Ayak-ayak, Serenada untuk Bumi dan Tubuh Perempuan

0 Comments

Dian Arza Arts Laboratory (DAAL) mementaskan Ayak-Ayak : Kisah Perempuan Penderes Damar di International Folklore Fiesta 2025 di Kota Lama Semarang. Dipersembahkan untuk perempuan-perempuan penderes damar yang tangguh sebagai penjaga hutan adat.

(Lontar.co): Gerak tangan yang gemulai dan langkah kaki yang selalu dalam kungkungan wadah yang menyerupai tembilung, seperti ingin berkisah tentang perempuan-perempuan penakik damar yang tangguh, tapi juga tetap memahami bahwa sekuat apapun mereka mengarungi hidup untuk diri dan keluarganya, bahwa sejatinya mereka masih menghormati norma gender mereka sebagai perempuan dalam balutan tradisi yang kuat.

Sekilas, karya Ayak-Ayak terasa jauh lebih magis kadang pula terdengar begitu murung yang amat, pencahayaan yang suram cenderung gelap, dengan balutan komposisi musik yang sesaat rendah tapi seketika riuh, kemudian tertahan diam dengan koor tanpa ekspresi dari lima penari; ayak-ayak…jejama…ayak-ayak…

Suara itu, seperti suara perempuan yang lebih banyak terdengar kecil dan tak terdengarkan oleh siapapun kecuali tenaga mereka selama ini. Bahkan, meski dengan suara yang lirih itu, mereka tetap bekerja dengan segenap jiwa sebagai pengabdian.

Itu, Ayak-Ayak dan Perempuan Pahmungan (Desember 2017, Bandung) karya Dian Anggraini yang amat eksotis meski disajikan dalam suasana yang temaram bahkan lebih cenderung muram, Dian seperti ingin menghadirkan suasana repong yang rimbun dengan pepohonan damar yang teduh, hampir gelap, sebagai warisan lampau yang terus bertahan dan kokoh sebagai warisan.

Sebagai koreografer Dian Anggraini begitu meluapkan rasanya yang besar pada perempuan penakik damar yang ia sebut sebagai penderes itu, setidaknya ada satu lagi karyanya yang masih senapas dengan Ayak-Ayak, Nyukut ‘Perempuan di Repong Damar’, nuansanya lebih mampu ia hadirkan begitu kuat.

Ia sampaikan semua cerita kekagumannya tentang semangat perempuan-perempuan pejuang ini. Ia seperti tak pernah kehabisan ide gerak pada cerita ini.

BACA JUGA  Ketika Kadiskominfotik Ganjar Peroleh Ganjaran  

Pada, Nyukut ‘Perempuan di Repong Damar’, Dian bahkan mementaskan langsung di hutan damar yang teduh dan damai di Pekon Pahmungan, seperti wajah-wajah perempuan penakik damar itu sendiri, terasa begitu natural, lebih hidup melalui ruh-ruh pohon yang merasuki tiap gerak, repong menjadi panggung bisu untuk membangun kesan energik dari tiap penari yang hidup.

Alit yang meliuk kaku itu terasa lebih gemulai membelit tubuh lima perempuan yang menceritakan perjuangan panjang tentang hidup dan merawat tradisi yang amat jauh melalui gerak dalam diam yang ingin menceritakan segala sesuatu secara paripurna.

Tubuh kelimanya seperti ingin bercerita tentang detail tiap butir peluh para perempuan-perempuan penakik getah damar.

Suara rampak dengan ritme yang selalu seragam mengiring tiap langkah pelan namun dengan jejak yang dalam, yang selalu dalam keadaan diam.

Dian bercerita detail yang tajam. Tentang bagaimana penari-penari itu menggambar kisah yang pedih dalam ujung jemari hingga gerak liuk kaki yang keras.

Dian juga ingin menyampaikan pesan bahwa perempuan bukan hanya sebagai entitas yang berkutat dalam ruang yang terbatas pada lingkup terkecil sebuah keluarga, tapi ia juga bisa menjelma menjadi nyawa yang menyuapi setiap nyawa dari keluarganya justru dari ruh masa lampau yang terus mereka rawat dengan lestari; repong damar.

Ketika atmosfer International Folklore Fiesta 2025, Dian kemudian seperti menemukan momentumnya.

Ia ingin lebih banyak berkisah tentang perempuan-perempuan ini kepada lebih banyak orang, dalam jangkauan yang lebih luas, bahwa ada dan masih ada perempuan-perempuan penjaga tradisi, sekaligus hutan itu sendiri, yang bertahan dan merawat dengan sekuat tenaga mereka untuk terus ada, untuk hidup dan bertahan, yang seperti menciptakan serenada untuk bumi dalam tubuh perempuan itu sendiri, yang kadang dalam posisi lemah tapi seketika bisa jauh lebih kuat dan lebih tangguh daripada lelaki.

