logika mistika

Eka Afriana dalam Teori Logika Mistika Tan Malaka dan Ing Ngarso Sing Tulodo Ki Hajar Dewantara

0 Comments

Eka Afriana dalam Teori Logika Mistika Tan Malaka dan Ing Ngarso Sing Tulodo Ki Hajar Dewantara

0 Comments

Jauh sebelum Eka Afriana mengubah tahun lahirnya demi agar tak kesurupan lagi, Tan Malaka sudah membuat manifesto tentang teori logika mistika yang membuat bangsa ini menjadi bodoh dan mudah terjajah. Secara kontekstual, Eka Afriana telah pula menyinggung Ki Hajar Dewantara melalui konsep Ing Ngarso Sing Tulodo

(Lontar.co):  Di rumah yang berhimpit dengan pabrik sepatu yang kerap kali membawa suara bising, ke jendela dan pintu, sebuah rumah sewaan yang ada di Rawajati Timur, Kalibata, Jakarta Selatan, Iljas Hussein tak pernah acuh. Ia terus mencatat tiap ide yang seperti kilat, menyambar-nyambar otaknya.

Di rumah kecil yang gelap dan temaram, dalam situasi yang setiap hari selalu mencekam, dari rasa lapar dan perlawanan tentara-tentara pendudukan, Iljas sampai pada kesimpulan dalam sembilan bulan perenungannya, bangsa ini benar-benar sulit untuk maju, karena pengaruh cara berpikir yang menganggap segala sesuatu melulu disebabkan oleh pengaruh roh atau hal gaib.

Ia menyebutnya sebagai logika mistika, dianalogikan pula dengan rasa lapar, dibukunya, Madilog (1943).

Di buku itu, Iljas Hussein–satu dari puluhan nama samaran Tan Malaka, menganggap logika mistika sebagai masalah, dan ia menawarkan Madilog sebagai jalan keluarnya, agar logika mistika itu hilang, bangsa harus berpikir dalam pola-pola materialistis, dialektis dan logis.

Hampir seabad kemudian, logika mistika itu justru masih lestari dalam pikiran seorang pemimpin pendidikan Kota Bandarlampung, yang membuat keadaan justru menjadi mundur lagi, setelah susah payah kemerdekaan direbut.

Padahal, Ki Hajar Dewantara sudah mengingatkan lewat Ing Ngarso Sing Tulodo, bahwa pemimpin apalagi pendidik itu berada di depan untuk memberi teladan kepada yang dididiknya, ia harus menjadi contoh, bukan dalam pola pikir yang bodoh tentu.

BACA JUGA  Lampung Mencari Nafas Baru, Bertumpu pada Sisa atau Utang

Dalam konteks mengganti tahun lahir, alasan mistis jelas jadi pembelaan paling absurd, bahkan dalam folklore-folklore tentang semua yang berbau pamali, yang pernah diyakini pada masyarakat lampau.

Mengganti tahun lahir sebagai bagian dari kepercayaan mistis bisa jadi manipulasi pembelaan paling bohong yang tak pernah bisa ditolerir, jangankan oleh logika, bahkan oleh hal-hal yang klenik sekalipun.

Meyakini mistifikasi apalagi untuk sekelas Eka Afriana yang tugasnya menjaga muruah pendidikan dan pendidik, menjadi sebuah kemunduran paling serius yang pernah dirasakan masyarakat Kota Bandarlampung.

Masyarakat Kota Bandarlampung saat ini, bukan sedang dalam fase percaya pembelaan itu, di saat semua manipulasi justru bisa dengan mudah dilakukan, tapi dengan teknologi, bukan hasil kontemplasi ‘orang pintar’, yang kemudian dengan mudah memberi solusi mengganti tahun lahir agar tak lagi kesurupan. Penduduk kota, kini bersikap cenderung apatis, lebih karena jengah, bahwa kota ini hanya dikendalikan oleh segelintir orang yang semaunya saja bertindak atas kepentingan. 

Di Madilog, Tan bukan cuma membuat manifesto pikirannya, tapi ia berusaha membalik keadaan feodal, bahwa sesuatu yang tak rasional itu identik dengan bodoh yang tak semu, gamblang dan begitu dieksploitasi oleh Belanda sebagai momen untuk mempertahankan hegemoni mereka.

Tan menyambung upaya perubahan itu dengan kesamaan nasib, dijajah. Oleh karena itu, cara berpikir harus memakai landasan kenyataan materiil (materialisme) dan semua yang ada di semesta selalu bergerak dinamis (dialektika), kemudian argumen membutuhkan instrumen agar lebih rasional (logika), ketiganya secara konsep diyakini oleh Tan Malaka sebagai alat intelektual untuk lepas dari kebodohan-kebodohan yang identik dengan logika mistik.

