Masih anak-anak, usianya. Tidak terpengaruh dengan orang lebih tua umurnya. Kolam renang dipilihnya. Di sejuk air itu, ia berenang dan bersenang-senang.
(Lontar.co): Rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta. Tentu besar bagai istana. Di dalam rumah itu ada sebidang kolam renang. Airnya dipastikan jernih. Rumah anggota DPR RI dari Partai Nasdem sudah luluh lantak. Bukan hancur oleh puting beliung. Namun, dirusak para massa. Mengatasnamakan diri rakyat. Unjuk rasa (unras) sekaligus menjarah.
Jangan cepat-cepat menyalahkan rakyat. Bukankah pameo telah mengucap; “suara rakyat adalah suara Tuhan” yang begitu mengental di benak kita? “Suara Tuhan” yang sedang murka.
Ya! Murka. Tentu ada sebabnya, mengapa rakyat bisa segeram itu. Sakit hati yang lama terpendam. Kesenjangan sosial yang amat dalam antara rakyat dengan pemangku jabatan di negeri ini. Kemiskinan hanya milik rakyat, kemewahan dan kesemena-mena hanya bagian para pejabat.
Rasulullah Muhammad SAW, 14 abad silam sudah mengingatkan kita bahwa hukum akan tajam kepada rakyat dan tumpul jika ke atas.
Ini terdapat dalam hadist shahih Imam Muslim, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang membikin umat sebelum kalian binasa adalah ketika yang melakukan pencurian, yang melakukan korupsi adalah orang-orang mulia di kalangan mereka, orang-orang yang tinggi jabatannya, mereka akan membiarkannya. Tetapi ketika yang melakukan pencurian adalah masyarakat biasa maka mereka akan menghukum seberat-beratnya.
Kesenjangan sosial amat dalam ini terlihat dari cara hidup orang-orang kaya, pejabat, juga mereka yang mengatasnamakan mewakili (wakil) rakyat. Istilah kesenjangan sosial ada yang mengkalkulasi begini; rakyat mengenakan jam tangan ratusan ribu, sementara orang kaya gunakan jam seharga jutaan hingga milyaran.
Lalu, penghasilan perbulan saja seperti antara bumi dengan langit. Dan mereka masih belum juga puas – serakah? – minta tunjangan sana sini dari konsekuensi dari jabatan. Tunjangan-tunjangan itu berlipat-lipat besarnya dari gaji pokok.
Hati rakyat mana yang tidak luka? Para pejabat itu –juga wakil rakyat itu– memamerkan hidup glamor di depan rakyat yang kian papa nasibnya. Menjejerkan mobil mewah dan motor berharga mahal serta mengoleksi “mainan” berbandrol puluhan juta di rumahnya, dan sejenisnya.
Luka rakyat diperparah. Selain soal tunjangan rumah wakil rakyat yang minta naik, joget-joget saat paripurna, dan ucapan “setolol dunia”. Maka muntah kemuakan rakyat. Merangsek ke gedung dewan; jalanan pun membara. Pengemudi ojek online jadi korban. Puncak kegeraman massa, menggeruduk rumah politisi dan menteri. Dibabakbeluri rumah-rumah gedong (mewah) itu. Isinya diangkut pulang oleh massa.
Kalau sudah begini, siapa yang bisa disalahkan? Siapa yang ditunjuk sebagai “kambing hitam” atau mana dalang di balik chaos semua ini? Mungkinkan ada aktor di belakang semua ini; memprovokasi, menggerakkan, serta mengarahkan? Ada sekian analisa dari pakar: poitik, sosial, budaya, militer, hingga ekonomi. Suasa pun jadi riuh.
Makin ke sini, imbasnya adalah 2 politisi Nasdem, Sahroni dan Nafa, dicopot dari gedung dewan. Begitu pula Eko Patrio dan Uya Kuya, nasibnya sama dengan kedua rekan politisinya. Rumah dihancurkan, kini karir politiknya padam.
Unjuk rasa semakin meluas. Kota-kota di tanah air layaknya lautan api, yang siap melumat – luluh lantak – segala yang terlihat. Ada yang menyebut, massa turun ke jalan kali ini merupakan “1998 Part Two”. Tapi, semoga saja tak se-chaos seperti di tahun kelam bagi Indonesia itu. Itu jika pemerintahan Prabowo tetap solid, tegas, dan terpenting “buang” yang bakal menghadang dan menghalangi roda pemerintahan. Itu jika dianggap ada.
Mungkinkah tiada orang yang mau memainkan situasi demi prestasi sekelompoknya? Terlalu sering kita baca sejarah dari suatu rezim, di dalamnya ada orang-orang yang diam-diam menjadi sandungan; ingin merobohkan.
Kini, Senin di hari pertama September, unjuk rasa berlansung di Lampung. Yakni di Kota Bandar Lampung. Para pendemo, seperti biasa, berjalan kaki menuju gedung DPRD sekaligus di sini menjadi komplek perkantoran Gubernur Lampung.
Massa seperti membagi diri sebagai spesialisasi. Ada yang turun ke jalan, lainnya menyatroni rumah politisi dan menteri. Ternyata di antara serombongan massa yang menggeruduk rumah gedong, ada seorang bocah. Ia seakan tidak peduli keadaan di dekatnya; orang-orang yang menjarah barang-barang mahal. Bocah ini secepatnya buka pakaian lalu cemplung ke kolam renang!
Berenang di kolam dalam rumah mewah, mungkin ini yang pertama baginya. Selama ini boleh jadi biasa berenang di sungai berair keruh atau di kubangan dekat sawah. Kali ini, waw, rumah mewah. Milik anggota DPR RI.
Barangkali, sang bocah membayangkan sebagai anak politisi, hidup dengan segala fasilitas yang sudah tersedia. Dia melompat lalu berenang dan kembali ke tepi. Naik dan loncat lagi. Riang alang kepalang.
Bocah yang berenang di rumah politisi dan anggota dewan itu, merupakan gambaran bahwa sejujurnya ada yang tersumbat dalam diri anak bangsa; menemukan surga di hari-harinya yang neraka sangatlah mustahil.
Tetapi saat “kemustahilan” itu ada dan sudah di depan mata, maka ia nikmati sepuas-sepuasnya. Seperti merasa eeok bukan lagi miliknya. Lalu, ada “dendam” untuk menguasai fasilitas yang sudah tersedia. Ingin beriang-riang di sana. Karena duka bertahun-tahun dirasa. Karena kepapaan yang ditanggungnya. Di dekat pelupuk mata kemewahan menari-nari.
Lupa penderitaan yang dikeloni selama ini. Sebuah kolam mewah menjadi mainan, meski hanya beberapa saat. Setidaknya ia bisa merekam kenangan ini, merasakan “menjadi” orang gedongan. Tidak lagi sedang berkhayal atau bermimpi menjadi anak dari keluarga kaya.
Buktinya, bocah itu tengah berenang; mungkin angannya mengembara ke negeri-negeri salju sana. Rumah gedek, lantai tanah, amben kayu –mungkin yang dia nikmati sebelumnya, saat itu luntur semua. Bagai rol film yang penuh rintik. Karena rusak.(*)