angka kemiskinan
Seorang anak terlihat duduk di salah satu pemukiman kumuh di Bandarlampung. Foto: Meza Swastika

Aspek Kemiskinan yang Luput dari Pendataan BPS

0 Comments

Sikap konservatif Badan Pusat Statistik (BPS) dalam hal pendataan angka kemiskinan yang merujuk hanya pada pendapatan semata, membuat masih banyak aspek kemiskinan yang sebenarnya luput dari pendataan.

(Lontar.co): Panas siang hari yang menyengat, membuat komplek kumuh di di pemukiman yang saling bertumpuk dan berhimpit di Kelurahan Pasir Gintung itu, terasa begitu pengap. Tak ada udara, semua tertutup, nyaris gelap.

Di sepetak rumah dengan dinding-dinding papan yang mulai rapuh, Samsiah kepayahan mengupas kulit telur puyuh.

Sesekali ia harus mengubah posisi duduknya, karena kakinya yang lumpuh, membuatnya tak bisa terlalu lama duduk, punggungnya juga harus selalu dalam posisi bersandar agar nyeri pinggangnya tak membuatnya terlalu sakit.

Menjadi pengupas kulit telur puyuh dengan upah Rp15 ribu adalah rutinitas hariannya kini. Hasilnya, bukan cuma dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi juga untuk biaya berobatnya yang rutin dilakukan tiap minggu.

Selama ini, ia tak pernah merasakan bantuan dari pemerintah, pun dengan pelayanan kesehatan yang ia jalani selama ini, hanya sebatas pada puskesmas.

Sejak KTP Samsiah hilang pasca Covid-19 tahun 2020 lalu, ia tak bisa mendapat bantuan apapun, semua tergantung dengan identitas kependudukan. Ketua RT tempatnya tinggal sempat ingin membantu, tapi karena proses administrasi yang berbelit dan mewajibkan Samsiah datang ke kantor pelayanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan kondisi kesehatan yang tak memungkinkan, membuat kondisinya seperti terabaikan, beruntung ia punya banyak tetangga yang baik.

Sudah empat hari ini, Solikin tak melaut bersama tekongnya. Sepanjang hari, waktunya, kadang ia habiskan untuk memperbaiki jala ikan agar siap pakai ketika angin Monsun Timur berlalu.

Angin Monsun Timur yang fluktuatif sepanjang Juni hingga September ini, memang membuat kebanyakan nelayan di Teluk Lampung seperti Solikin kerap kali risau.

Di pesisir ombak yang sampai ke pantai memang terlihat hanya datar, namun dua mil selepas Teluk Lampung, lambung kapal milik tekongnya bisa terombang-ambing dan dibuat tak berdaya oleh ombak besar yang datangnya tiba-tiba, kapalnya bisa terseret jauh, ikan juga sulit di dapat.

Untuk menutupi kebutuhan harian, sesekali ia ikut membantu menambal lunas kapal milik tetangganya, upahnya jelas kurang dari cukup untuk menghidupi anak dan istrinya.

Demikian pula saat melaut, hasilnya amat tergantung dengan tangkapan yang tak pernah stabil, dan harus dibagi dengan tujuh orang pula.

Rata-rata tiap melaut paling banyak ia bisa membawa upah Rp100 ribu, tapi seringnya hanya Rp80 ribu, padahal kapalnya selalu berangkat mencari ikan sejak hari masih pagi benar.

Tapi, untuk kebanyakan nelayan seperti Solikin, hasil laut memang sudah lebih berkurang saat ini dibanding beberapa tahun lalu.

BACA JUGA  ‘Tetap Jadi Onghokham’, Sejarawan yang Ditulis oleh Sejarahnya Sendiri

Husnuri sedang pusing luar biasa. Sehektar kebun singkong milik warga Natar ini seketika terlihat seperti tanaman tak berguna buatnya dan keluarga.

Pasca aksi demo Mei 2025 lalu, harapannya terhadap harga singkong bakal membaik justru makin tak karuan. Pun ketika surat edaran Menteri Pertanian perihal penetapan harga singkong terbit pada 9 September 2025 lalu, tak juga diindahkan oleh industri.

Hampir 30 ton ubi kayunya sebenarnya sudah siap panen, tapi Husnuri memilih menunggu tanpa kepastian.

Ia juga tak punya uang untuk upah panen apalagi ongkos angkut, mengandalkan hasil jual ke pabrik dengan harga singkong yang hanya Rp1.100 per kilo dan potongan hampir 50 persen jelas merugikan buatnya.

Sementara, kebutuhan keluarganya juga terus mendesaknya. Anaknya yang baru masuk kuliah juga sudah menuntut biaya.

Aspek Kemiskinan yang Luput

Bisa jadi Samsiah, Solikin dan Husnuri tak masuk dalam statistika BPS Lampung perihal jumlah penduduk miskin yang pada Maret 2025 lalu disebut oleh BPS Lampung mengalami penurunan hingga 10 persen.

