desa

Desa di Lampung Dieksploitasi Banyak Program tapi Warga Desa Tetap Miskin

0 Comments
desa
Smart Village, salah satu program di Lampung yang diduga bermasalah. Foto: ist

Desa di Lampung Dieksploitasi Banyak Program tapi Warga Desa Tetap Miskin

0 Comments

Setiap lima tahun sekali, desa disesaki dengan program-program temporer, bertahan sebentar, kemudian hilang digantikan dengan program lain yang saling tumpang tindih, ujung-ujungnya bermasalah.

(Lontar.co): Debu tebal menyelimuti hampir seluruh permukaan layar monitor komputer yang teronggok di salah satu ruangan balai desa yang ada di salah satu desa di Kecamatan Jatiagung.

Sudah setahun lebih perangkat komputer itu tak digunakan, pamong setempat juga tak tahu perangkat itu masih bisa digunakan atau tidak,”terakhir digunakan bulan Juli 2024, sudah itu nggak pernah dipake lagi,” tutur perangkat desa itu.

Perangkat komputer yang awalnya diberikan saat program Smart Village dihelat pertengahan tahun 2024 lalu itu kini tak ubahnya barang bekas yang bersanding dengan tumpukan berkas-berkas arsip lama milik desa.

“Terakhir cuma dipake untuk update informasi desa di website, tapi karena program smart villagenya nggak ada kabar lagi, akhirnya berhenti total,” ujarnya lagi.

Belakangan diketahui, program Smart Village di era Gubernur Arinal Djunaidi disebut bermasalah, mulai dari penggunaan aplikasi program gratisan hingga indikasi alokasi anggaran yang tak tepat sasaran.

Penelusuran Lontar pula menunjukkan jika kebanyakan website desa yang menjadi fokus utama di program Smart Village berhenti di update pada akhir Juli 2024.

Bahkan, ada beberapa website desa yang tak lagi bisa di akses sama sekali, padahal program Smart Village menyasar untuk 2.640 desa di Lampung.

Waktu itu, anggaran yang dialokasikan untuk program ini, nilainya hingga Rp15 miliar lebih, tapi lebih banyak tersedot untuk pelatihan bimbingan teknis ke calon operator di tiap desa.

D, operator desa yang sempat ikut pelatihan Smart Village, masih ingat ketika ia mengikuti bimtek Smart Village selama tiga hari di Gedung Balai Pemerintahan Desa yang ada di Natar,”bimteknya cuma itu-itu aja, nggak diajarin juga kita sudah paham semua,” ujarnya.

Saat itu, ia juga sempat tak yakin program Smart Village bakal efektif di Lampung, selain masih banyak perangkat desa yang ia anggap ‘gaptek’, kebanyakan desa di Lampung juga masih minim jangkauan internet.

“Waktu bimtek, saya sempat tanya tuh ke pematerinya, soal akses internetnya bagaimana, karena di desa saya saja sinyal handphone aja masih susah, apalagi koneksi internet untuk kebutuhan update data website desa, tapi jawabannya aneh, katanya, soal itu bukan urusan mereka”.

Tak lanjutnya program Smart Village ini pula, yang membuat beberapa perangkat desa akhirnya mengembangkan secara mandiri website desa mereka dengan memanfaatkan program-program pembangun website yang bisa diunduh dengan gratis di banyak sumber. Apalagi untuk memperoleh domain dan hosting desa juga tak sulit sekaligus gratis.

Desa Hanura di Pesawaran misalnya, jauh sebelum program Smart Village digagas, desa transmigran ini bahkan sudah mengembangkan desa digital sejak lama, dalam hal pengurusan layanan secara mandiri hingga update penggunaan dana desa yang transparan.

BACA JUGA  Cerita Pekerja dan Nasabah Bank Plecit hingga Koperasi Keliling

Sepintas, konsep Smart Village yang digagas sejak 2021 ini memang terlihat canggih dan adaptif terhadap perkembangan zaman, dan disebut bakal punya kemampuan untuk menggerakkan kesadaran sosial masyarakat untuk memajukan desa dengan teknologi yang terintegrasi sejak dari desa hingga provinsi.

