Kepsek di Waykanan Raup Ratusan Juta dari Novel Digital

About Author
0 Comments

Siapa nyana hobi menulis yang digandrungi kepala sekolah Winingsih bisa menghasilkan cis. Jumlahnya pun tidak receh. Hingga ratusan juta rupiah. Wiens Prasasti, nama penanya, telah membuktikan itu. Tema cerita yang ditulis pun unik, genre horor!

(Lontar.co): Empat unit misty fan atau kipas uap yang ditebar di aula SMAN 1 Bukit Kemuning seolah tak berdaya menghalau gerahnya siang itu. Biarpun kipas angin jumbo ini sudah sekuat tenaga menghembuskan kabut air halus ke segala penjuru, ratusan perwakilan sekolah dari Lampung Utara dan Way Kanan yang memadati ruangan tetap merasakan gerah.

Maklum saja Kamis (30 Oktober 2025) itu, matahari memang sedang buas memancarkan terik cahayanya. Tak pelak, rasa gerah membekap erat seisi aula.

Biarpun kening mulai berpeluh, perhatian peserta Bimtek literasi Digital tidak terpecah. Antusiasme untuk belajar menulis kiranya menjadi penguat untuk tetap fokus pada materi yang disampaikan.

Hingga kemudian sesi tanya jawab pun tiba. Satu per satu peserta menanyakan berbagai hal seputar dunia tulis menulis. Dan tibalah waktu yang mencengangkan itu.

Winingsih, namanya. Dia kepala SMAN 2 Gunung Labuan, Waykanan. Pembawaan ibu berseragam PNS ini anggun. Tutur katanya mengalir runtun. Dia menyambut gembira bimtek literasi ini. Dia juga sepakat bila pelajar dibekali kemampuan untuk mencurahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.

“Ini waktunya untuk mulai membangkitkan literasi di sekolah. Kita butuh kegiatan yang mampu mendorong terciptanya atmosfir literat di sekolah. Dan, bukan hanya kemampuan serta wawasan yang bisa diperoleh kalau kita menggeluti literasi. Tapi juga bisa dapat cis dari literasi,” ungkap Winingsih di hadapan ratusan peserta bimtek.

Tak pelak, ucapan terakhirnya sontak membetot perhatian. Dapat cis dari literasi? Apa pula itu. Lontar.co kemudian mewawancarai kepala sekolah ramah ini di saat jeda isoma bimtek.  

Hikmah Dibalik Pandemi Covid-19

BACA JUGA  Mencari “Ahmad Lampung” & “Abdul Malik Krui”, Tareqat Qadiriyah Naqsabandiyah & Jaringan Ulama di Lampung

Winingsih pun berkisah. Berlatar belakang sebagai guru Bahasa Indonesia membuat dia tidak berjarak dengan literasi, termasuk tulis-menulis. Seiring waktu kebiasaan menulis berevolusi menjadi hobi. Agar karya tulisnya bisa turut dinikmati orang lain, beberapa di antara ceritanya diposting ke akun Facebook miliknya.

“Sebagai orang berlatar belakang guru Bahasa Indonesia, saya menulis cerita sesuai teori EYD yang baku. Alhamdulillah, pembacanya sedikit,” kata Winingsih seraya tersenyum, saat diwawancarai di salah satu taman di pelataran sekolah.

Ternyata, imbuhnya, karakter pembaca di media sosial tidak menyukai cerita dengan kalimat kaku. Dimana SPOK harus diletakkan presisi di tempatnya masing-masing pada struktur kalimat. Menyadari hal tersebut, WIningsih memilih jalan tengah. Dia mesti kompromi dengan selera pembaca. Menulis dengan langgam bahasa yang lentur. Bahasa yang cenderung akrab dengan keseharian. Meski tetap memerhatikan kaidah bahasa yang baik dan benar, tentunya.

Kiranya pilihan ini berbuah manis. Pembaca mulai menyambangi akun Facebook-nya. Hari demi hari pembaca ceritanya terus bertambah. Bahkan, mereka setia menunggu sambungan cerita yang diketengahkan Winingsih.

Diakuinya, menulis membutuhkan perhatian khusus. Perlu waktu luang yang cukup. “Kebetulan, saat saya mengawali di tahun 2020 itu, masih pandemi Covid. Kita semua lebih banyak di rumah waktu itu, kan. Untuk mengisi waktu luang, saya manfaatkan menulis cerita,” terang Winingsih yang menapaki karir sebagai kepala sekolah sejak 2013.

Sambutan hangat pembaca di Facebook makin memacu adrenalin Winingsih. Selain terus menghasilkan cerita-cerita horor yang mampu membangkitkan rasa takut sekaligus bikin “nyandu” itu, ia juga mulai melebarkan pergaulannya dengan sesama penulis.

Satu persatu grup-grup penulis dan pembaca cerita horor di Facebook dijelajahi. Selain dapat memperluas wawasan dalam dunia kepenulisan, langkah ini juga berdampak menambah pembaca tulisan di akun Facebook-nya.

