Niko melepas headphone dari telinganya. Dentuman musik Motley Crue yang menemani selama menyelesaikan berita indepth akhirnya padam. Ia menarik napas panjang, melepaskan kepenatan.
“Kelar,” gumamnya lega. Begitu naskah terkirim ke folder redaksi, Niko mematikan komputer. Di sekelilingnya, beberapa rekan jurnalis masih berkutat dengan berita masing-masing. Di sudut ruangan, tim desain grafis tampak lebih santai, beberapa menyapa dengan senyuman. Niko membalas, sambil menepuk-nepuk punggung kursinya.
“Kelar, Ko?” tanya Yuris dari ujung meja.
“Yoi.” Niko berjalan ke arahnya.
“Jadi riding ke Bandung?” sambung Yudi, sambil menyodorkan majalah Hai yang usang tapi penuh pesona visual khas era 90-an.
Niko menyambar majalah itu, menyunggingkan senyum. Bagi anak-anak desain grafis, majalah cetak semacam ini seperti kitab suci desain yang layak disembah dan dikoleksi.
“Jadi, Bro. Habis pulang rehat bentar, jam 9 malam cabut. Ikut nggak?”
“Gila apa. Jelas enggaklah. Motor gue matic geter. Lo bawa chopper keren. Gue bawa ini? Bisa rontok cover body-nya sampai Cikampek,” tawa Yudi lepas, disambut gelak Yuris.
Obrolan ringan itu pecah menjadi tawa kecil, hingga langkah tergopoh-gopoh Uci memecah kebersamaan mereka.
“Ko… Nina barusan nelepon. Dia sedih. Bokapnya… meninggal,” suara Uci lirih, tertahan duka.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un… Kapan?”
Uci melanjutkan. Ayah Nina memang telah lama sakit. Hari-harinya dihabiskan dalam redup harapan yang pelan-pelan padam. Nina, setiap kali mendapat libur, selalu pulang ke Pringsewu. Hari ini pun ia pulang lebih awal karena beritanya sudah rampung siang tadi.
“Tapi, Ko… aku takut dia nggak kuat bawa motor sendirian. Nggak fokus. Bahaya banget,” lanjut Uci, matanya berkaca.
Yuris dan Yudi bungkam. Menawarkan bantuan jelas sulit. Mereka pun masih tenggelam dalam pekerjaan. Uci? Terlalu pelan, terlalu hati-hati, terlalu rawan untuk dibebani perjalanan jauh.
Sunyi mendadak menjerat ruang redaksi. Masing-masing sibuk dalam pikirannya.
“Biar aku aja,” ucap Niko, seperti halilintar yang membelah awan mendung.
“Tapi, Bro… lo kan mau…” Yuris mencoba protes, tapi urung saat melihat tatapan Niko tegas, tanpa keraguan.
“Ke Bandung bisa kapan saja. Tapi bokap Nina cuma meninggal sekali. Dan hari itu adalah hari ini,”tegas Niko, sebelum beranjak ke parkiran.
“Kabari Nina ya, Ci. Aku jemput dia sekarang.”
Petang tadi, Niko sempat menikmati hamparan sawah hijau yang menyambut di ujung senja. Tapi kini malam telah menelan semuanya. Cahaya bulan menetes lembut, disambut temaram lampu-lampu seadanya di rumah duka.
Rumah orang tua Nina berada di ujung kampung, berbatasan sawah dan sungai kecil yang mengalir pelan, seperti sedang berduka bersama keluarga yang ditinggalkan.
Niko membiarkan Nina larut dalam urusan pemakaman. Ia ikut mengantar ke liang lahat, menyatu dalam prosesi yang sunyi namun menggetarkan. Setelahnya, menjelang azan maghrib, mereka kembali ke rumah.
Tak ingin mengganggu persiapan takziah selepas Isya, Niko memilih duduk di halaman belakang rumah. Di sana, di tepi sungai, suasana menyergapnya dengan kedamaian aneh. Bunyi gemericik air, hembusan angin, dan sunyi yang tidak membuat sepi.
