buket
Pekerja di salah satu florist sedang mengemas bunga segar. Foto: Meza Swastika

Ekonomi Me-layu tapi Bisnis Buket Terus Mekar

Di tengah ekonomi yang terus mengalami perlambatan, bisnis buket and gift di Bandarlampung justru semarak. Segmennya semua orang, pelakunya mulai dari rumahan sampai yang profesional. Tak butuh skill, cukup belajar dari Youtube.

(Lontar.co): Tangan Vena terus bergerak sesuai dengan instruksi yang keluar dari layar monitor 29 inch di hadapannya. Meski matanya terus menatap konten Youtube itu, tapi tangannya tetap bekerja merangkai tiap tangkai bunga.

Hari itu, mahasiswi komunikasi Unila, tengah banjir pesanan buket tangan (hand bouquet), dan semuanya harus selesai paling tidak siang hari. Dari lima pesanan itu, setidaknya ia bisa mengantongi keuntungan minimal Rp100 ribu.

Padahal, untuk ukuran bisnis, usaha buket yang dijalaninya baru hitungan bulan, tapi memang ia memaksimalkan platform digital seperti Instagram dan TikTok, selain itu, untuk offline, ia mengandalkan jaringan pertemanannya di kampus untuk promosi.

Soal harga, Vena cukup fleksibel, ruang negosiasi ia buka lebar-lebar, apalagi untuk teman sendiri,”kalau harga, saya berani saingan sama yang lain,” ujarnya sembari tertawa.

Apalagi, kata Vena, usahanya masih terbilang baru, sehingga tak mungkin memasang harga terlalu mahal, terlebih modal yang ia keluarkan untuk membuat satu buket bunga hanya butuh sekitar 30 persen dari nilai yang ia jual.

Sekarang pula, ia tak hanya sekedar membuat buket berbahan bunga hidup, tapi juga bunga artifisial hingga snack dan minuman ringan.

Ia pernah mendapat order membuat buket berbahan kopi sachet hingga buket berbahan uang asli untuk kebutuhan lamaran.

Vena mengaku tak punya dasar keahlian untuk merangkai buket, ia justru belajar secara instan melalui konten-konten yang banyak bertaburan di Youtube,”belajar langsung sesuai order, tinggal searching aja di Youtube banyak,” akunya.

Sejak pagi, aktivitas di Jaya Florist yang ada di bilangan Jalan Pagar Alam sudah mulai ramai. Ada tiga pekerja yang sibuk membungkus tangkai-tangkai bunga berbagai jenis sesuai pesanan.

Selain itu, ada satu unit mobil pikap yang sedang terparkir untuk membongkar gelondongan bunga yang masih segar-segar, jenisnya beragam, ada bunga rose, geranium hingga gerbera.

Kebanyakan bunga-bunga segar itu dikirim dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Intensitas pengirimannya cukup tinggi, bisa hingga dua kali dalam sehari. Kuantitasnya juga besar, hingga ratusan ikat bunga dalam sekali kirim.

Tingginya permintaan kiriman bunga itu juga menjadi penanda menggeliatnya bisnis buket bunga tangan di Bandarlampung. Padahal, itu baru mengukur satu distributor.

Segmennya juga merambah kemana-mana, ada pelajar hingga mahasiwa, ada pula karyawan hingga kebutuhan pernikahan, mulai dari untuk lamaran hingga seserahan.

Jaya Florist sebagai salah satu distributor sekaligus pengrajin buket terbesar di Bandarlampung, bisa menyuplai kebutuhan hingga 15 lebih gerai buket di Bandarlampung dalam sehari, jumlah gerai pelanggannya juga terus bertambah, dengan permintaan yang beragam.

BACA JUGA  Persiapan Sebelum Masuk Sekolah

“Banyak gerai yang order di sini, yang langganan saja ada 15 lebih, belum termasuk yang pesannya dua hari sekali juga banyak,” ujar salah seorang pekerja di Jaya Florist.

Bisnis buket juga kini ditekuni oleh banyak orang, mulai dari ibu rumah tangga dengan skala kecil hingga yang profesional seperti Jaya Florist.

Dewi Adha, pemilik Adha Florist yang ada di Sukarame, menyebut, sehari rata-rata pesanan buket yang masuk kepadanya bisa hingga 10 buket, dengan harga yang beragam, mulai dari Rp50 ribu sampai Rp200 ribu.

Permintaan buketnya juga bervariasi, ada yang dari makanan ringan, boneka sampai uang,”tergantung pesanan, biasanya kalau non bunga itu, harganya menyesuaikan dengan buketnya, karena kalau buket bunga harganya sudah pasti, walau tetap ada nego, kalau buket dari boneka, makanan ringan itu dihitung dulu modalnya,” kata Dewi.

Dewi yang awalnya pengusaha kuliner rumahan seketika banting setir saat ‘demam’ buket melanda di Bandarlampung,”penghasilannya lumayan,” ujarnya lagi.

