“Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan obyeknya” (Menaklukan Gunung Slamet, Soe Hok Gie, Kompas 14-18 September 1967)
(Lontar.co): Sepanjang 1 Januari 2013 sampai Juni 2025 ada sebanyak 171 pendaki gunung yang meninggal saat mendaki, termasuk Juliana Marins. Itu artinya, gunung memang bukan tempat untuk sekedar fomo, mengikuti tren atau patah hati. Ada bahaya yang terus mengintai sejak pertama kali kaki menapak.
Gunung bukan sekedar untuk mencari ketenangan atau berburu sunset. Ia bukan pula untuk pemula yang hanya butuh pengakuan lewat foto-foto semu di puncak-puncak gunung, tapi tak punya kedalaman makna tentang mendaki itu sendiri. Kebanyakan kita cuma, hanya takut tak ada di kerumuman.
Inilah dampak serius dari mentalitas massa. Kita secara sadar untuk tak sadar hanya bisa menjadi pengikut, tapi tak pernah berpikir untuk apa itu dilakukan.
Sebagai tren, pengikut tak pernah tahu alasan apa dan untuk apa melakukannya. Kehilangan akal hingga jati diri, kemudian mati sia-sia.
Mentalitas massa merujuk pada fenomena psikologis saat individu cenderung mengadopsi perilaku kebanyakan orang lain, meski terkadang tak sesuai dengan keyakinan pribadi sehingga terasa tak rasional, konsep ini kerap disebut oleh kebanyakan orang sebagai fear of missing out (fomo).
Fenomena ini yang kemudian secara tanpa sadar digerakkan oleh alam pikiran untuk kemudian mempengaruhi kehidupan tiap orang yang butuh eksistensi dalam kesehariannya, tapi melepas begitu saja dirinya yang berharga.
..
Dari laman Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Indonesia adalah bagian dari cincin api Pasifik (ring of fire) atau daerah yang menjadi pertemuan lempeng tektonik.
Bentuk ring of fire tak melulu lingkaran, tapi lebih mirip tapal kuda yang mengeliling seluruh wilayah Samudera Pasifik yang membentang sepanjang 40.250 kilometer.
Ada sebanyak 450 gunung berapi aktif di ring of fire, yang terbentuk oleh proses subduksi.
Kawasan ring of fire yang melintasi Indonesia adalah sepanjang 700 kilometer persegi, yang meliputi daerah Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku hingga Nusa Tenggara. Ada 127 gunung berapi aktif di Indonesia.
Gunung-gunung berapi aktif sebagai bagian dari cincin api di Pasifik ini pulalah yang jadi sasaran para pendaki, Gunung Rinjani salah satunya.
Secara kontur, gunung berapi amat berbahaya untuk pendaki pemula termasuk yang profesional sekalipun!
Lereng yang curam, tebing terjal, jalur sempit dan tidak stabil. Sebagai tipikal gunung berapi, kontur medan juga punya kecenderungan labil, berbentuk pasir yang tak padat dan mudah longsor.
Karakter lain dari gunung berapi lainnya punya tebing terjal dengan kemiringan ekstrem, dengan tanjakan yang punya kemiringan medan luar biasa.
Lereng gunung yang tidak stabil sekaligus curam juga amat riskan dengan longsoran material yang tak hanya pasir tapi juga batu-batu besar hingga angin, kabut tebal dan suhu ekstrem, semua-semua ini menjadi kombinasi yang paling mematikan buat para pendaki.
Tapi, berjodohnya uang dan tren memang kerap kali membuat nyawa terasa tak berharga. Informasi-informasi yang cenderung sesat dibuat semanipulatif mungkin kepada mereka yang awam, demi membius nafsu ketakutan akan gejala fomo.
Maka kesemuan-kesemuan akan fomo itu disandingkan dengan gegap gempita, kisah-kisah filosofis akan makna gunung sebagai penemuan identitas kembali.
Dalam persepsi buat yang awam, kemudian gunung menjadi tempat amat ideal sebagai proses pengasingan diri melalui dimensi-dimensi pengembaraan sebagai prosesnya sampai kemudian menjadikan gunung sebagai altar pemujaan narsisme.
Pada abad 18, kelompok muda aristokrat Eropa mengeksplorasi perjalanan yang mereka sebut sebagai Grand Tour dan gunung adalah bagian penting dari proses pencarian intelektual dan terkadang spiritual pula.
Dalam perspektif spiritual, gunung juga menjadi medium yang oleh sebagian orang dirasa bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta,
Adalah Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan dengan ketinggian 2.845 meter di atas permukaan laut, gunung ini disebut sebagai ‘mulut tuhan’ sesuai dengan penamaan gunung itu sendiri dalam bahasa Makassar.
Ia dianggap suci oleh sebagian kelompok, bahkan oleh pengikut ajaran sesat Ana Loloa, Bawakaraeng dianggap sebagai tempat melakukan ritual ibadah haji, sehingga tak perlu ke Mekah lagi.
