pengelola MBG, apalagi sumur itu menjadi sumber kehidupan buat kami, tapi karena tercemar tak bisa digunakan lagi,” keluh Neti.
Belakangan pula diketahui dari pamong tiyuh, jika aktivitas pengelolaan limbah di dapur MBG tak pernah dikordinasikan dengan pemerintah tiyuh setempat,”padahal setiap hari selalu menghasilkan limbah sisa buangan yang kemudian mencemari,” kata Kepala Tiyuh Pulungkencana, Hendrawan.
MBG, Janji Kampanye atau Peningkatan Kualitas Manusia?
Sahdan, saat launching dapur MBG di Lampung Tengah, Gubernur Mirza menyebut alasan Prabowo menggagas program MBG,”gagasan (makan bergizi gratis) ini, pernah diucapkan Pak Prabowo kepada saya 15 tahun lalu, tahun 2009,” kata Mirza.
Setelah terpilih dan dilantik menjadi presiden, Prabowo memang menepati janji kampanyenya, tapi kemudian program Makan Bergizi Gratis menjadi bias antara realisasi janji kampanye dan komitmen tulus untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebenarnya.
Faktanya, program yang dilakukan dengan terburu-buru dengan anggaran yang amat mahal, hingga memicu pengetatan anggaran melalui kebijakan efisiensi, adalah konsekuensi dari ambisi Prabowo menghelat Makan Bergizi Gratis.
Program yang terburu-buru ini pula, pada akhirnya menimbulkan cacat dimana-mana, bukan hanya di Lampung, kasus keracunan juga terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia.
Sebelumnya, skema pembiayaan juga sempat memicu polemik, lantaran banyak mitra program yang belum mendapat pembayaran, yang kemudian berimbas kepada pelaksanaan program, padahal sesuai namanya, makan bergizi, maka pemenuhan gizi yang ideal untuk sasaran program menjadi mutlak. Tapi, lihat saja, kasus keracunan masih tetap ada.
Sikap meremehkan dan tidak bertanggung jawab juga terlihat pada kasus keracunan makanan MBG di Lampura, pengelola program MBG bahkan mengakui adanya kelalaian sehingga membuat puluhan siswa di Lampung Utara keracunan.
Asisten Lapangan Program MBG Lampura, M.Rabani menyebut proses produksi hingga pengemasan makan di wadah memakan waktu, padahal ia mengakui jika sebelum didistribusikan ke penerima program, makanan MBG sudah melalui pengawasan, tapi nyatanya masih saja kecolongan.
Di Tulangbawang Barat, setelah memicu keresahan akibat pengelolaan dapur program MBG yang serampangan membuat limbahnya mencemari sumur dan saluran pembuangan warga, pengelola program baru menyadari dan baru berjanji akan mengelola sinergi dengan masyarakat.
Angka Kecukupan Gizi MBG yang Memprihatinkan
Jika melihat menu makan di program MBG yang kemudian memicu kasus keracunan di Lampung Utara, berdasarkan pengakuan siswa yang menjadi korban, makanan itu terdiri dari; bihun goreng, sayuran yang isinya toge dan sawi, kemudian lauknya adalah telur, dengan buah jeruk dan sekotak kecil susu.
Jika merujuk angka kecukupan gizi yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kecukupan gizi (AKG) untuk anak usia 6-9 tahun rata-rata adalah; kebutuhan energi harian berkisar antara 1650-2200 kkal. Protein dibutuhkan sekitar 40-60 gram per hari, lemak sekitar 55-70 gram per hari, dan karbohidrat sekitar 250-300 gram per hari.
Dengan komposisi gizi yang dibutuhkan oleh seorang anak usia sekolah dasar dibandingkan dengan menu pada program MBG masih jauh dari upaya pemenuhan gizi yang diharapkan.
