Horor Krakatau di Gubuk Seng

Saat gelombang tsunami Krakatau sampai di bagian selatan Lampung, Gubuk Seng sudah rata tanah.

(Lontar.co): Permukiman yang luasnya kurang dari satu hektar itu terlihat suram. Nyiur-nyiur kelapa menyentuh ijuk atap rumah kayu di bawahnya. Suasananya gelap, terasa pilu.

Gubuk Seng yang sunyi, dengan penduduk yang jarang dan selalu menghindar jika bertemu orang tak dikenal, masih terlihat sama seperti saat letusan Gunung Krakatau belum melumat tempat ini pada 1883.

Rumah-rumah yang dibuat seadanya dan lebih mirip dengan kandang kambing, dan penduduknya yang diam, seperti masih menyimpan perih letupan dahsyat Gunung Krakatau 1883.

Keberadaannya jauh tenggelam dari hingar-bingar dan kesan modern yang ditunjukkan pada keseharian masyarakat Pulau Sebesi lainnya.

Gubuk Seng adalah titik nol dari dahsyatnya letusan Gunung Krakatau dan monster berupa gelombang laut setinggi puluhan meter. Hanya berjarak kurang dari 8 mil laut, wilayah Gubuk Seng menjadi daerah yang pertama kali dihantam tsunami, setelah gempa tektonik besar selesai.

Ketika bencana itu terjadi, warga Gubuk Seng adalah manusia-manusia yang pertama kali menjadi korban paling awal.

Dari Gubuk Seng, Gunung Anak Krakatau itu terlihat amat jelas sekali, dari kaki hingga puncak gunungnya. Asap letupan gunung yang sesekali membumbung ke angkasa juga kerap sampai ke Gubuk Seng, terbawa angin barat yang kuat.

Jarak Gunung Anak Krakatau dan Gubuk Seng terbilang dekat sekali, aroma menyengat belerang bahkan kerap sayup terbawa angin. Itulah kenapa saat Gunung Krakatau meletus, warga yang tinggal di Gubuk Seng menjadi korban yang pertama atau terdampak utama dilumat oleh gelombang yang terus menyasar hingga ke daratan utama Lampung Selatan.

Hanya dalam hitungan detik, saat Krakatau meletus dan tsunami menyapu dan melumat wilayah ini yang membuatnya sudah rata dan tertutup dengan air laut yang tinggi.

Gubuk Seng adalah kampung kecil yang masuk dalam wilayah Pulau Sebesi yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan.

Kampung yang luasnya kurang dari satu hektar ini nyaris terisolir dan jarang dikunjungi oleh siapa pun termasuk oleh warga Pulau Sebesi. Tak ada yang tahu, dan tak pula ada yang mau tahu tentang perihnya warga yang tinggal di Gubuk Seng, mereka seperti entitas yang terlupakan begitu saja.

BACA JUGA  Komdigi Target 9 Juta Talenta Digital, Tapi Akses Internet Lemot dan Tarif Premium

Sebagai kawasan terkecil setingkat rukun tetangga, Gubuk Seng memang benar-benar terlihat suram, meski udaranya amat sejuk dengan nyiur-nyiur kelapa yang teduh menutup pancaran terik matahari.

Sisa-sisa dahsyatnya letusan Gunung Krakatau juga masih terlihat jelas di tempat ini. Dasar laut yang terangkat hingga ke permukaan akibat dahsyatnya tumbukan lempeng patahan Semangko di zona subduksi Sunda (Sunda Megathrust) masih terlihat, ia seperti prasasti kengerian buat siapapun yang melihatnya.

Munculnya gugusan karang seluas hampir setengah lapangan sepak bola di perairan pantai sekitar Gubuk Seng.

Selain itu, tanah daratan di daerah itu juga terangkat hampir satu meter setelah peristiwa yang ditimbulkan oleh ‘keramat dunia’ itu.

Di pantai yang mengelilingi Gubuk Seng juga masih dijumpai karang-karang laut berukuran raksasa yang ikut terangkat dan terbawa hingga ke pulau saat Krakatau meletus, terselip di rapatnya pepohonan kelapa, sebagai saksi.