Ia menyulut sebatang rokok. Entah keberapa kali malam itu.
Rencananya, selepas takziah ia akan pulang. Menyusuri jalanan lengang malam hari. Tapi ketika mengenang perjalanan ke sini, ada satu hal yang membekas, pelukan Nina.
Nina adalah perempuan pertama yang ia bonceng di chopper kesayangannya. Tak pernah sebelumnya. Bukan karena dia jomblo. Tapi karena baginya, chopper adalah manifestasi kebebasan dan keteguhan yang tak sembarang bisa dibagi.
Tapi sore tadi, dia melanggarnya sendiri. Karena keadaan. Karena Nina.
Dan ya, ia tak akan lupa bagaimana Nina memeluk erat dari belakang. Menyandarkan kepala di punggungnya. Mencoba menyembunyikan tangis atau sekadar mencari ketenangan.
Pikirannya bersilang. Antara rasa canggung yang sempat ia rasakan, dan kenyamanan yang diam-diam menyelinap di balik jaket kulitnya.
Hari-hari berlalu. Niko membatalkan rencana touring ke Bandung. Cuti yang sudah disetujui pun ia tarik kembali.
Kini ia kembali pada rutinitas. Kembali mengejar narasumber, mengetik berita, menyunting naskah.
Sementara Nina, diberi waktu seminggu untuk berduka. Meski tak masuk kantor, Nina justru lebih sering menghubunginya lewat telepon. Bercerita. Berbagi duka.
“Bapakku itu satu-satunya lelaki yang paling ngerti aku,” ucap Nina suatu malam. “Dia yang pertama bilang aku bisa kerja di luar Pringsewu. Ibu sempat menolak. Tapi Bapak percaya padaku.”
Setiap selesai telepon dengan Nina, entah kenapa Niko selalu teringat kembali perjalanan di atas chopper itu. Wajah Nina, tangisnya yang ditahan, pelukannya yang lembut namun erat.
Aneh. Padahal itu momen duka, tapi bagi Niko, justru menyimpan jejak yang manis. Ia merasa bersalah. Bergembira dalam duka orang lain. Tapi ia tak bisa memungkiri kalau itu kenangan yang hangat.
Sebelum hari-hari itu, hubungan mereka biasa saja. Sebatas rekan kerja. Sesekali nongkrong di kafe, itu pun bersama Yudi, Yuris, dan Uci. Tidak ada yang istimewa. Bahkan, obrolan berdua lebih sering terjadi di ruang redaksi, membahas isi berita.
Namun sekarang, nama Nina selalu datang dengan semacam rasa. Perasaan yang belum sempat ia beri nama.
Suatu malam, Nina kembali menelepon. Di akhir percakapan, ia berkata,
“Besok aku balik ke Bandarlampung…”
Kalimatnya menggantung. Sunyi sejenak.
Tanpa sadar, Niko menjawab cepat, “Tunggu aku. Biar aku jemput.”
Ia sendiri heran, dari mana reaksi itu muncul. Bukankah Nina bisa saja punya rencana lain? Tapi semua keraguan itu lenyap ketika Nina menjawab pelan.
“Bener, nih? Enggak ngerepotin kamu?”
“Nggak. Aman. Aku senang malah,” balasnya, tanpa ragu.
Sejak saat itu, Niko sering terlihat membonceng Nina. Kadang malam minggu, kadang minggu pagi. Touring tipis-tipis. Ke Tubaba, Waykanan, atau sekadar menyusuri pinggiran kota.
Mereka berpacaran? Tidak. Tidak ada kata cinta yang terucap. Tapi siapa pun bisa membaca dari sorot mata, dari perhatian yang tak pernah diminta tapi selalu datang.
Kadang cinta tak perlu dideklarasikan. Ia cukup hadir. Diam-diam. Lalu tinggal. Dan tumbuh.
Seperti pelukan Nina di atas chopper malam itu. Tak bersuara, tapi menggetarkan. (*)







