Struktur demografis petani di Lampung yang berada di usia 50 tahun ke atas, tak berbanding lurus dengan proses regenerasi di sektor pertanian yang melambat, apalagi di daerah-daerah yang selama ini menjadi lumbung pertanian di Lampung.
(Lontar.co): Sudah tiga hari ini, Sutrisno hanya bisa terbaring lemah di amben ruang tamu rumahnya. Seluruh badannya terasa nyeri, suhu tubuhnya juga amat tinggi. Nafsu makannya juga tak ada.
Meski sudah berobat ke Puskesmas Karanganyar, tapi tak ada perubahan yang signifikan, obat yang diberikan pun cenderung ringan. Oleh petugas medis puskesmas, ia hanya didiagnosa kelelahan.
Sebelum sakit, Sutrisno memang harus bekerja dari pagi hingga sore, selama berhari-hari, menggarap lahannya agar siap tanam menjelang musim penghujan ini, berdua saja dengan istrinya, sedang kedua anaknya tak bisa membantu karena bekerja sebagai mekanik motor dan pelayan mini market.
Meski dibantu dengan hand tractor sewaan, tapi ia dan istrinya tetap saja kepayahan menggarap tiga petak lahan sawah tadah hujan miliknya, apalagi lahan mereka dan kebanyakan lahan petani lain di Desa Karanganyar, Jatiagung, tanahnya tidak terlalu gembur dan cenderung keras, sehingga pengolahannya lumayan ekstra.
Kerja yang terlalu diforsir di usia yang sudah menjelang senja ini, membuat tubuhnya tak berdaya, padahal belum semua lahannya tergarap tuntas.
“Kalau nggak digarap sekarang, musim hujan nanti malah nggak bisa nandur,” ujarnya pelan.
Ia juga tak berharap banyak kedua anaknya bisa membantu, selain tak mengerti cara bertani, kedua anaknya juga sudah terikat jadwal kerja harian yang pasti.
“Nek dijak neng sawah mesti misuh-misuh (Kalau diajak ke sawah pasti marah-marah)”.
Padahal, sawah yang luasnya hampir 1.200 meter itu, telah begitu berjasa buat keluarganya, termasuk untuk membiayai sekolah kedua anaknya hingga lulus sekolah menengah atas.
Petani Makin Menua
Di Indonesia, termasuk di Lampung, struktur demografis usia petaninya masih didominasi oleh petani-petani yang sudah berusia lanjut, tapi tak diiringi dengan proses regenerasi yang justru melambat.
Di balik permasalahan alih fungsi lahan yang terus menggerus areal pertanian di Lampung, masalah demografi usia petani juga menjadi ancaman serius, utamanya dalam program ketahanan pangan yang gencar dihembuskan pemerintah.
Apalagi, Pemerintah Provinsi Lampung juga ditarget oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan produksi Gabah Kering Gilingnya (GKG) mulai tahun 2025 hingga 3,5 juta ton GKG.
Secara realistis, untuk 10 tahun ke depan, target ini berpotensi tercapai, namun dalam fase dekade berikutnya, angka ini amat mungkin berpotensi menurun, seiring makin tak produktifnya petani karena faktor usia.
Regenerasi Petani yang Lamban
Sementara, proses regenerasi petani di Lampung masih amat lamban, bahkan masih jauh dari harapan.
Pengamat pertanian Unila, Teguh Endaryanto beberapa waktu lalu pernah menyebut, kendala pertanian saat ini, utamanya padi sawah, masih berkutat pada alih fungsi lahan, ketersediaan air hingga proses regenerasi petani yang masih sangat minim.
Hal ini, lebih didasari karena imej tentang petani itu sendiri, yang oleh kebanyakan milenial dianggap sebagai profesi yang tidak menjanjikan masa depan, hingga harga komoditas yang tak mampu bersaing tiap kali musim panen raya tiba.
Paradigma ini, menurut Teguh, menjadi tanggung jawab pemerintah, termasuk meningkatkan nilai tambah terhadap hasil pertanian,”harus sudah mulai mengembangkan teknologi smart farming, maupun meningkatkan nilai tambah melalui upaya hilirisasi produk pertanian,” ujarnya.
