mata oeang lampung
Salah satu mata uang darurat yang dikeluarkan oleh Keresidenan Lampung. Foto: ist

Jejak Mata Oeang Lampung

About Author
0 Comments

Lampung pernah memiliki sistem moneter yang mandiri, mapan dan kuat dengan Oeang Republik Indonesia Daerah (Orida) di masa agresi militer Belanda. Mata uang darurat ini, diinsiasi untuk menandingi mata uang Belanda yang membanjir di Lampung,  dan penyelundupan mata uang Jepang dari Jawa ke Lampung. Mata uang darurat ini pula, dibangun untuk mempersiapkan lahirnya mata uang nasional. 

(Lontar.co): Pria brewok berperawakan semampai itu datang dengan mengendap-endap menuju ke bagian bawah sebuah rumah panggung. Di rumah itu, ia terus mengawasi sebuah mesin yang terus diputar untuk mencetak berlembar-lembar kertas sebesar kuitansi yang dominan berwarna merah.

Bersama pria brewok itu, ada pula Abdul Ghani yang bertugas mengoperasikan mesin cetak. Ia bukan hanya memutar engkol mesin agar terus bekerja mencetak lembar-lembar kertas itu, tapi juga mengamati detail tiap lembar kertas yang berhasil dicetak untuk kemudian disimpan di dalam rumah panggung.

Sesekali, pria brewok berkacamata tebal itu, selalu mengamati kondisi sekitar. Ia amat khawatir jika ada mata-mata Belanda yang akan mengetahui keberadaannya di sana.

Sebagai Residen Darurat Lampung, Mr. Gele Harun memang harus menyembunyikan identitasnya rapat-rapat, utamanya dari mata-mata Belanda yang terus mengintai keberadaannya, karenanya ketika mengawasi proses pencetakan uang darurat Lampung itu, Mr. Gele Harun bahkan harus menyamar dengan memasang brewok di wajahnya.

Dalam jurnal penelitian berjudul “Kebijakan Uang Darurat Lampung pada Agresi Militer Belanda II di Lampung Tahun 1949” yang ditulis oleh Muhammad Agung Sujadi, Muhammad Basri dan Suparman Arif dari FKIP Unila itu menyebutkan, kala itu Abdul Ghani yang masih berusia 18 tahun yang kesehariannya bekerja sebagai mekanik radiator memang secara khusus diminta oleh Karesidenan Lampung untuk mencetak uang darurat yang akan diedarkan di sejumlah wilayah di Lampung.

Setelah proses pencetakan uang selesai, tumpukan uang itu kemudian dibawa ke pusat pemerintahan sementara Karesidenan Lampung yang berada di Kotabumi untuk ditandatangani oleh Bupati Lampung Utara, Ahmad Akuan sebagai pengesahan, baru kemudian diedarkan secara luas.

BACA JUGA  Lampung Mencari Nafas Baru, Bertumpu pada Sisa atau Utang

Dalam versi lain, berdasarkan catatan sejarah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Lampung Utara menyebut inisiatif pembuatan uang darurat mulai dilakukan terhitung sejak bulan Maret 1949, setelah dua bulan sebelumnya, sejumlah tokoh pejuang, seperti Danyon Mobil Kapten Nurdin Panji dan Bupati Lampung Utara Ahmad Akuan, diputuskan untuk membuat uang darurat karena rakyat Lampung kala itu kesulitan menentukan alat pembayaran yang dianggap paling sah kala itu.

Apalagi, di masa agresi militer II, militer Belanda terus menekan Keresidenan Lampung dalam banyak hal, tak hanya politik dan militer tapi juga ekonomi.

Pejuang-pejuang Lampung tak tinggal diam, perlawanan melalui jalur diplomasi hingga gerilya terus mereka lakukan. Dari sini, Belanda kemudian mulai kewalahan menghadapi perlawanan militer di Lampung, apalagi menghadapi perang-perang gerilya pejuang Lampung.

Karenanya kemudian, strategi melumpuhkan karesidenan dialihkan dengan melumpuhkan sektor perekonomian masyarakat di Lampung, caranya dengan mengedarkan begitu banyak mata uang Belanda di Lampung

Saat itu, Belanda menyebarkan uangnya secara massal hingga ke berbagai pelosok wilayah Lampung yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong para pejuang.

Strategi mematikan perekonomian ini yang kemudian berhasil mengganggu stabilitas ekonomi khususnya di Lampung, inflasi besar-besaran pun terjadi, semua harga kebutuhan pokok melonjak tajam.

Kondisi inflasi yang luar biasa tinggi makin diperparah dengan masuknya mata uang Jepang yang dalam buku berjudul “Gele Harun Residen Perang Menyelamatkan Kemerdekaan Masa Pemerintahan Darurat” yang ditulis oleh Mulkarnaen Gele Harun, menyebut ada bergoni-goni uang Jepang dikirim dari Jawa ke Lampung, sehingga menimbulkan kekacauan dan kebingungan masyarakat.