Caranya, dengan optimalisasi berbagai potensi di tiap desa untuk meningkatkan perekonomian sekaligus kesejahteraan desa.

Tapi, jangankan sejahtera, banyak masyarakat yang tak tahu program Smart Village ini, mereka justru tak tahu untuk apa program ini ada.

Jejalan Program di Desa

Di Lampung, hampir tiap periode peralihan kepemimpinan, program yang menyasar desa, jumlahnya tak kurang-kurang, Smart Village salah satunya.

Sekarang, ada pula Desa Cantik atau Desa Cinta Statistik, kemudian ada pula Desaku Maju seiring peralihan kepemimpinan dari Arinal ke Mirza.

Desaku Maju jadi program unggulan yang diluncurkan sejak 100 hari kerja Mirza setelah dilantik sebagai Gubernur Lampung.

Diluncurkan di Desa Wonomarto, Kotabumi, Lampung Utara, program Desaku Maju adalah bagian dari program besar Hasil Terbaik Cepat (HTC) yang disodorkan Mirza saat pilkada.

Program ini fokus pada peningkatan nilai tambah produk pertanian di desa, yang kemudian mengguyur bantuan untuk tiap desa, mulai dari uang hingga barang.

Target Mirza adalah hilirisasi produk utamanya pertanian sekaligus membangun ekosistem pertanian dengan target maksimal tiga tahun ke depan sektor pertanian sudah terindustrialisasi.

Dengan APBD yang terbatas, Mirza juga mendorong perbankan untuk terlibat dengan menyediakan pinjaman lunak untuk ketersediaan alat dan mesin pertanian.

“Ekonomi Lampung ke depan, bukan desa yang tergantung dengan kota, tapi kota yang tergantung dengan desa,” kata Mirza berambisi.

Tapi, jika merujuk beberapa periode ke belakang, saat Lampung dipimpin Ridho, program sejenis juga sudah mulai digagas, namanya; Gerakan Membangun Desa Sang Bumi Ruwa Jurai (Gerbang Saburai), konsepnya sama, konseptornya juga sama; Bappeda.

Tak ada yang berbeda antara Desaku Maju dan Gerbang Saburai, cuma copy paste program yang sedikit dipoles biar lebih menyesuaikan kebutuhan desa, tapi konsentrasinya sama.

Program Populis tapi Desa Tetap Miskin

Faktanya, meski desa terus dijejali dengan program-program ambisius yang cenderung sama dari periode ke periode, tapi desa tetap saja miskin.

Sejak dari tahun 2015 ketika program Gerbang Saburai dihelat hingga program Desaku Maju diluncurkan, konsentrasi kemiskinan di Lampung masih terpusat di desa.

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung menyebutkan jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 10 persen, hanya turun tipis 0,62 persen dibanding data kemiskinan September 2024.

Data riilnya, menurut Kepala BPS Lampung, Ahmadriswan Nasution, jumlah penduduk miskin di Lampung adalah sebanyak 887, 02 ribu orang.

Dari total jumlah kemiskinan di Lampung itu, desa menjadi daerah penyumbang kemiskinan tertinggi dengan persentase sebanyak 74, 16 persen atau ada sebanyak 657, 85 ribu penduduk miskin berada di desa.

BACA JUGA  Jangan Mati Sekarang; Lahan Pemakaman Sudah Habis!

Selain itu, meski banyak program yang menyasar desa, tapi tetap pula terjadi ketimpangan antara kota dan desa, khususnya pada perbandingan nilai kedalaman kemiskinan antara desa dan kota yang terjadi selisih yang amat tinggi, sebagai perbandingan nilai kedalaman kemiskinan di kota hanya 0,867, sedangkan di desa amat tinggi, hingga 1.893.

