Setelah era disrupsi digital merangsek bak gelombang tsunami yang merambah nyaris ke segenap aspek kehidupan manusia, barulah pemerintah Indonesia tersadarkan. Dengan tergopoh-gopoh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencoba menambal lubang-lubang kelemahan yang terlanjur telah menganga lebar selama ini, seperti jaringan internet super lemot tapi tarifnya tidak manusiawi.
(Lontar.co): Menurut data Databoks, pada 2025 ini jumlah pengguna internet di Indonesia diperkirakan telah mencapai 212,9 juta jiwa. Angka tersebut sepadan dengan 77 persen total penduduk. Secara global, pengguna internet di Indonesia berada pada urutan kelima terbesar di dunia. Posisinya hanya tertinggal dari Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Brasil.
Sayangnya, angka-angka tersebut selama ini tidak dipandang sebagai sebuah potensi. Tak heran bila perkembangan teknologi digital di negeri ini keteteran, bahkan dibanding dengan negara di Asia Tenggara sekalipun.
Belakangan pemerintah baru ramai mengangkat pembahasan teknologi digital tersebut. Setelah dihitung-hitung, pemerintah juga baru memahami bahwa potensi ini bisa dimanfaatkan oleh anak bangsa.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, bilang Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital pada 2030 mendatang. Itu artinya, sejak saat ini dibutuhkan tidak kurang 600 ribu talenta digital setiap tahun.
Sayangnya, seperti diakui Wahyu, hingga sekarang kebutuhan itu belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi, SMK, dan lembaga vokasi. Oleh karenanya dia beranggapan perlu ada upaya bersama lintas sektor.
“Perlu ada kolaborasi dari seluruh stakeholder. Baik pemerintah, industri, akademisi, maupun komunitas, untuk menciptakan talenta digital yang sesuai kebutuhan pasar kerja,” katanya, seperti dilansir Kompas.com, Jumat (27/6/2025).
Untuk itu, imbuh Wahyu, Komdigi melalui BPSDM terus mendorong program reskilling dan upskilling di berbagai bidang strategis, termasuk digital IT, komunikasi, dan telekomunikasi. “Kami menyediakan berbagai pelatihan dan penyediaan kompetensi sertifikasi. Harapannya agar semakin banyak talenta siap pakai yang bisa langsung terjun ke industri,” jelasnya.
Tapi apa iya, harapan besar itu bisa dicapai hanya dengan sederet kolaborasi, tanpa dibarengi pembenahan infrastruktur penunjang pengembangan digitalisasi? Sudah barang tentu sangat tidak mungkin. Lagi-lagi, pemerintah terlambat menyadari untuk melakukan peran tersebut semenjak awal.
Kini, Komdigi baru tersadar betapa rendahnya koneksi internet tetap (fixed broadband) yang mengalir pada kisaran 21,31 persen rumah-rumah di Indonesia. Lemotnya koneksi internet itu buru-buru dicarikan jalan ke luarnya.

Itu terlihat ketika Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, melakukan pertemuan dengan operator telekomunikasi di Kantor Kementerian Komdigi. Kedua belah pihak membahas program penyediaan akses internet tetap hingga 100 Mbps. Utamanya untuk penetrasi di wilayah tanpa jaringan serat optik, termasuk sekolah, puskesmas, dan kantor desa.
Dari pertemuan ini juga diketahui, ternyata masih terdapat 86 persen sekolah (190.000 unit) masih belum mempunyai akses internet tetap. Selain itu, 75 persen Puskesmas (7.800 unit) belum terkoneksi dengan baik, 32.000 kantor desa masih berada dalam zona blankspot.
Dalam laporan Ookla pada Mei 2025, melalui SpeedtestGlobal Index yang rutin mengungkapkan perkembangan kecepatan internet mobile dan fixed broadband di seluruh dunia, diketahui kondisi internet di Indonesia belum bisa bersaing bahkan dengan negara tetangga sekalipun.
Untuk internet mobile, peringkat Indonesia belum berubah alias masih sama seperti sebelumnya dengan menempati peringkat ke-85 dari 103 negara di dunia. Kecepatan internet mobile Indonesia rata-rata 40,61 Mbps. Jika dibandingkan dengan negara di ASEAN saja, Indonesia paling terburuk.

Sementara untuk kategori fixed broadband yang ingin digenjot Komdigi sampai 100 Mbps, saat ini kondisinya pun sama memprihatinkan seperti internet mobile. Meski lebih baik dari Myanmar, Indonesia tetap keok dibandingkan negara lain. Bahkan tertinggal sangat jauh dari Singapura.
Selain menjajaki peningkatan kecepatan internet, Komdigi ikut membahas kemungkinan penurunan harga layanan internet. Persoalan ini sudah menjadi keluhan lama dari masyarakat luas yang sangat membutuhkan ketersediaan akses internet dengan harga lebih terjangkau.
Harapan publik ini termasuk logis, mengingat tarif yang dikenakan selama ini terbilang tinggi, bahkan terkategori termahal di Asia Tenggara. Sebagai pembanding, Thailand memiliki tarif per 1 GB sekitar Rp 327, sedangkan Indonesia bisa mencapai Rp 11.000.
Menyimak kondisi akses internet di Indonesia yang masih sangat minim dalam berbagai kategori ini, kiranya dibutuhkan niat dan keseriusan dari pemerintah. Terutama untuk membantu warganya terhadap akses internet yang mumpuni dengan harga yang berdamai dengan isi dompet.(*)