Lampung Dalam Ancaman Likuifaksi

0 Comments

Sejumlah daerah di Lampung dibayangi ancaman bencana likuifaksi atau gejala hilangnya kekuatan dan kekakuan muka tanah sehingga tanah kehilangan sifat padatnya dan bertindak layaknya cairan, pesisir Teluk Lampung dan Tanggamus adalah daerah dengan potensi tinggi terjadinya likuifaksi. Selain gempa bumi, penyedotan air tanah yang masif juga bisa jadi pemicu.

(Lontar.co): Kamis (28/8/2025) sekitar pukul 9.00 pagi, Hasan baru saja melangkah keluar dari rumahnya di Desa Batunangkop, Kecamatan Sungkai Tengah, Lampung Utara, hendak menuju kebunnya.

Tapi, belum terlalu jauh berlalu dari rumahnya, ia merasakan tanah yang ia pijak seperti bergerak, ia masih belum sadar, sejurus kemudian, ia langsung berlari kembali ke rumahnya,”ada lindu,” ujar Hasan kepada istrinya.

Saat itu, ia dan istri langsung bergegas ke halaman rumah, sampai lebih dari setengah jam, Hasan mulai lega, karena getaran tanah yang sempat membuatnya was-was, tak lagi dirasakan.

Gempa bumi yang terjadi di wilayah Sungkai Tengah, menurut analisis BMKG, kekuatan magnitudonya 4,7, terbilang kuat dan wajar jika kemudian bisa dirasakan oleh Hasan.

Gempa yang episentrumnya terletak di koordinat 4,76° LS ; 104,65° BT, adalah gempa tektonik yang berlokasi di darat wilayah Sungkai Tengah.

Ketua Tim Kerja Operasi Stasiun Geofisika BMKG Lampung Utara, Agung Setiadi juga membenarkan gempa yang dirasakan oleh setidaknya di tiga kecamatan; Sungkai Tengah, Sungkai Utara dan Sungkai Barat.

“Kekuatan getarannya, menurut masyarakat yang merasakan seperti truk yang lewat, tapi tak berpotensi tsunami, karena gempa terjadi di darat,” terang Agung.

Di hari yang sama, pada dini hari sekitar pukul 00.51, gempa dengan kekuatan magnitude 3,2 BMKG juga dilansir BMKG, pusatnya di 5.91 LS; 103.55 BT atau 90 kilometer barat daya Kabupaten Pesisir Barat dengan kedalaman 5 kilometer.

918 Kejadian Gempa di Lampung Sepanjang 2024

Sepanjang tahun 2024, Stasiun Geofisika Kotabumi mencatat 918 kejadian gempa yang terjadi di Lampung. Dan, daerah dengan kejadian gempa terbanyak sepanjang tahun 2024 itu, adalah Kabupaten Tanggamus, tercatat ada sebanyak 512 kejadian gempa yang episentrumnya berada di wilayah Kabupaten Tanggamus.

BACA JUGA  Dianggarkan 20 Persen di APBN, Potret Pendidikan Indonesia Masih Kayak Begini  

Varian magnitude gempa juga beragam, mulai dari 5,4 magnitudo yang paling besar hingga gempa terkecil dengan kekuatan magnitude 1.

Kemudian, dari ratusan gempa itu, hanya 8 kejadian gempa yang getarannya dirasakan langsung oleh masyarakat.

Sedangkan, waktu intensitas gempa yang paling terjadi adalah di bulan Oktober, dengan kejadian gempa sebanyak 592 kejadian.

Kemudian, pada semester pertama tahun 2025 ini pula, Stasiun Geofisika BMKG Lampung Utara sampai dengan Juli 2025, sudah mencatat kejadian gempa bumi sebanyak 289 kali kejadian untuk daerah Lampung dan sekitarnya.

Tingginya frekuensi gempa bumi yang terjadi di Lampung ini, menjadi konsekuensi dari posisi Lampung yang masuk dalam salah satu dari 16 segmen megathrust.

“Lampung berada di segmen megathrust wilayah barat daya Selat Sunda pada jalur lempeng Hindia Australia,” papar Ketua Tim Kerja Operasi Stasiun Geofisika BMKG Lampung Utara, Agung Setiadi kepada wartawan, awal tahun 2025 lalu.

Potensi Likuifaksi di Balik Gempa Bumi

Di balik tingginya intensitas gempa bumi di wilayah Lampung dan sekitarnya, potensi likuifaksi juga mengancam sejumlah wilayah di Lampung.

Dalam Atlas Zona Kerentanan Likuifaksi yang disusun oleh Kementerian ESDM tahun 2019 lalu, sejumlah wilayah di Lampung yang masuk dalam bagian pesisir Teluk Lampung dalam wilayah Kota Bandarlampung masuk dalam zona kerentanan tinggi terjadinya likuifaksi.

Selain itu, sejumlah zona di Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan khususnya Kalianda dan Bakauheni juga masuk dalam zona kerentanan tinggi terjadinya likuifaksi.

Demikian pula di Kabupaten Tanggamus, potensi likuifaksi Teluk Semaka hingga Kecamatan Ulubelu.