Bahkan, pada Februari 2025, serat.id pernah melakukan analisis angka kecukupan gizi pada menu program MBG menggunakan perangkat NutriSurvey sebagai piranti untuk mengetahui nilai gizi makanan yang databasenya disesuaikan dengan berbagai makanan khas asal Indonesia untuk mempermudah analisis kandungan gizi secara relevan dan lebih akurat, yang dikembangkan Dr. Juergen Erhardt dan Dr Rainer Groos dari Jerman dan terafiliasi langsung dengan sejumlah universitas terkenal termasuk Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia dan Seameo Tropmed
Dalam uji langsung terhadap lima sekolah yang menerima program MBG, menunjukkan jika tidak satupun menu makanan di program MBG yang memenuhi angka kebutuhan gizi yang merujuk pada Permenkes Nomor 28 Tahun 2019.
Karakter menu makanan juga memiliki kesamaan dengan menu makanan yang memicu keracunan di Lampura, dengan detail komposisi berat hingga kuantitas yang sama, yakni; nasi 150 gram, telur 55 gram, tempe 25 gram, sayur asem 30 gram dan buah-buahan 80 gram.
Diketahui, total asupan energi hanya 379 kkal, padahal idealnya asupan energi harian minimalnya adalah 1650 kkal, kemudian kandungan protein yang hanya 14,3 gram sementara minimal angka ideal protein AKG adalah 40 gram.
Selanjutnya, dalam aturan permenkes juga disebut kebutuhan lemak minimal 55 gram, namun pada menu program MBG hanya 11 gram. Terakhir, kebutuhan karbohidrat sesuai AKG yang diatur permenkes minimal adalah 250 gram per hari, tapi di menu MBG hanya 55,4 gram.
Kebijakan Populis yang Dieksekusi Terburu-buru
Meski sudah mulai berjalan secara merata, program MBG secara misi memang mulia, apalagi untuk memperbaiki kualitas generasi, tapi pelaksanaannya terlalu tergesa.
Sejak awal, banyak masalah yang membelit MBG, demikian pula ketika telah mulai berjalan, kasus demi kasus mulai muncul, keracunan dan pencemaran limbah di Lampung adalah kasus kecil yang tampak dipermukaan.
Pengelolaan MBG yang melibatkan begitu banyak pihak dengan anggaran yang sedemikian besar juga rentan di korupsi.
Pada Juni 2025, Transparency International Indonesia (TII) telah merilis laporan indikasi kerentanan korupsi di balik program Makan Bergizi Gratis dengan metode pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA) yang menunjukkan adanya kecenderungan program MBG punya banyak resiko, mulai dari gagal secara implementatif hingga membuka ruang korupsi sistemik sebagai dampak dari lemahnya tata kelola, adanya konflik kepentingan hingga proses pengadaan barang dan jasa yang tidak akuntabel.
Apalagi, program MBG yang menarget 82,9 juta penerima manfaat, menyedot anggaran hingga Rp400 triliun, dengan pengawasan yang masih amat lemah dibanyak titik dalam pengelolaan Makan Bergizi Gratis, membuka banyak celah berbagai praktik koruptif, seperti; mark up harga, penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau bahkan tak layak konsumsi, seperti kasus keracunan yang terjadi di Lampung Utara adalah salah satu indikasinya.
Dengan anggaran yang besar, yang sumber pendanaannya dari APBN, MBG sangat membebani negara, ancaman defisit hingga 3,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang jauh lebih tinggi dari ambang batas maksimal sebesar 3 persen seperti yang digariskan dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Tapi, siapa yang tak mengenal Prabowo Subianto, ia adalah jenderal yang punya kecenderungan antikritik, ekspresinya soal kritik selalu emosional dan selalu menganggap semua yang kritis terhadap kebijakan yang ia buat dalam lanskap politik yang ia bangun sebagai pembangkang, dan menutup tiap ruang perbedaan pandangan dengannya, dan kepada setiap yang berusaha melawan kebijakannya, maka responnya; ndasmu!