Dari sini pulalah, rumusan untuk memiliki uang darurat yang bisa digunakan sebagai alat penukaran yang sah sekaligus alat perjuangan dan menghidupkan kembali perekonomian masyarakat yang kacau akibat inflasi.

Apalagi, perekonomian Lampung kala itu sudah terbilang mapan, banyak hasil-hasil bumi, seperti lada dan kopi sudah amat mampu menopang kesejahteraan masyarakat.

BACA JUGA  Setelah Harga dan Rafaksi, Kini Kadar Aci

Karenanya, agar ekonomi bisa terus berjalan, penerbitan uang darurat menjadi sebuah keniscayaan, tujuan utamanya agar masyarakat tidak kesulitan dalam melakukan transaksi dagang. 

Dalam buku “Untaian Bunga Rampai Perjuangan di Lampung Buku III, uang-uang darurat hasil cetakan Abdul Ghani yang sudah didistribusikan ke Kotabumi untuk ditandatangani oleh Bupati Ahmad Akuan, kemudian diedarkan ke masyarakat, dan diakui sebagai tanda pembayaran yang sah. Uang darurat ini, sempat pula dikenal dengan Uang Akuan, karena di uang tersebut tertera tanda tangan Ahmad Akuan sebagai bupati.

Uang-uang itu yang kemudian digunakan untuk membeli berbagai macam keperluan seperti beras dan bahan makanan lain, prosesnya dilakukan dengan metode barter dengan hasil bumi, uang ini hanya memiliki satu nilai nominal, yakni, dua setengah rupiah.

Peredaran uang darurat ini efektif menekan laju inflasi, mata uang asing milik Belanda dan Jepang, tak laku di masyarakat.

Ketika itu sistem moneter di Lampung sudah benar-benar mapan dan kuat seiring dengan makin tingginya penggunaan uang darurat ini sebagai alat transaksi, meskipun kala itu tak semua daerah di Lampung menggunakan mata uang ini, karena daerah-daerah seperti Tanjungkarang dan Lampung Selatan sudah dalam penguasaan Belanda.

Pemerintah pusat juga merestui keberadaan uang darurat ini sebagai tanda pembayaran yang sah, khususnya di Lampung. Keberadaan uang darurat Lampung ini juga menjadi satu dari sedikit mata uang lokal yang eksistensinya mampu melawan dominasi mata uang Belanda maupun Jepang.

Keberadaan uang darurat Lampung ini pula sejajar dengan mata uang dari daerah lain, seperti Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra (Orips), Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara (Orisu), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Djambi (Oridja), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Aceh (Orida), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanuli (Oridt).

Sebagai salah satu mata uang lokal terkuat di Pulau Sumatra, uang darurat Lampung juga efektif menopang Oeang Repoeblik Indonesia (ORI)–cikal bakal Rupiah,  yang tak bisa diedarkan di Pulau Sumatera, karena terus menerus diblokade oleh Belanda.

BACA JUGA  Belajar Banyak dari Perpustakaan HB Jassin

Dalam hal nilai tukar, mata uang darurat Lampung yang hanya memiliki satu nominal, yakni; dua setengah rupiah jika ditukar dengan Oeang Repoeblik Indonesia, maka nilainya setara dengan 1 sen ORI.

Pada gilirannya, nominal pecahan mata uang darurat Lampung mulai berkembang, tak hanya terbatas pada pecahan dua setengah rupiah saja, tapi mulai bervariasi, mulai dari satu rupiah hingga 10 rupiah.

Makin diterimanya uang darurat Lampung sebagai alat transaksi yang sah, uang darurat ini juga memiliki banyak ciri khas yang menonjolkan kekayaan budaya dan alam Lampung, walaupun proses pencetakannya masih dilakukan dengan digambar terlebih dahulu. Keragaman mata uang khas Lampung ini pula yang semakin melemahkan posisi Belanda di Lampung, yang terus tersisih dan mendapatkan banyak perlawanan-perlawanan dalam skala yang lebih masif oleh rakyat Lampung.

Seiring situasi republik yang makin kondusif, konsolidasi keuangan negara pun mulai dilakukan, tepatnya tanggal 1 Juli 1953.

Di tahun itu, ada dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 

Kemudian, di tahun 1968, Bank Indonesia yang bertindak sebagai bank sentral menggantikan De Javasche Bank memiliki hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 didasarkan pertimbangan antara uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.

Pada masa inilah, uang darurat Lampung perlahan mulai tak lagi digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, sebagai penggantinya, pemerintah menetapkan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Further reading