Milenial, menurutnya, menjadi bagian dari regenerasi sektor pertanian yang memang sudah harus mulai dikejar sejak saat ini.
Hasil Sensus Pertanian tahun 2023 Badan Pusat Statistik lalu menyebut, Lampung menempati peringkat ke enam sebagai daerah dengan jumlah petani milenial terbanyak di Indonesia, dengan jumlah sebanyak 337.390 orang atau sebanyak 25,18 persen dari total jumlah petani yang ada di Lampung, yang jumlahnya sebanyak 1.340.261 orang.
Dari jumlah itu, Kabupaten Lampung Tengah menjadi daerah dengan jumlah petani muda terbanyak, yakni sebanyak 60.285 orang.
Kemudian disusul, Kabupaten Lampung Timur sebanyak 48.622 orang. Lampung Selatan sebanyak 33.710 orang.
Selanjutnya, Kabupaten Way Kanan sebanyak 27.505 orang. Kabupaten Tanggamus sebanyak 26.452 orang. Dan, Kabupaten Lampung Utara sebanyak 25.431 orang.
Dari 15 kabupaten/kota itu, hanya dua kota yang jumlah petani mudanya relatif minim, di urutan paling bawah adalah Kota Metro dengan jumlah petani muda sebanyak 1.224 orang. Di urutan kedua terbawah adalah Kota Bandarlampung dengan jumlah 1.673 orang.
Jika merujuk data hasil Sensus Pertanian 2023 itu, jumlah petani muda dengan rentang usia 19 hingga 39 tahun memang masih relatif tinggi di Lampung, tapi angka ini sepanjang rentang dua tahun terakhir terus mengalami penurunan seiring dengan maraknya alih fungsi lahan.
Salah satu indikatornya adalah pertanian di Kota Metro, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu lumbung pertanian, kini luas arealnya makin menyusut, proses regenerasi petani juga tak berjalan di kota ini.
Demikian halnya dengan Kota Bandarlampung, yang areal sawah tadah hujannya telah beralih fungsi menjadi pemukiman.
Regenerasi petani yang mengkhawatirkan justru terjadi pada kabupaten-kabupaten yang selama ini menjadi daerah penghasil padi terbesar di Lampung, seperti; Kabupaten Mesuji, Pringsewu, Pesawaran dan Tulangbawang Barat.
Di keempat kabupaten ini, proses regenerasi petaninya amat minim. Di Kabupaten Mesuji misalnya, masih merujuk data Sensus Pertanian 2023 BPS, regenerasi petani mudanya hanya 16.141 orang.
Demikian juga di Kabupaten Pringsewu, yang hanya ada sebanyak 10.129 orang. Dan, Tulangbawang Barat sebanyak 16.408 orang.
Selanjutnya di Pesawaran sebanyak 16.172 orang. Data lain dari BPS Pesawaran bahkan menunjukkan tren penurunan regenerasi petani yang angkanya jauh berbeda dibanding hasil Sensus Pertanian BPS Lampung untuk tahun 2023.
BPS Pesawaran dalam Sensus Pertanian 2023 justru menyebut, regenerasi petani di daerah ini bahkan mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir.
Tahun 2013 lalu, jumlah petani muda di Kabupaten Pesawaran, ada sebanyak 9.578 orang, tapi di tahun 2023 angka itu turun menjadi hanya 7.373 orang atau turun sebanyak 2.205 orang, hanya dalam sepuluh tahun saja.
Padahal, keempat kabupaten itu diketahui menjadi penyumbang produksi padi terbesar di Lampung.
Pada tahun 2024 saja, hasil produksi padi di Mesuji mencapai 271.572, 19 ton. Kemudian, diurutan kedua disusul oleh Pringsewu dengan total produksi mencapai 143.902,58 ton, selanjutnya Kabupaten Pesawaran dengan total produksi sebanyak 115.934,28 ton, dan di posisi ke empat terbanyak adalah Kabupaten Tulangbawang Barat sebanyak 29.538,83 ton.