Gubuk Seng yang didiami oleh sekitar 20-an kepala keluarga ini memang terlihat tertutup dan minim interaksi dengan dunia luar, bahkan dengan warga lain yang tinggal satu pulau dengan mereka di Pulau Sebesi. Hanya gubuk-gubuk kecil yang saling berjarak dan selalu sunyi setiap hari.

Entitas ini berada tak jauh dari dermaga Pulau Sebesi yang ramai dengan aktivitas warga, hanya saja, keengganan penduduk yang ada di Gubuk Seng untuk berinteraksi dengan kebanyakan warga Pulau Sebesi, membuat mereka terasa seperti tiada.

Di tempat ini, suasananya memang benar-benar berbeda jauh dari kesan kampung, bahkan di siang hari tempat ini nyaris tidak ada satu pun penduduk yang ada.

Rumah-rumah yang berukuran tak lebih dari 5×5 meter itu terlihat sepi hanya terlihat beberapa pemancing yang mondar-mandir mencari spot terbaik untuk memancing.

Sebenarnya, menurut sejumlah sumber, tempat ini awalnya bukan bernama Gubuk Seng, namun karena minimnya literasi pasca ‘punahnya’ mayoritas warga yang tinggal di daerah yang dikenal sebagai Gubuk Seng ini membuat informasi tentang mereka tak diketahui sama sekali, ditambah kesan tertutup yang mereka bangun pasca letusan Krakatau 1883, membuat warga yang tersisa benar-benar menutup diri.

Nama Gubuk Seng, baru dikenal setelah puluhan tahun berikutnya, ketika upaya merehabilitasi Pulau Sebesi dilakukan sebagai pemulihan lanjutan pasca meletusnya Gunung Krakatau di tahun 1927.

BACA JUGA  Ekonomi Me-layu tapi Bisnis Buket Terus Mekar

Waktu itu, permukiman di Gubuk Seng dibangun kembali oleh pemerintah, meski sederhana dan atapnya menggunakan seng.

“Susah kalau mau cari sejarah awalnya, karena sebagian besar penduduk habis saat tsunami, yang selamat hanya sedikit sekali. Soal nama Gubuk Seng itu baru setelah dilakukan rehabilitasi saat Gunung Krakatau meletus kembali tahun 1927, waktu itu rumah-rumah penduduk dibangun dengan atap dari seng,” tutur seorang warga Pulau Sebesi.

Generasi awal Gubuk Seng diperkirakan berasal dari wilayah Banten yang datang dan menempati sisi luar paling barat dari wilayah Pulau Sebesi itu.

Sumber lain menyebut, kedatangan warga ke Gubuk Seng berlangsung pada tahun 1800-an awal.

Jahman, pemukim yang tinggal di dekat Gubung Seng mengakui, warga yang tinggal di Gubuk Seng memang terkesan menutup diri sejak lama.

Fasilitas di sini juga amat minim, jangankan listrik, bahkan urusan perabot rumah tangga sekalipun seperti kompor tidak ada di sini, penduduk memasak dengan kayu-kayu kering atau sabut kelapa, suasananya masih benar-benar alami.

Jahman juga menjelaskan jika pada saat Gunung Krakatau meletus pada 1883, penduduk Gubuk Seng adalah penduduk pertama yang menjadi korban mulai dari hujan abu, asap panas (wedhus gembel), dan rentetan gempa tektonik kuat hingga letusan sampai di gulung gelombang maha dahsyat setinggi puluhan meter.

Penduduk Gubuk Seng banyak yang terbawa gelombang tsunami hingga ke tengah laut dan jasad mereka tidak pernah ditemukan, dan yang tersisa hanya beberapa gelintir manusia saja yang berhasil selamat ketika Krakatau meletus.

Penduduk yang tersisa dan berhasil selamat ini adalah bagian dari generasi kedua yang mencoba membangun kembali Gubuk Seng, namun sebagaimana penduduk sebelumnya, warga yang tinggal di sini juga tetap membangun kesan tertutup.

Mereka lebih memilih melaut dan menjual hasilnya ke tempat pelelangan ikan yang ada di Kalianda, atau yang dikenal dengan Dermaga Bom, saat malam hari, kehidupan di Gubuk Seng memang baru terasa denyutnya, itu pun hanya dari nyala lampu-lampu sentir di luar rumah yang temaram.

