Masyarakat Pringsewu punya cara tersendiri untuk membangun kebersamaan, bukan dibangun dari tradisi, tapi menjadi sebuah cara untuk tetap guyub di tengah situasi ekonomi yang tak menentu. Tak dijalin untuk riya’ melainkan untuk membantu sesama.
(Lontar.co): Lebih dari 95 persen penduduk di Kabupaten Pringsewu adalah muslim. Besarnya penduduk muslim di Pringsewu ini, yang kemudian dikapitalisasi menjadi sebuah gerakan sosial bersama, bukan lewat program pemerintah, apalagi dapat kucuran anggaran dari Pemkab Pringsewu, tapi hasil urunan bersama, kaya dan miskin menyatu dalam gerakan berbagi tiap Jumat, yang kini menjadi lazim di Pringsewu, di hampir sebagian besar masjidnya, bahkan hingga ke desa paling pelosok sekalipun.
Sebagai ekspresi, konsep berbagi yang dilakukan kebanyakan warga di Pringsewu, melalui medium masjid, menjadi sebuah ekspresi yang diterjemahkan dengan cara paling sederhana, setidaknya membantu meringankan beban, di tengah situasi ekonomi yang terus menghimpit, bungkusnya juga jelas amat positif, spiritual. Ini seperti; sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Konsep ini secara tak langsung, bukan cuma sekedar membangun atmosfer guyub pada lingkup komunitas desa, tapi bahkan menjangkau hingga individu-individu di luar desa, kecamatan maupun Kabupaten Pringsewu itu sendiri.
Ia lazim menjadi gerakan sederhana, yang mampu menggugah semangat kebersamaan.
Lihat saja, setiap Jum’at, sejak pagi, ibu-ibu sudah khusyuk membuat lauk, ada pula yang menanak nasi hingga berdandang-dandang. Mereka bekerja bukan dengan bayaran uang, tapi keikhlasan yang muncul secara sadar, bahwa bantuan tak melulu soal materi, tapi tenaga juga amat berharga.
Kenyataannya memang, berbagi seringkali punya dimensi yang berakar pada prinsip-prinsip etika tentang makna apa yang benar maupun salah dalam sebuah interaksi manusia, sebagai individu maupun kelompok, tapi spirit berbagi yang menggejala di Pringsewu justru amat luar biasa.
Bayangkan, dari sekitar 550 masjid yang ada di Kabupaten Pringsewu, masjid-masjid di hampir setiap desa, punya program sejenis. Ia lebih seperti wabah. Wabah tentang kebersamaan yang begitu positif, seperti konsep semula, ada pula kesederhanaan didalamnya. Ia pula hidup, menjalar, dari satu masjid ke masjid yang lain, terasa lebih semarak dalam kebersamaan.
Dananya dari mana saja, cara menggerakkan semangatnya juga sederhana saja; mangan ora mangan sing penting kumpul. Cara ini diyakini bukan hanya sebagai wujud betapa eratnya tiap hubungan yang hidup dan terus dijalin di tiap desa saja, tapi juga bagaimana prinsip ukhuwah itu memang selalu lestari dari warga desa kebanyakan, yang di kota, kadang kerap kali susah ditemui.
Berbagi, oleh warga, dimaknai sebagai kewajiban moral, sebagaimana etika deontologis yang melihatnya sebagai kewajiban universal seorang manusia kepada manusia lainnya, karena kenyataannya berbagi adalah sebuah sifat baik yang diyakini oleh banyak keyakinan.
Karenanya, pemahaman berbagi melalui gerakan-gerakan seperti Jumat Berkah ini, yang kemudian semarak di Pringsewu, efektif menggerakkan begitu banyak donatur, yang bukan hanya dalam lingkaran desa tapi bahkan hingga penduduk desa yang kini bermukim atau bekerja di luar negeri.
Di Masjid Al Hidayah, Karangkembang, Margakaya misalnya, gerakan berbagi yang diinisiasi langsung oleh warga desa, dengan konsep prasmanan, cara berbagi seperti ini justru menjadi model yang jauh lebih manusiawi, tentang membangun interaksi secara langsung melalui kebersamaan, tanpa berupaya mendefinisikan tiap individu secara personal, dari asal maupun tujuannya, apalagi materinya.
Awalnya, gerakan ini dirumuskan dengan pemikiran sederhana, untuk menggugah agar warga desa di sini, mau shalat Jumat bersama di masjid desa. Belakangan, yang shalat di masjid ini bukan cuma warga desa, tapi banyak pula dari luar desa, bahkan musafir.
Karena jumlah jamaahnya makin tinggi, apalagi di tiap Jum’at, pengelola masjid kemudian rembug dengan desa.
Responnya baik, semua sepakat, bakal urunan, tapi lebih diarahkan sebagai gerakan sedekah untuk meringankan beban sesama.
“Banyak donaturnya, yang berasal dari luar kota dan ada pula yang dari luar negeri, karena kebetulan banyak pula warga desa yang menjadi bekerja di luar negeri,” tutur Edi, salah satu penggagas gerakan Jumat Berkah di Masjid Al Hidayah.
Hakikat manusia secara ontologis pula, memang lebih sejalan dengan perannya sebagai makhluk sosial yang terus terikat satu dengan yang lainnya, sebagai sifat dasar, berbagi menjadi cara manusia untuk berekspresi.
Sebagai nilai pula, berbagi tak hanya bicara soal solidaritas dan keadilan, ia juga menjadi bagian dari kepuasan (batin) yang mungkin tak bisa dinikmati oleh semua orang, tapi berbagi bisa memberi rasa itu.
Bicara soal kepuasan batin pula, Masjid Klangenan jauh lebih hebat lagi, ia bukan cuma sepekan sekali, tapi bahkan setiap hari!
Masjid ini bukan cuma berhasil mengkapitalisasi nilai tapi juga kepuasan secara batiniah dan ini berlaku buat semua orang, tanpa terkecuali.
Dari Pringsewu pula, berbagi tak melulu bicara soal kemampuan materi, bahwa semua yang telah di dalam harus pula ada yang keluar, ia seperti hukum mutlak yang tak tersurat, lagi-lagi kembali pada keberadaan tiap individu sebagai makhluk sosial yang selamanya tak akan pernah bisa luput dari yang lain.
Melihat masjid-masjid di Pringsewu yang hidup dalam kebersamaan tanpa sekat perbedaan, terasa jauh lebih syahdu, ketimbang masjid-masjid beton yang kadang terasa begitu angkuh bahkan terhadap jamaahnya sendiri.