Sebagai lansia, Samsiah dianggap menjadi tanggungan keluarganya, padahal selepas suaminya meninggal akibat Covid-19 tahun 2020 lalu, praktis ia harus menghidupi dirinya sendiri di tengah penyakit yang ia alami.

Ia tak punya keturunan, kerabatnya pun berada jauh di Tanggamus, kondisi mereka pun sama susahnya seperti Samsiah, sehingga amat mustahil untuk membantunya.

Demikian halnya dengan Solikin, ia amat mungkin luput dari pendataan BPS Lampung, karena ia digeneralisir sebagai penduduk berpenghasilan dengan status profesi sebagai nelayan.

Padahal, dengan penghasilan yang kurang dari Rp100 ribu sehari, itupun jika melaut, ia masih kerepotan memenuhi kebutuhan rumah tangganya, tiga anaknya juga membutuhkan biaya sekolah setiap hari.

Tapi, oleh BPS, Solikin masih masuk dalam kategori berpenghasilan sehingga dianggap mampu, meski kenyataan sesungguhnya tak seperti itu.

Apalagi Husnuri. Ia jelas terdata sebagai penduduk yang jauh dari standar garis kemiskinan oleh BPS. Sehektar kebun singkong menjadi indikator bahwa Husnuri adalah warga mampu, meski BPS sebenarnya tahu sengkarut masalah harga singkong di Lampung yang tak kunjung terurai.

Enam bulan lalu, atau Maret 2025, BPS Lampung merilis jumlah penduduk miskin di Lampung yang disebut mengalami penurunan hingga 0,62 persen dibanding enam bulan sebelumnya, September 2024.

Jumlah penduduk miskin dalam pendataan BPS itu disebut menurun sebanyak 52,28 ribu orang dalam enam bulan terakhir.

Kepala BPS Provinsi Lampung, Ahmadriswan Nasution menyampaikan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 tercatat sebanyak 887,02 ribu orang.

Angka ini turun dari 939,30 ribu orang pada September 2024 dan 941,23 ribu orang pada Maret 2024.

BACA JUGA  Antara Film dan Pilem, Ada Merah Putih One for All

“Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin ini menunjukkan adanya perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan,” ujar Ahmadriswan dalam konferensi pers rilis resmi BPS, pada Jum’at (25/7/2025) lalu.

Di tengah lesunya perekonomian, utamanya di sektor menengah hingga ke bawah, data yang disajikan BPS Lampung itu jelas tak mencerminkan keadaan sesungguhnya.

Karena faktanya, metode survei angka kemiskinan yang masih dilakukan BPS selama ini masih menggunakan teknik cross sectional, yaitu teknik pengumpulan data pada satu titik waktu tertentu, yang kenyataan sesungguhnya metode ini tidak mampu mendeteksi penduduk miskin transient.

Sebab, teknik cross sectional tak secara detail menyajikan data sesungguhnya pengeluaran dan pendapatan penduduk berdasarkan nama (by name) maupun alamat (by addres) serta tak mampu melihat pergerakan kondisi ekonomi penduduk secara dinamis dari waktu ke waktu.

Pada klaim sepihak itu, BPS Lampung bahkan menganggap penurunan angka kemiskinan ini sebagai pencapaian luar biasa dari implementasi kebijakan pro rakyat di pemerintahan baru mulai dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten/kota.

Kemiskinan Transient

Dalam konteks kemiskinan yang lebih luas, BPS Lampung maupun BPS pusat tak melihat pola kemiskinan yang lebih lebar. Dalam kasus Samsiah, Solikin maupun Husnuri, yang luput dari upaya pengentasan kemiskinan dari pemerintah selama ini, karena ketiga warga Lampung ini terjepit dalam garis batas kemiskinan, sehingga membuat keadaan mereka akhirnya hidup tanpa perhatian dari pemerintah.

Samsiah maupun Solikin hidup dalam kondisi yang serba rentan. Suatu saat berada di ujung garis kemiskinan tapi di waktu lainnya berada di bawah garis kemiskinan.

Dalam keadaan ini, keduanya masuk dalam kelompok kemiskinan transient yang selalu berjuang mempertahankan hidupnya sendiri maupun keluarganya, meski harus luput dari perhatian pemerintah.

Demikian halnya dengan Husnuri, meski ia memiliki lahan perkebunan yang luas, tapi harga komoditas budidayanya yang tak berpihak jelas menyudutkan perekonomian keluarganya.

Secara sederhana, kemiskinan transient bisa diartikan sebagai mereka yang teridentifikasi berada di bawah garis kemiskinan, tetapi pada periode survei berikutnya berada sedikit di atas garis kemiskinan dan berpeluang kembali berada di bawah garis kemiskinan pada periode survei berikutnya.

