Disrupsi AI, Penolong Sekaligus Menyimpan Bom Waktu

Disrupsi AI, Penolong Sekaligus Menyimpan Bom Waktu

Istilah kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mulai diperkenalkan pertama kali pada sebuah konferensi di Dartmouth. Para peserta konferensi girang sekaligus bimbang. Sebab mereka sendiri belum tahu pasti bakal seperti apa kecanggihan AI yang sedang mereka gadang-gadang saat itu.

(Lontar.co): Berselang 69 tahun kemudian, kita -yang mungkin tidak pernah tahu ada konferensi semacam itu, justru yang menikmati buah pikir mereka. Andai orang-orang yang pernah berkumpul di konferensi tersebut masih berumur panjang, boleh jadi akan tersenyum lepas menyaksikan betapa briliannya gagasan melahirkan AI. Tapi sangat mungkin pula senyum mereka tidak berkembang lama ketika menyadari akan ada banyak anak manusia terancam eksistensinya.

Sebut saja para jurnalis dan penulis, misalnya. Kemunculan fasilitas AI melalui ChatGPT yang bisa diakses secara gratis -selagi masih tersedia koneksi internet- mulai dianggap sebagai ancaman serius. Kendati tidak sedikit kalangan yang mencoba membesarkan hati dengan meminta jangan melihat kehadiran AI sebagai ancaman, apalagi musuh yang layak didoakan agar segera mendapat laknat Tuhan, melainkan melihatnya dari sudut pandang asas manfaat.

BACA JUGA  Maukah Warga Bandarlampung Diajak Pemimpinnya Mengejar Sensasi Spektakuler?

Kehadiran ChatGPT, menurut sebagian orang itu, kegunaannya sungguh luar biasa. Terutama untuk mempermudah urusan manusia.

Nah, tanpa disadari letak persoalannya justru berada pada kalimat “Mempermudah urusan manusia”. Kalau ChatGPT hanya dengan satu paragraf perintah (prompt) sudah mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca seperti tagline majalah Tempo, lantas apa guna membaca deretan buku sepanjang waktu dan susah payah belajar menulis artikel hingga dini hari.

Demikian pula bila ingin menghasilkan sebuah cerpen. Siapa pun Anda cukup menuliskan instruksi berisi keinginan; tema cerpen tentang apa, latar belakang cerita dimana, siapa tokoh utama dan bagaimana garis besar alur cerita, maka jrenggg…!!! cukup disela dengan menyeruput setarikan kopi, karya cerpen langsung tersaji lengkap.

Bukan sekadar cerita pendek. Tapi benar-benar cerita menarik. Baik dari segi rangkaian cerita hingga gaya bahasa penulisan. Rasanya anak muda yang sedang mencari jati diri ingin menjadi penulis dan telah melahap banyak buku sastra akan rentan patah hati setelah menyimak “karya AI” tersebut.

BACA JUGA  Predikat WTP, Memang Masih Relevan? 

Atau bahkan semenjak itu akan merevisi cita-citanya menjadi penulis. Sebab, percuma bila diteruskan. Karena sejak ada chatgpt AI, semenjak itu pula semua orang bisa memiliki cerpen atau bahkan novel “buatan sendiri”. Tentunya hasil campur tangan (dalam porsi besar) kecerdasan buatan.

Demikian pula bila ingin membikin artikel atau bahkan esai. Hanya dalam sekelebatan, rampung sudah. Ada satu pengalaman, seorang rekan jurnalis yang dikenal tidak doyan membaca dan malas membuat berita, kalau pun terpaksa menulis berita hasilnya kacau minta ampun, tetiba memposting esai di website miliknya dengan narasi dan gaya bahasa yang luar biasa menakjubkan.

Sedangkan bagi kawan-kawan lain yang mengetahui kemampuannya, “pencapaian” ini jelas mengejutkan. Bagaimana mungkin dia bisa melakukannya. Mungkinkah dia sudah berlatih keras mengasah kepiawaian menulis secara diam-diam. Atau mungkinkah dia sudah menghamba minta pertolongan pada chatgpt AI?

BACA JUGA  Maukah Warga Bandarlampung Diajak Pemimpinnya Mengejar Sensasi Spektakuler?

Ada keinginan untuk mempercayai hasil karya tersebut sebagai buah manis dari perjuangannya belajar menulis. Tapi entah mengapa tidak sedikit di antara kawan-kawannya yang justru condong menduga itu sebagai “ulah” AI.

Mana yang benar? hanya waktu nanti yang bisa menjawab. Andai benar dia sudah memperalat AI untuk menuliskan esainya, jelas akan menjadi petaka bagi dia seandainya dalam satu keadaan terpaksa mesti membuat tulisan di hadapan orang lain. Dan itu tentu terasa sangat menyiksa.

Lantas apakah sikap rekan-rekannya yang terkesan tidak mempercayai kemampuan dirinya, seratus persen bermuatan kedengkian? atau lebih tepatnya sebentuk gugatan. Semacam serangan balik atas ulah AI yang sudah menihilkan upaya mereka selama ini yang telah tekun membaca dan giat berlatih menulis nyaris sepanjang waktu selama menjadi jurnalis. Di balik kemudahan kiranya ada yang merasa terzalimi. (*)

Further reading