Sementara Islam, juga mengistimewakan gunung, dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah SWT yang bersifat kauniyah atau tersirat, yang ayat-ayat kauniyahnya itu, sebagian adalah gunung.
Ini juga yang tersurat dalam Surat An-Naba ayat 6-7, tentang penciptaan gunung oleh Allah yang dijadikan dengan amat kokoh.
Demikian dengan Rasulullah SAW, yang proses pengasingan dirinya (uzlah) lebih banyak dilakukan di gunung; Gua Hira di Jabal Nur, adalah tempat dimana Nabi Muhammad menerima wahyu pertama kali, sebagai awal dari misi kenabiannya.
Ada pula Jabal Uhud, Jabal Tsur, hingga Jabal Rahmah yang tak hanya berperan dalam proses kontemplasi hingga persembunyian Rasulullah dari kejaran musuh, tapi juga proses-proses penerimaan wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW.
Jika diurut ke belakang pula, Jabal Rahmah adalah gunung tempat Allah SWT mempertemukan Nabi Adam dan Hawa. Gunung menjadi bagian penting pada jalan-jalan kenabian.
Sementara para biksu Budha dan Taoisme menempatkan gunung sebagai tempat dengan energi spiritual yang penuh.
Dalam perkembangannya, kebanyakan filsuf-filsuf besar, menemukan banyak kebijaksanaan mereka justru hasil dari kontemplasi di pegunungan, Lao Tzu, Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger dan Richard Sylvan adalah sebagian diantaranya.
Lao Tzu bahkan menemukan kenyataan jika alam adalah guru terbesar buat manusia, ‘the journey of thousand miles begins with one step’.
Kita juga mengenal Soe Hok Gie yang menempatkan gunung sebagai bagian penting dari ideologi perlawananannya.
Sebagaimana perubahan yang dinamis, konsep gunung juga mengalami pergeseran dalam banyak hal.
Sampai kemudian kita kembali diingatkan pada tragedi Lawu 1987, 15 santri berikut ustadz Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Surakarta tewas di Gunung Lawu.
Selain jatuh ke jurang, hiportemia menjadi pembunuh paling kejam buat pendaki. Suhu tubuh tak mampu menghadirkan panas dengan cepat, akibat cuaca ekstrem yang membuat suhu tubuh mengalami penurunan drastis yang kemudian berpadu dengan angin dan kondisi fisik yang tak prima membuat proses hipotermina bisa merasuk dengan cepat.
Dalam banyak kasus hiportemia, banyak pendaki yang mengira penderita mengalami kesurupan, apalagi gunung kerap kali dikonotasikan melalui mitos, sebagai tempat hingga istana para jin, akibatnya kerap kali proses penanganan kasus hiportemia jadi tak ideal dan salah.
Kondisi pendaki yang mengalami hiportemia memang punya kecenderungan gejala yang sama dengan kasus kesurupan, yang hilang kesadaran, menggigil hingga bicaranya yang mulai melantur, dalam situasi inilah kebanyakan pendaki mengira korban hiportemia sedang kesurupan, sehingga metode penanganannya jadi makin tak logis.
Sering pula, mereka-mereka yang fomo dan pemula ini menganggap gunung cuma perkara berjalan menanjak, tapi tak punya manajemen yang mapan dalam prosesnya, maka kemudian muncul perilaku yang menyimpang; merasa sok jagoan, merasa bisa lebih cepat, sebagai ciri identik pendaki pemula, yang menganggap mendaki gunung adalah kontestasi menuju puncak yang akhirnya menjadi pemicu masalah. Padahal, ini bukan tentang diksi penaklukan terhadap gunung apalagi buat orang-orang ceroboh.
Gunung itu proses, bukan semula jadi. Ada riset dan latihan panjang untuk bisa membentuknya sampai ke puncak.
Dalam manajemen pendakian, ada teknik-teknik yang detail yang jadi pakem para pendaki. Setiap gerak adalah ritme yang disesuaikan dengan alam itu sendiri.
Di tanjakan Leter E Gunung Rinjani, yang curam dengan kontur pasir yang halus, seorang pendaki profesional punya rumus yang tak tersurat tapi efektif; naik tiga turun satu.
Karenanya, mendaki gunung adalah manajemen yang perlu perhitungan, taruhannya bukan remeh tapi nyawa.
Gunung tak ideal buat orang yang cuma sekedar pergi apalagi patah hati, karena fisik akan sangat mempengaruhi psikologis, demikian juga sebaliknya.
Gunung Merapi, Semeru, Lawu dan Rinjani bukan gunung berapi aktif biasa, yang bisa semaunya saja di daki.
Sudah terlalu banyak daftar panjang peristiwa memilukan buat orang-orang yang ditinggalkan hanya karena kecerobohan.
Sekali lagi, gunung bukan tempat ideal untuk bunuh diri. Karena, gunung dalam kesunyiannya yang megah menyimpan begitu banyak residu ambisi dan batas tipis antara harapan dan kematian.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat…Karena itulah kami naik gunung…(Soe Hok Gie)