Disela kesibukannya mendidik, Wiens masih mampu menulis sejumlah novel. (Foto: Lontar)

“Tentu menggembirakan, saat tahu tulisan saya dibaca puluhan ribu pembaca. Itu makin bikin saya semangat menulis. Tapi saya juga harus kuat menjaga disiplin diri. Bagaimana pun saya pendidik. Tugas utama saya di sekolah. Itu jelas prioritas. Tidak bisa ditawar-tawar,” ungkap Winingsih yang kemudian mensiasati waktu menulis menjelang rehat di malam hari.

BACA JUGA  Kemegahan Cerita Serial Harry Potter Lahir dari Keterpurukan J.K. Rowling

Aplikasi Jadi Pundi

Setahun berlalu. Tidak kurang 6 cerita panjang berhasil dituntaskan Winingsih di Facebook. Selama itu pula jumlah penggemar tulisannya terus bertambah. Ya, hanya jumlah pembaca yang diperolehnya. Lain tidak.

Belakangan dia baru tahu, kalau menulis novel digital bisa mendatangkan fulus alias rupiah. Berkat informasi dari kawan-kawan di satu grup Facebook, tahulah dia ada aplikasi Fizzo. Secara sederhana aplikasi ini memuat novel digital karya anggota. Dari sana si penulis akan memperoleh penghasilan. Nilainya variatif. Disesuaikan dengan jumlah pembaca dan ketentuan lain.

Winingsih yang memiliki nama pena Wiens Prasasti merasa tertarik. Lagi pula siapa yang tak mau, tulisannya dibaca orang dan memperoleh penghasilan. Tak perlu menunggu lama, dia segera mendaftar sebagai anggota Fizzo.

Namun ada tantangan baru yang segera dihadapi. Wiens yang terbiasa menulis cerita horor, melihat peluang lain di Fizzo. “Di aplikasi ini saya perhatikan tema yang digandrungi pembaca adalah cerita drama rumah tangga. Akhirnya saya coba untuk menuliskannya,” ungkap Wiens.

Tapi, imbuhnya, bukan berarti cerita horor ditinggalkan. Wiens bahkan sangat berterima kasih pada pembaca setia cerita horornya di Facebook. Ketika tahu Wiens aktif menulis di Fizzo, mereka berbondong-bondong datang untuk membaca ceritanya. Ini jelas sangat membantu karir kepenulisan Wiens di aplikasi tersebut. Sebab sebagai pendatang baru dia sudah langsung memiliki ribuan pembaca.

“Saya justru mengembangkan tema cerita yang digarap. Kalau semula hanya cerita horor, sekarang merambah ke cerita drama rumah tangga, bahkan cerita detektif atau thriller,” katanya.

BACA JUGA  Mencari “Ahmad Lampung” & “Abdul Malik Krui”, Tareqat Qadiriyah Naqsabandiyah & Jaringan Ulama di Lampung

Seiring produktivitas menulis dan suguhan cerita yang menarik, pembaca karya Wiens terus bertambah. Itu berbanding lurus dengan isi pundi penghasilannya. “Gaji” yang diterima dalam bentuk dolar Amerika. Pencairan dapat dilakukan minimal setelah penghasilan mencapai 100 $. Tak pelak pendapatan Wiens dari menulis terus mengalir dari waktu ke waktu.

Tidak berhenti di satu aplikasi. Wiens juga mulai menjajaki keberadaan komunitas menulis lainnya di Facebook. Tiga bulan terakhir dia mulai terlibat aktif di Komunitas Belajar Menulis (KBM). Pada prinsipnya pola di sini nyaris serupa dengan Fizzo, penulis dipersilakan berkarya, semakin banyak pembaca, semakin besar pula penghasilan. Meski tentu tetap ada perbedaan peraturan di antara keduanya.

Tak berlangsung lama, Wiens kembali memetik buah manis. Tulisannya diminati banyak pembaca di KBM. Itu berarti mata air sumber penghasilan baru mulai mengalir. Tak pelak, selama menggeluti dunia penulisan novel digital, Wiens sudah berhasil mengakumulasi penghasilan hingga Rp160 juta.

“Alhamdulillah,” ucapnya. Meski dia bilang ada rekannya di Lampung Tengah yang berhasil meraup penghasilan paling sedikit Rp1 miliar dari menulis.

Ada juga cerita sukses lain di KBM. Seorang tukang ojek berhenti mengojek karena sudah berhasil memperoleh ratusan juta rupiah dari menulis. Lalu istri penjual gorengan, Wiens biasa menyapanya Kak Siti, dalam semalam tulisannya mampu mendatangkan bayaran hingga Rp21 juta.

“Angka 21 juta itu pendapatan Kak Siti dalam semalam, lho. Dia dan suami sekarang sudah berhenti jual gorengan,” ucap Wiens takjub seraya tertawa semringah.

Setelah apa yang dicapainya, kepala sekolah sekaligus penulis yang telah menghasilkan novel-vovel horor best seller seperti “Santet Pring Sedapur” dan “Santet 7 Rusuk” ini, tidak mau cepat berpuas diri.

“Belajar. Terus belajar. Membaca dan terus menulis. Tapi pekerjaan mendidik tetap menjadi yang nomor satu,” pungkas Wiens.(*)

Further reading