Ia tak melihat musim pada pesanan buket yang ia terima, setiap hari selalu ada, paling sedikit tiga hand buket,”lancar lah setiap hari”.

Itu yang rumahan, yang sudah lebih dulu eksis juga makin berkibar, adalah Tangkai Florist milik Diana, yang sudah menjalankan bisnis ini sejak tahun 2020, berawal dari Bandung kemudian dikembangkan di Bandarlampung.

“Setelah dirumahkan dari hotel tempat saya kerja di Bandung, saya pulang ke Lampung. Bingung mau kerja apa, apalagi waktu itu masih Covid, nggak bisa gerak, apalagi cari uang, akhirnya iseng buka usaha buket, karena dulu di Bandung saya lihat tren buket itu awet,” kata Diana.

Diana memulai dengan keadaan yang serba kurang, dia bahkan tak punya akses ke distributor bunga segar, apalagi waktu itu di Bandarlampung bisnis buket masih terlalu awam buat kebanyakan orang, dan hanya terlihat saat momen lamaran,”waktu itu yang jual bunga segar itu masih sedikit, itu juga harganya mahal”.

Meski berangkat dari keterbatasan, Diana tak menyerah, ia rintis semuanya dengan bahan seadanya, sampai mulai muncul ide membuat buket dari bahan-bahan non bunga, seperti snack, minuman sachet dan pernik lain, bisnis ini juga ia kembangkan dengan membuat parsel saat lebaran.

Berbekal kemahirannya sebagai lulusan perhotelan, Diana berhasil membangun jaringan sampai saat ini. Di Bandarlampung, ia termasuk pemain lama di bisnis buket, namanya juga sudah cukup familiar dikebanyakan orang.

BACA JUGA  Cuap Cuap Cari Cuan

Saat ini juga, ia bekerjasama dengan sejumlah instansi pemerintah dan BUMN hingga perbankan yang selalu memesan kepadanya,”minimal dalam seminggu itu ada 100 pesanan untuk kantor. Kalau ditotal untuk wisuda, seserahan pernikahan itu bisa sampai 400 buket seminggu,” jelasnya.

Pembuatan buket yang semula dikerjakan sendiri, kini dibantu oleh dua orang pekerja yang ia latih sebelumnya.

Diana pula tak merasa tersaingi meski kian banyak pengrajin buket yang bermunculan di Bandarlampung, selain sudah memiliki pelanggan loyal, ia mengakui desain menjadi faktor utama untuk bisnis ini bisa terus berkembang atau bertahan.

“Kuncinya ya di desain, kalau desainnya itu-itu saja, ya yang beli juga bosan, walaupun harganya murah. Harus punya kreativitas untuk terus berinovasi, dan itu dilatih terus,” akunya.

Menurutnya, kebutuhan buket khususnya untuk perbankan dan kantor-kantor instansi seperti BUMN menjadi mutlak,”kebanyakan memang bank yang sudah langganan dengan kita. Bank-bank itu, tiap dua hari sekali, buketnya harus diganti baik jenis dan modelnya biar membangun kesan fresh sehingga customer juga betah”.

Ceruk pasar buket di Bandarlampung memang terus ada, ia tak tergantung momen, karena semua hari adalah momen itu sendiri, khususnya secara personal, makanya pesanan buket selalu lestari sesuai makna dari bunga itu sendiri.

Buket sejatinya tak pernah bisa dipisahkan dari peradaban manusia, ia mengalir seiring kebutuhan manusia itu sendiri. Dari yang semula istimewa sebagai persembahan kepada ratu-ratu dan ritual keagamaan berkembang menjadi sebuah ekspresi seni melalui dimensi yang dinamis yang kompleks dan sarat makna.

Perjalanan panjang buket juga menjadi penanda sebuah evolusi terhadap budaya maupun teknologi melalui sisipan nilai-nilai sosial, tentang kepedulian, penghargaan terhadap momen secara umum atau personal sehingga tetap relevan sampai saat ini.

Buket diperkirakan sudah ada sejak peradaban Mesir kuni pada 4.000 tahun lalu. Bunga lotus dan papirus banyak digunakan untuk ritual keagamaan sekaligus pemakaman.

Suatu ketika di tahun 1922 arkeolog Howard Carter menemukan sebuah mumi Tutankhamun yang di atas petinya terdapat buket bunga lotus dan buah berry.

Kemudian, peradaban Yunani juga memiliki tradisi kepada para dewa maupun pahlawan dengan memberi karangan bunga sebagai apresiasi.

Sedangkan, orang Romawi dalam ritual keagamaannya menempatkan dekorasi bunga yang indah. Dari Romawi pula, buket dibuat seestetik mungkin dengan komposisi yang indah sebagai bagian penting dari perayaan yang khidmat.

Sebenarnya, bangsa Asia khususnya Jepang pada abad ke-6 telah pula mengenal buket melalui seni merangkai dan mengikat bunga yang kemudian dikenal dengan Ikebana, tapi kala itu memang pengaruhnya tak terlalu kuat dibanding dengan pengaruh Eropa, meski proses penemuan kembali buket membutuhkan waktu hingga enam abad setelahnya.