Dalam buku Krakatoa yang ditulis Rogier Verbeek, ahli geologi yang mencatat dengan amat detail peristiwa, sekaligus menjadi saksi mata dari letusan dahsyat Gunung Krakatau pada hari Minggu 27 Agustus 1883, yang kemudian oleh BBC London dibuat film semi dokumenter berjudul Krakatoa The Last Day, menyebut Pulau Sebesi sudah berubah menjadi lautan luas akibat di sapu tsunami setinggi 36 meter, hanya beberapa saat setelah Krakatau meletus.

BACA JUGA  Lomba Menulis Pilih yang Realistis

Dalam riwayat dan kepercayaan masyarakat yang ditulis dalam buku Krakatoa buatannya pula, ia menyebut penduduk yang tinggal di sana percaya bahwa Gunung Krakatau adalah penjelmaan dari Roh Pegunungan (spirit of the mountain) yang siap sewaktu-waktu membawa bencana.

Termasuk ketika letusan kedua terjadi pada 1927 yang kemudian menjadi awal kelahiran Gunung Anak Krakatau, Gubuk Seng hanya tersisa dengan amat sedikit penduduk yang kemudian menghindar ke bukit di Pulau Sebesi untuk menyelamatkan diri.

Dalam kepercayaan masyarakat Gubuk Seng pula, Krakatau adalah roh pegunungan raksasa yang jauh sebelumnya pernah membelah Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, yang kemudian membentuk Gunung Krakatau dan kemudian meletus pada 1883.

Hal ini juga terdapat dalam Pustaka Raja Purwa yang ditulis oleh Pujangga Jawa asal Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito tahun 1869 yang menyebut dunia begitu terguncang dengan hebatnya ketika gunung kapi meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam bumi.

Semula, Pustaka Raja Purwa disebut sebagai ramalan Ronggowarsito ketika menulis dengan detail letusan gunung kapi (api) jauh sebelum Gunung Krakatau meletus pada 1883 atau 14 tahun setelah buku itu dibuat.

Apalagi, deskripsi yang ditulis Ronggowarsito itu amat detail dengan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau 1883.”Air laut membanjiri daratan. Negeri di timur Gunung Batuwara hingga Gunung Raja Basa dibanjiri air laut”.

Namun, setelah sejumlah vulkanolog melakukan penelitian lebih dalam, terungkap bahwa jauh sebelum Krakatau meletus pada 1883, gunung ini atau Gunung Krakatau Purba pernah meletus pertama kali di tahun Saka 338 atau tahun 416 penanggalan Masehi.

Keyakinan ini makin menguatkan kepercayaan masyarakat Gubuk Seng tentang roh pegunungan yang melegenda buat mereka.

Kepercayaan ini pula yang membuat warga Gubuk Seng pada akhirnya enggan membuka sejarah kelam yang pernah dialami nenek moyang mereka. Ada rasa trauma sekaligus ngeri jika membuka tabir ingatan yang disebabkan oleh keramat Krakatau itu.(*)

Further reading

  • Tanpa Utang Hidup Kurang Menantang

    BACA JUGA  Komdigi Target 9 Juta Talenta Digital, Tapi Akses Internet Lemot dan Tarif Premium
  • Perahu yang Tak Pulang

    Hidup tak jarang menawarkan cerita nan meliuk-liuk. Tapi cinta sejati tak akan berkurang kadarnya. Kalaupun ada yang berubah, pemiliknya bisa saja berbeda. Raga, lelaki itu, dulu bukan siapa-siapa di laut. Ia seorang pegawai di perusahaan ternama di Bandarlampung. Kariernya ia bangun sejak lulus kuliah. Delapan tahun ia habiskan untuk meniti jenjang, mengabaikan cinta dan percintaan […]
  • gubuk seng

    Horor Krakatau di Gubuk Seng

    Saat gelombang tsunami Krakatau sampai di bagian selatan Lampung, Gubuk Seng sudah rata tanah. (Lontar.co): Permukiman yang luasnya kurang dari satu hektar itu terlihat suram. Nyiur-nyiur kelapa menyentuh ijuk atap rumah kayu di bawahnya. Suasananya gelap, terasa pilu. Gubuk Seng yang sunyi, dengan penduduk yang jarang dan selalu menghindar jika bertemu orang tak dikenal, masih […]