Alya baru saja mengunggah reels dengan kutipan sastra. “Kita adalah luka yang saling menemukan rumah.” Musiknya sendu, pencahayaannya remang, dan ekspresinya pasrah seperti habis ditinggal tapi masih berharap. Itu bukan konten biasa. Melainkan terapi.
Belum dua menit tayang, muncul komentar, “Buka endorse nggak, Kak? Skincare-ku cocok buat yang habis patah hati.”
Alya menatap layar. Antara kesal dan geli, ia bertanya-tanya, sejak kapan patah hati dianggap peluang pemasaran?
Ia scroll ke bawah. Ada yang komen, “Relate banget,” lalu langsung diikuti akun jualan teh herbal, “Sembuhkan lukamu dari dalam, Kak.”
Dunia maya seolah tak peduli kamu lagi rapuh. Sebab yang penting kamu punya viewers.
Mungkin benar, di era algoritma, luka bukan lagi untuk disembuhkan. Tapi dikurasi, diberi caption puitis, lalu dikonversi jadi engagement rate.(*)