Demikian pula indikator keparahan kemiskinan antara desa dan kota juga terjadi gap yang besar, di kota hanya 0,164, sementara di desa hingga 0,439, yang nyaris mendekati tingkat kemiskinan ekstrem.

Kondisi ini menjadi indikator jelas, bahwa banyak program yang dijejalkan ke desa tak berhasil mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat desa.

Merujuk konsep tiap program mulai dari Gerbang Saburai, Smart Village hingga Desaku Maju yang dibuat amat populis dengan misi yang dikesankan mulia, masih jauh dari ambisi Mirza yang ingin membuat kota tergantung pada desa.

Klaim Sepihak

Pada 2016, Pemprov Lampung mengklaim bahwa program Gerbang Saburai efektif menekan jumlah desa tertinggal di Lampung.

Pada tahun 2014, pemprov meng-klaim ada sebanyak 380 desa tertinggal, kemudian tahun 2017, jumlah desa tertinggal hanya tersisa 119 desa.

Metode program Gerbang Saburai hanya dengan menyalurkan dana desa sebesar Rp300 juta ke tiap desa dengan sasaran perbaikan infrastruktur.

Tapi, klaim sepihak Pemprov Lampung sembilan tahun lalu itu, justru dibantah sendiri oleh Wagub Jihan Nurlela yang menyebut masih ada 123 desa tertinggal dan 17 desa sangat tertinggal di Lampung.

Jumlah desa tertinggal yang masih banyak di Lampung ini, bahkan disampaikan Jihan dihadapan Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Daerah Tertentu Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PM), Abdul Haris.

Data ini jelas saling bertentangan dengan klaim sebelumnya yang menyebut jumlah desa tertinggal di Lampung sudah jauh berkurang, tapi sebaliknya malah justru bertambah banyak.

Lucunya, pengelola program sejak dari Gerbang Saburai, Smart Village hingga Desaku Maju adalah satu instansi yang sama selama berpuluh-puluh tahun; Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Transmigrasi Provinsi Lampung, tapi laporannya selalu berubah dan berbeda tiap periodenya.

Jadi Bancakan

Kenyataannya, kebanyakan program-program yang menyasar desa, tak tepat sasaran, ujung-ujungnya hanya jadi bancakan perangkat desa, karena program tak tepat sasaran, dipakai untuk kepentingan pribadi hingga dikorupsi.

Entah sudah berapa banyak perangkat desa yang dibui karena korupsi dana desa, mulai dari yang dikucurkan langsung dari pusat maupun program-program spesifik kewilayahan yang digagas di daerah.

Tahun 2024 lalu, auditor sekaligus founder salah satu media belajar Yudha Pradana pernah secara khusus meneliti tren kasus korupsi pengelolaan keuangan desa di Lampung sepanjang 2017-2022 dengan merujuk pada data hasil putusan tingkat pertama Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.

BACA JUGA  Cerita Bingkai pada Visi Andrew Scott

Hasilnya, tren kasus korupsi pengelolaan keuangan desa di Lampung terus menunjukkan grafik yang menaik.

Ia menelusuri data putusan sepanjang 6 tahun itu, dan didapati, ada 50 perkara korupsi pengelolaan keuangan desa dengan 62 terdakwa yang total jumlah kerugian negaranya mencapai Rp14 miliar lebih.

Dari penelitian ini, kepala desa adalah pesakitan paling banyak melakukan korupsi, selanjutnya, ada pula penjabat kepala desa serta bendahara desa.

Dalam data yang lebih dalam, kasus korupsi pengelolaan dana di desa juga dilakukan secara merata di seluruh wilayah kabupaten di Lampung, dari 13 wilayah setingkat kabupaten yang terbukti menyimpangkan dana desa.

Modusnya juga beragam, tapi yang paling umum adalah mencairkan dana desa di rekening desa kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi. Sangking serakahnya, kepala-kepala desa itu mencairkan seluruh uang dana desa itu hingga tak satu sen pun disisakan untuk kas desa.