Pada kasus Eka Afriana, akan amat sulit meyakini bahwa keputusannya mengubah tahun lahir sebagai proses dari kepercayaan yang ia yakini, karena sebagai orang yang beriman sekaligus berakal, kesurupan bukanlah keadaan yang hadir oleh entitas di luar manusia, ada logika yang jauh lebih masuk akal yang bisa menjelaskan itu, dan bisa lebih diterima, karenanya alasan yang ia sampaikan, lebih cenderung dilihat sebagai dalih.

BACA JUGA  Ayak-ayak, Serenada untuk Bumi dan Tubuh Perempuan

Dari masalah kesurupan yang dialami Eka Afriana, yang kemudian mengganti tahun lahirnya agar tak lagi kesurupan, publik bisa memahami maksud Tan Malaka soal hal-hal yang sebenarnya tak berdasar, dan kemudian harus bersikap kritis terhadap keadaan ini. Karena, sesuatu yang disebut kebenaran, harus bisa diuji dan punya dasar materiil yang kuat.

Dari sini seharusnya, logika bisa jadi alasan bagi semua orang untuk menolak pembelaan ala Eka Afriana itu. Ia memang, orang kuat, tapi logika bisa jadi amunisi untuk melawan pikiran yang cenderung sesat seperti itu.

Dalam sebuah momen kepada putranya, Buya Hamka pernah berujar kepada Irfan Hamka, bahwa jika hendak berbohong, maka ia harus terlebih dahulu punya otak yang pandai, karena ketika ia mempertahankan kebohongan itu sebagai dalil pembenar dari kesalahan (fatal) yang ia buat, ia harus siap untuk tidak lupa, dan menciptakan kebohongan-kebohongan baru untuk menguatkan kebohongan utama yang ia ciptakan. Soal ini, polisi pasti lebih paham, metode penyidikan sampai pada kesimpulan yang mengarah pada tindakan kriminal seseorang, unsur pembangunnya adalah keterangan yang tak konsisten.

Dalam hal konsep Ing Ngarso Sung Tulodo Ki Hajar Dewantara pula, sebagai pemimpin, Eka Afriana bukan hanya harus memberikan teladan yang mendekati sempurna tapi juga bisa menyelaraskan tindakan dan ucapannya, agar bisa dipanut oleh banyak orang, utamanya mereka-mereka yang pendidik.

BACA JUGA  HIV/AIDS Masih Ada di Lampung dan Makin Banyak

Patrap triloka ini lahir melalui perenungan yang dalam dari Ki Hajar Dewantara. Konsep ini lahir setelah ia banyak mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India dan Benggala.

Dalam kacamata Ki Hajar Dewantara, guru bukan hanya sekedar digugu dan ditiru semata, ia harus menjadi representasi panutan yang positif, bukan hanya bagi pelajar, sesama guru, tapi juga lingkungan lain yang lebih luas.

Tapi, secara kontekstual, buat kebanyakan guru di Bandarlampung, masalah Eka Afriana sebenarnya bisa jadi sebuah permakluman, bahwa ternyata tindakan dan ucapannya selama ini memang lebih punya kecenderungan bahwa Eka Afriana sebenarnya tak pernah benar-benar mengalami perubahan pada dirinya, terhitung sejak ia mengganti tahun lahirnya, karena nyatanya kebijakan pendidikan kota di bawah Eka Afriana cenderung tak maju, malah terlihat seperti diam.

Eka dalam pandangan kebanyakan tenaga pendidik di Kota Bandarlampung adalah sosok angker yang tak bisa dibantah apalagi di koreksi meskipun salah. Yang pada akhirnya, kepala-kepala sekolah dan guru-guru di kota adalah sosok yang selalu bekerja dalam lingkaran penuh tekanan, bekerja diterjemahkan oleh mereka adalah tentang membuat senang atasan, bukan dedikasi membangun pendidikan itu sendiri. 

Konsep-konsep kesetaraan pendidikan antara Indonesia dan penjajah, seperti yang diinginkan oleh Ki Hajar Dewantara, punya makna yang lebih luas, guru bukan sedang hidup dalam keadaan terjajah, bukan pula hanya bekerja sebagai pembimbing, dengan model interaksi yang terbatas hanya kepada murid saja, tapi juga harus mampu menjadi katalis, bukan malah bersikap apatis, apalagi ikut-ikutan percaya pada hal-hal mistis.

Further reading