Potensi likuifaksi yang tinggi di Tanggamus ini juga menjadi bahan studi khusus oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah mendeteksi potensi likuifaksi sejak 2023 lalu.

BACA JUGA  Perhutanan Sosial Bukan cuma Soal Lahan Garapan dan Pendanaan Tapi juga Rasa Aman

Rekomendasi dari BNPB ini, diakui pula oleh Kepala BPBD Lampung, Rudi Sjawal Sugiarto yang memberi atensi khusus terhadap antisipasi potensi likuifaksi di Tanggamus.

“Data BNPB tahun 2023, Tanggamus memang masuk dalam daftar daerah tanah bergerak,” jelas Rudy akhir tahun 2024 lalu.

Meski demikian, lanjut Rudi, potensi likuifaksi di Lampung khususnya di Kabupaten Tanggamus perlu pendalaman lebih kembali, dalam hal potensi sebaran likuifaksi serta dampak potensi bencana yang timbul akibat likuifaksi tersebut sebagai upaya mitigasi bencana.

Daerah Potensi Likuifaksi

Selain Tanggamus, daerah potensi terjadinya likuifaksi juga tersebar di beberapa wilayah, utamanya di Teluk Lampung termasuk Kota Bandarlampung, Lampung Selatan meliputi wilayah pesisir Lamsel yang terdiri dari; Kalianda hingga Bakauheni.

Kemudian di Tanggamus, di wilayah pesisir Teluk Semaka, hingga ke wilayah daratan Ulubelu.

Potensi likuifaksi di Lamsel bahkan sudah dipetakan oleh sejumlah mahasiswa Teknik Geofisika Unila sejak tahun 2016, dalam penelitian melalui jurnal Studi Potensi Likuifaksi Menggunakan Pendekatan Geologi, Hidrogeologi di wilayah Lampung Selatan.

Hasilnya, wilayah-wilayah pesisir Lamsel memiliki resiko kerawanan tinggi terhadap terjadinya likuifaksi yang rentan. Salah satu pemicu yang bisa menimbulkan likuifaksi adalah wilayah pesisir Lampung Selatan yang beririsan langsung dengan Selat Sunda yang masuk dalam zona aktif patahan atau yang dikenal dengan Sunda Megathrust.

Pada zona ini, area tumbukan lempeng Indo-Australia yang menghujam ke dasar lempeng Eurasia kerap kali menimbulkan gempa-gempa dangkal hingga dalam dengan skala magnitude yang kecil hingga besar.

Jauh sebelum likuifaksi terjadi di Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah pada September 2018 akibat gempa M 7,4, Lampung pernah mengalami likuifaksi amat parah saat gempa Liwa pada 15 Februari 1994 dengan gempa berkekuatan M 7,0.

BACA JUGA  Menakar Watak Sugar Group Companies (SGC)

Pada likuifaksi yang terjadi di Liwa yang diteliti secara khusus oleh dua peneliti lingkungan dari aliansi lingkungan internasional (International Alliance for Environtment); Jansen Smidt dan Emma Julia adalah salah satu yang paling parah di Indonesia.

Meski demikian, ketika itu kejadian likuifaksi di Liwa ter-kamuflasekan oleh gempa besar yang menelan ratusan korban jiwa.

“Ketika itu, orang maupun pemerintah tak terlalu mengidentifikasikan likuifaksi dalam kejadian spesifik, tapi lebih kepada dampak yang dipicu oleh gempa bumi,” terang Jansen.

Likuifaksi Tak Melulu Dipicu Gempa Bumi

Selain itu, keduanya juga menemukan kasus likuifaksi tak hanya melulu bersumber dari gempa bumi, meski keduanya mengakui likuifaksi memang umumnya dipicu oleh gempa bumi di atas 5 magnitudo.

Namun, gejala lain hasil penelitian yang mereka temukan, likuifaksi spesifik juga memungkinkan terjadi jika eksploitasi air tanah secara masif dilakukan hingga eksploitasi pertambangan bisa memicu likuifaksi yang kekuatannya hampir setara dengan kejadian gempa bumi.

Dalam kasus likuifaksi yang dipicu oleh aktivitas non kejadian gempa bumi yang tak diprediksi, daerah-daerah di Lampung yang meliputi wilayah pesisir Kota Bandarlampung hingga pesisir Lampung Selatan adalah daerah yang rentan dengan musibah likuifaksi.

Penyedotan air tanah dalam skala besar khususnya pada wilayah dengan tanah berpasir lepas dan muka air tanah dangkal, punya potensi terjadinya likuifaksi.

“Penyedotan air tanah bisa mengurangi daya dukung terhadap butiran tanah sehingga bisa lebih rentan terhadap perubahan struktural dan sekilas mirip dengan mekanisme pemicu getaran gempa bumi,” jelas mereka.

Sedangkan potensi material tanah yang bisa terlikuifaksi berada pada kedalaman hingga 20 meter dari permukaan,”disadari atau tidak, tiap kali ada gempa baik yang dirasakan oleh manusia ataupun tidak, likuifaksi juga selalu terjadi, meski tak selalu di atas muka tanah,” papar Jansen.

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]