Untuk memuluskan aksinya, perangkat-perangkat desa ini pula mengangkat kerabat dan keluarganya dalam struktur inti perangkat yang terkait langsung dengan mobilitas pencairan dana desa, agar proses korupsi lebih mulus dilakukan.

Data jumlah kasus korupsi pengelolaan keuangan desa hasil penelitian Yudha ini bisa jadi akan membengkak lebih besar jika tahun 2023 dan 2024 disertakan.

Program itu Dari Bawah ke Atas, Bukan Sebaliknya

Berkaca dari banyaknya kasus-kasus korupsi pengelolaan keuangan desa, pemerintah di Lampung sebaiknya melakukan evaluasi serius, dengan mulai menerapkan konsep program yang mengakomodir kebutuhan langsung masyarakat di desa melalui program yang muncul dari bawah ke atas bukan justru sebaliknya.

Karena kebanyakan program yang diimplementasikan di desa selama ini lebih banyak berasal dari ego pemimpin saat berjanji di pilkada, sementara manfaatnya tak dirasakan langsung oleh masyarakat di desa, yang pada akhirnya misi kesejahteraan masyarakat desa tak pernah benar-benar berhasil, masyarakat desa alih-alih sejahtera malah makin miskin.

Program-program berbasis desa, seperti; Gerbang Saburai, Smart Village hingga Desa Berjaya adalah gimik-gimik yang dibuat penguasa lokal demi mencari simpati musiman dari masyarakat desa, sementara programnya lebih mengarah ke proyek sentris.

Padahal dulu, Gubernur Lampung semasa Oemarsono, pernah punya program berbasis desa yang sukses luar biasa melalui Desaku Maju Sakai Sambayan (DMSS) yang menelurkan program Industri Tapioka Rakyat (Itara) yang sukses melawan dominasi industri dalam mengatasi tingginya produktivitas singkong rakyat.

Itara pula yang kemudian menempatkan Lampung sebagai produsen singkong terbesar di Indonesia sampai sekarang.

Program strategis ini, dirumuskan Oemarsono dan Kepala Bappeda Harris Hasyim waktu itu dengan menerapkan konsep dari bawah ke atas, bukan sebaliknya sekaligus melihat fenomena yang menggejala di desa.

Tapi sekarang, desa tak ubahnya eksploitasi politik musiman yang kemudian diimplementasikan melalui program yang dipaksakan dan akhirnya jadi bancakan dan bermasalah, dan penduduk desa tetap seperti biasa, masih tetap miskin.

Further reading

  • 60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

    Masih sedikitnya ketersediaan buku yang membicarakan ke-Lampung-an, kini terjawab. Dinas Perpustakaan Lampung meluncurkan buku ini, Menelisik Lampung, berisi karya puisi, cerpen, dan esai (opini). Dikemas apik. (Lontar.co): Bangga jadi ulun Lappung (orang Lampung). Lampung, sebagai etnis, sangat kaya seni budaya. Daerah ini saja memiliki dua jurai bagi etnis Lampung, yakni pepadun dan saibatin — pedalaman […]
  • bahan pangan tersandera mbg

    Bahan Pangan yang Tersandera MBG

    Tingginya permintaan harian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis, memicu naiknya harga bahan pokok di sejumlah pasar. Masyarakat dan pedagang tradisional mengeluh. (Lontar.co): Meski sudah menunggu sejak pagi, Erni hanya mampu membeli sekilo telur dan 5 kilogram beras di pasar murah yang digelar di Kantor Kecamatan Bumi Waras itu. Banyak bahan pokok yang […]
  • Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

    Kurang murah hati apa warga yang telah memilih kembali Eva Dwiana sebagai Walikota Bandarlampung. Kurang legowo apa publik yang tidak menyoal praktik nepotisme dengan mendudukkan kembarannya, Eka Afriana, sebagai kepala Dinas Pendidikan. (Lontar.co): Tapi untuk timbal balik sekadar menjaga perasaan publik pun kok rasanya enggan. Malah melulu retorika yang disodorkan. Apa pernah Walikota Bandarlampung, Eva […]