BACA JUGA  Merekonstruksi Ulang Visualisasi Raden Intan II

Perempuan dan Damar

damar
Perempuan pengunduh getah damar di Pahmungan. Foto: ist

Menapaki pohon damar yang menjulang bukanlah perkara yang mudah, bahkan untuk seorang lelaki pun. Tapi, dalam kebutuhan yang terdesak, perempuan yang amat mulia dalam tradisi, bisa menjadi amat tegas dalam mencari nafkah, yang kenyataannya tak pernah sekalipun bisa mereka pilih.

Mereka tak peduli bahkan harus menggantung nyawa pada alit yang membelit, dan pijakan kaki yang menumpu pada lubang-lubang takik pohon damar sekepalan tangan, ini cerita tentang hidup, pada perkembangan tradisi yang lebih luas.

Perempuan di Pahmungan, sebuah desa kecil yang menempel pada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di ujung barat daya Sumatera, telah menjadikan damar sebagai sebagai sumber penghasilan utama selama lebih dari satu abad, dan perempuan ada di dalamnya, sebagai pemegang peranan penting dari tiap proses panjang sebuah getah damar.

Dalam aktivitasnya yang meritme dalam jejak tradisi, perempuan-perempuan di Pahmungan menanggalkan hampir seluruh statusnya dalam perspektif gender; keluar masuk hutan, menerobos deras arus sungai untuk menuju pada titik sumber penghidupan yang mereka gantung melebihi tinggi dari pohon damar itu sendiri.

Damar adalah tradisi yang terus dijaga oleh adat itu sendiri, momentumnya kerap kali diistimewakan dalam perayaan yang meriah; ngunduh damar.

Ngunduh Damar dirayakan sebagai bagian dari epos para pendahulu, yang menantang nyawa membuka hutan untuk mewarisi repong damar yang bahkan mereka sendiri tak tahu siapa yang akan menakiknya puluhan tahun kemudian.

Dalam perkembangan kaum perempuan sebagai penakik damar, sebenarnya sudah berlangsung hingga beberapa dekade ke belakang, bukan hendak melawan takdir, tapi kebutuhan jauh lebih mendesak dari sekedar status.

BACA JUGA  Gen Z dan Puisi Pencarian Diri

Mereka awalnya rantai kedua dalam distribusi damar sejak dipanen dari batang-batang damar yang menjulang, membawa berkilo-kilo getah damar dengan bebalang yang berat di punggung menerobos hutan yang rapat.

Sampai pada gilirannya, mereka menjelma menjadi sosok tangguh seperti yang digambarkan dengan amat dalam kreasi koreografi Dian Anggraini yang indah pada Ayak-Ayak.

Seperti perempuan-perempuan itu, hampir seluruh masyarakat hidup dan bergantung pada repong-repong damar sebagai sumber penghasilan utama mereka meski dalam bayangan ekonomi yang tidak selalu berpihak pada mereka.

Dan, tanpa hak lahan yang cukup, masyarakat memang tidak terlalu memiliki daya tawar dalam menentukan harga getah damar dan menjaganya dari fluktuasi.

Pergeseran ini memang terasa menyakitkan di balik beratnya perjuangan kaum perempuan penakik damar, karenanya amat mungkin Dian Anggraini tergugah, mengguratkan perjuangan ini dalam epik Ayak-Ayak, bahkan Nyukut ‘Perempuan di Repong Damar’, sisi menyedihkan yang digambarkan pada dramaturginya yang dianalisa amat rinci, terasa begitu menyentuh amat dalam.

Kerja keras Dian memang berhasil menyajikan heroisme perempuan penderes damar yang bekerja dalam sunyi itu.

Perjuangan mereka memang kecil, tapi dari tangan, kaki sekaligus keringat mereka ada kehidupan sekaligus tradisi yang terus mereka pertahankan sampai saat ini.

Damar adalah serenada sunyi yang terus saja memanggil-manggil para perempuan pejuang ini agar segera bekerja untuk menyambung nyawa-nyawa.

Mereka memang tidak tertoreh dalam tiap batang-batang damar itu, tapi tradisi yang terus menghidupi mereka dengan amat lestari.

kaku kaku tubuh
tubuh kaku kaku
kaku tubuh kaku

jiwa cahaya
memanjat semangat
menuai senyum
memikul bahagia

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]