Penduduk miskin transient juga mencakup orang-orang yang tidak masuk kategori miskin seperti Husnuri. Mereka berada sedikit di atas garis kemiskinan, tetapi pernah mengalami pergerakan ke bawah garis kemiskinan walaupun bisa merangkak naik lagi ke atas garis kemiskinan pada periode survei berikutnya.

Posisi penduduk miskin transient sangat labil. Solikin misalnya, sebagai nelayan ia kerap tak masuk dalam kategori penduduk miskin dan dikeluarkan dari skema kebijakan pemberian bantuan miskin, karena posisinya yang hanya sedikit berada di atas garis kemiskinan, padahal keadaannya sangat rentan dan amat mudah jatuh kembali ke bawah garis kemiskinan, utamanya karena faktor cuaca yang membuat Solikin tak bisa melaut atau bisa pula karena hasil tangkapan yang selalu tak menentu.

BACA JUGA  Betapa (Tak) Efektifnya Reses Anggota DPR Selama ini

Penduduk miskin transient seperti Samsiah juga terabaikan karena data tentang mereka tidak tersedia.

Terlebih dengan Husnuri. Pada satu waktu tertentu atau beberapa tahun ke belakang, bisa jadi ia masuk dalam golongan menengah yang mampu secara ekonomi, tapi kemudian terjebak dalam jurang kemiskinan karena pemerintah tak mampu mengangkat kesejahteraan petani melalui kepastian harga komoditas singkong yang adil.

Masalahnya, sebagai komoditas budidaya terbesar di Indonesia, singkong menjadi mata pencaharian sekaligus kehidupan bagi lebih dari 1 juta penduduk Lampung, maka dalam fase ini, ketika harga singkong jauh dari harapan petani, potensi angka kemiskinan di Lampung seharusnya bertambah, bukannya malah mengalami penurunan, karena ada lebih dari 1 juta penduduk di Lampung yang hidup dari komoditas singkong yang akhirnya mengalami kemiskinan secara struktural karena pemerintah gagal memberi jaminan kepastian harga singkong yang adil buat petani.

Dilaporkan ke PBB

Sebagai data statistik resmi yang juga menunjang data utama statistik kemiskinan secara nasional inilah yang kemudian dirasa janggal oleh lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) dan kemudian melaporkannya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Masalahnya, rilis angka pertumbuhan ekonomi BPS jauh dari realitas yang dirasakan masyarakat saat ini dan tentu saja amat merugikan.

Data statistik yang terkesan dibuat untuk menyenangkan pemerintah bisa merugikan dalam hal pengurangan bantuan sosial dan subsidi energi hingga memberi tekanan ekonomi yang lebih besar khususnya di segmen kelompok ekonomi kelas menengah.

Banyak anomali data pertumbuhan ekonomi yang disampaikan BPS, dan tak sesuai realitas.

Dalam hal konsumsi rumah tangga misalnya, BPS menyebut item ini tumbuh 4,97 persen dan menyumbang hingga 54 persen pendapatan domestik bruto (PDB).

Namun, menurut Celios, indeks keyakinan konsumen Indonesia justru melemah dari angka 121,1 pada Maret 2025 menjadi 117,8 pada Juni 2025 sebagai tanda terjadinya penurunan daya beli masyarakat.

Dalam aduannya kepada PBB, khususnya ke United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission, Celios meminta dua badan PBB itu mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis BPS, hal ini penting untuk menjaga kredibilitas data BPS yang kerap digunakan pengusaha, peneliti, dan masyarakat secara umum.

Selain itu, tentu saja, BPS bisa bekerja dengan transparan dan bukan melulu menyajikan data ABS, sementara rakyat semakin susah.

Further reading

  • biogas

    Nyala Api Biogas di Desa Rejobasuki, Dari Kotoran untuk Masa Depan

    Puluhan keluarga di Desa Rejobasuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan. (Lontar.co): Pagi-pagi sekali, Suhana sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa […]
  • sawah hilang akibat penduduk yang tak terbilang

    Sawah Hilang Akibat Penduduk yang Tak Terbilang

    Lahan persawahan di Bandarlampung, Lamsel dan sebagian Pesawaran makin tergerus akibat adanya alih fungsi lahan untuk permukiman. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga arus urbanisasi ke kota yang marak, menjadi penyebabnya. (Lontar.co): Dua backhoe itu bekerja terus dari pagi hingga sore, meratakan sehektar lahan di wilayah Tanjungsenang itu, sejak tiga hari lalu. Rencananya, lahan yang […]
  • Nepal Bukan Kita

    Nepal bukan kita. Kita adalah Indonesia; santun dan beradab. Jauh dari pikiran Nazi (Naziisme). Jijik pada keinginan pembantaian! (Lontar.co): Viral, video-video unjuk rasa besar-besaran di Nepal. Demo yang tak lagi mengetengahkan misi perdamaian, menjelma jadi sungai darah, bantai, dan pengrusakan. Yang dihakimi massa adalah keluarga pejabat. Beginikah cara orang Nepal turun ke jalan? Nepal adalah […]