BACA JUGA  Hindari Penangkapan Liar yang Kacau, Herman Bersahabat dengan Penangkar Burung Kicau

Di era medieval pada abad pertengahan, selain sebagai bagian dari simbol salah satu agama, buket juga menjadi instrumen penting dalam upacara pernikahan yang di simbolisasi sebagai perlambang kesuburan sekaligus kemakmuran.

Seni floral di masa kerajaan juga menjadi semacam kontestasi tidak tersurat pada masa itu, para pemenangnya dianggap sebagai rujukan baku dalam aktivitas merangkai bunga melalui teknik-teknik yang rumit tapi menawarkan kebaruan.

Masa golden age buket terjadi di abad ke-19 di era Victorian, kala itu Ratu Victoria adalah simbol dari buket itu sendiri. Dalam setiap kesempatan, buket menjadi benda wajib bagi Ratu Victoria dalam setiap momen kunjungan hingga foto bersama.

Pengaruh Ratu Victoria juga yang kemudian lahir istilah floriografi dengan detail-detailnya yang amat kompleks, bunga kemudian memiliki bahasanya sendiri-sendiri, melalui warna, keharuman hingga bentuknya.

Bunga kala itu menjadi bahasa sendiri, wujud ekspresi yang tak bisa disampaikan dengan kata, tapi ada pesan sekaligus makna dalam tiap bunga yang diberikan.

Transformasi buket terjadi di abad ke-20, pengaruh gerakan Art Nouveau yang lembut membuat buket dibuat dalam desain-desain yang natural dan lebih mudah diterima dengan cepat melalui bentuk asimetris dan garis-garis bunga yang kuat.

Sampai Perang Dunia I dan II terjadi, orang-orang mulai kehilangan sumber daya bunga yang makin terbatas, bunga makin sulit diperoleh. Tapi, kreativitas di tengah keterbatasan sejatinya memang tak pernah mati, gerakan-gerakan seni merangkai bunga kemudian memanfaatkan bunga lokal sekaligus efektif membangun pengaruh gerakan kembali ke alam (back to nature) yang terus berkembang saat ini.

Bunga melalui desain-desainnya yang membangun pesan-pesan perdamaian juga dibuat dalam gerakan Flower Power di tahun 1960-an, dengan desain yang cenderung penuh warna dan ekspresif.

Kini, desain buket berkembang sesuai peradaban, platform media sosial berfungsi mengalirkan ilmu ke semua orang termasuk kepada Vena dan Dewi Adha, yang tak punya keahlian merangkai bunga tapi justru hidup dari bunga itu sendiri, belajar melalui platform atau visual driven platforms adalah tempat mereka menimba ilmu.

Vena bahkan mencari ‘kesegaran’ ilmu melalui kecerdasan buatan dengan prompt spesifik tentang seni merangkai bunga kekinian dengan teknik yang mulai bergerak ke arah rumit untuk mengembangkan keahliannya.

Melalui AI Powered Recomendation, Vena bisa merangkai bunga sesuai dengan tampilan, momen, personal termasuk suasana hati pemesannya,”pake AI ketik prompt sesuai pesanan customer, tampil tuh desainnya termasuk step by step cara buatnya, jadi kebantu banget,” kata Vena santai.

Further reading

  • Merenung Menatap Bakung

    Terbayangkan bila tiba-tiba Walikota Bandarlampung gandrung mempelajari psikologi analitik Carl Gustav Jung. Mungkin dalam upaya memaksimalisasi tugas dan atau sebagai upaya untuk lebih memahami atau menyimak ketidaksadaran kolektif warganya, didorong hasrat menjadikan Bandarlampung kelak benar-benar bisa menjadi Kota Tapis yang sungguh-sungguh Berseri. Maka ia mencoba membaca labirin kompleks psikologi manusia yang sering memainkan peran ganda. […]
  • Harga Diri Wartawan

    “Ayah, Nodi laper,” ucapan anakku itu pelan saja. Mengucapnya pun sambil memainkan robot transformer murahan yang dulu kubelikan di lapak amparan depan sekolahnya. Tapi, kata-kata pelan itu menusuk dalam sekali. Tadi pagi kami sarapan dengan telur dadar, kecap dan nasi putih. Beras tinggal secanting kurang, kutanak dengan rice-cooker. Telur dibagi dua, Nodi dan Tiko lahap […]
  • Protes Proyek Pembangkit Listrik di Pesisir Barat, Guru Madrasah Dijerat UU ITE

    Wawan Hendri tidak nyana kalau tulisan di akun Facebook-nya bakal menyeret dia berurusan dengan polisi. Guru madrasah ini dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Koalisi Tolak Pembungkaman melihat ada kejanggalan dalam perkara tersebut. Mereka meminta kriminalisasi terhadap Wawan dihentikan. (Lontar.co): Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri, selaku perwakilan koalisi, mengatakan pelaporan terhadap Wawan […]