Pola Lama Model Pertanian
Di balik jumlah petani muda dengan rentang usia 19 sampai dengan 39 tahun yang jumlahnya terus menyusut itu pula, kenyataannya model pertanian yang dilakukan masih jauh dari praktik pengembangan sektor pertanian berbasis teknologi digital di berbagai kabupaten/kota di Lampung.
Di Kabupaten Lampung Tengah misalnya, meski jumlah petani mudanya adalah yang terbanyak di Lampung, tapi sebanyak 30 persen petaninya masih menerapkan pola pertanian tradisional, rinciannya dari sebanyak 60.285 petani, hanya sebanyak 42.648 orang petani saja yang sudah mengaplikasikan teknologi digital.
Di Lampung Timur bahkan hanya ada 50 persen petani muda saja yang sudah menerapkan praktik pertanian modern, padahal ada sebanyak 48.622 orang petani muda, tapi yang sudah menerapkan prinsip-prinsip pertanian modern hanya sebanyak 28.976 petani.
Kondisi serupa juga terjadi di kabupaten-kabupaten lainnya yang diketahui masih terdapat petani berusia muda, rerata adopsi teknologi modern yang diterapkan oleh petani muda ini masih dikisaran angka 50 persen dari total jumlah petani muda di tiap daerah di Provinsi Lampung.
Yang menarik justru di Kota Metro, hampir 90 persen petani mudanya sudah menerapkan sistem pertanian modern, jumlahnya ada sebanyak 915 orang petani dari total 1.224 orang petani.
Ancaman Swasembada Pangan
Minimnya regenerasi petani ini secara langsung amat berdampak pada program swasembada pangan yang terus digencarkan saat ini. Kondisi ini, menjadi ancaman serius swasembada pangan.
Anehnya, pemerintah pusat dan provinsi justru fokus pembenahan di sektor hilir. Padahal, eks Kepala Dinas Ketahanan Pangan Tanaman Pangan dan Holtikultura Lampung, Bani Ispriyanto dalam diskusi Pers Mengawal Ketahanan Pangan Nasional, Mei 2025 lalu, sudah menyebutkan masih banyak tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan, utamanya di Lampung sendiri.
Salah satu hal krusial yang harus dibenahi, lanjutnya, adalah soal penurunan jumlah petani. Saat ini, usia petani di Lampung sudah di atas 55 tahun bahkan hingga di atas 60 tahun yang jumlahnya terus berkurang dari tahun ke tahun.
“Generasi mudanya tidak tertarik dengan pertanian,” ujarnya.
Kondisi ini, tambah Bani, akan sangat berpengaruh terhadap target produksi gabah yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk Provinsi Lampung yakni sebanyak 3,5 juta ton di tahun 2025.
Pemenuhan target produksi gabah ini dilakukan untuk menopang suplai gabah di provinsi lain yang belum mandiri dalam hal produksi berasnya.
Tantangan struktural demografi regenerasi petani, utamanya di kabupaten-kabupaten yang menjadi lumbung pertanian di Lampung memicu kekhawatiran akan terjadinya kelemahan ketahanan pangan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, masalah kian kompleks mana kala produksi pangan nasional masih ditopang oleh pertanian skala kecil atau orang per orang, dalam data Institut Pertanian Bogor (IPB) bahkan menyebut sebanyak 99 persen produksi pangan di Indonesia justru kebanyakan berasal dari pertanian skala kecil. Dalam kondisi ini, praktis kebutuhan tenaga terampil dan berpendidikan sebagai bagian dari proses regenerasi petani menjadi amat penting.
Masalah-masalah yang mendominasi regenerasi petani, umumnya disebabkan oleh persepsi gengsi, ekonomi hingga lemahnya upaya modernisasi sektor pertanian.
Petani dan pangan adalah penyangga utama tatanan negara yang amat menentukan kemampuan negara memenuhi kebutuhan rakyatnya sekaligus menjadi indikator kesejahteraan bagi petani, namun jika proses alami regenerasi yang seharusnya terjadi justru berlaku sebaliknya, maka program swasembada pangan nasional maupun di Lampung hanya sekedar omon-omon belaka.