Adat dan Adab

About Author
0 Comments

Pandji Pragiwaksono, komika stand up, disomasi. Dinilai menghina adat. Didenda, atas nama adat, sebanyak 48 ekor kerbau dan babi, serta uang senilai Rp2 miliar. Pertanyaannya, adakah kekayaan Panji sebanyak itu. Lalu di mana letak adab?

(Lontar.co): Pepatah menyebut; mulutmu harimaumu. Saya, kadang percaya dengan peribahasa yang sudah terbangun dalam bangsa kita. Kadang, yang saya maksud, karena kata-kata yang terucap, membuat kita diterkam harimau. Namun, karena perkataan kita pula dapat mencerahkan banyak orang.

Rasanya menjadi biasa yang tersandung dari profesi komika. Beberapa komika tersandung, karena terselip pada narasinya sendiri. Biasanya menyangkut keagamaan dan adat. Atau orang-orang yang biasa di atas panggung. Misalnya, berkhotbah atau berdakwah. Ketika “terkilir lidah” dengan menyinggung adat atau etnis yang ada di negara ini lalu dianggap negatif.

Komika Panji adalah contoh terbaru. Ketika ia menyebut ritual kematian di adat Toraja, ia dianggap melecehkan istiadat atau budaya di sana. Meskipun narasi itu sudah lama, dan baru diketahui pada 2025.

Seperti dalam hukum, delik seakan boleh mundur. Panji didenda adat sebanyak 48 ekor babi dan kerbau, serta uang senilai Rp2 miliar. Tidak kecil jika dikalkulasi, walau sekelas selebritas Panji.

Para tetua adat menggelar sidang. Keputusan adalah seperti yang tersebut. Panji seakan tak bisa mengelak, apalagi membela. Kendati ia sudah menyatakan maaf, tapi permohonan maaf tidak (belum) mengurangi denda, ini sampai saya menulis catatan ini.

Sedikit menggembirakan, ada seorang pemerhati adat yang “membela” Panji, dengan mengatakan bahwa sebaiknya adab lebih dikedepankan di samping adat tetap dihidupkan.

Artinya, adat memang harus tetap dihidupkan oleh masyarakat adat tertentu. Tetapi, sebagai manusia sosial, maka adab juga sama pentingnya kita tunjukkan dalam keseharian. Adat dan adab sama perannya dalam hidup sosial manusia, yang kita akui bahwa adat istiadat sangat beragam di Tanah Air. Bahkan, sangat kaya. Dari Aceh sampai Papua.

Keragaman adalah Hikmah

Meski tidak pasti jumlah ada berapa adat di Indonesia. Karena adat istiadat sangat beragam dan mencakup banyak aspek kehidupan: upacara, pernikahan, hingga norma sosial. Sebagai gambaran, saya kutip dari Wikipedia, terdapat ribuan komunitas adat (2.161 komunitas per Agustus 2022). Lalu dari sisi upacara adat saja, setiap provinsi memiliki tradisi uniknya sendiri yang jumlahnya bisa mencapai puluhan.

BACA JUGA  Buku yang Bertanya: Apa Kabar Bunda Literasi?  

Soal adat ini dapat dibagi pada komunitas adat, upacara, tradisi spesifik, dan sistem adat. Betapa kaya adat, lebih luasnya kebudayaan, yang hidup dan tetap dirawat oleh masyarakat adat setempat. Dan, negara mengakomodir adat agar tetap hidup di tengah-tengah masyarakat adat bersangkutan. Bahkan, terlindungi oleh UUD dan ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah.

Perlindungan ataupun merawat kebudayaan oleh negara. Terbukti pemerintah membentuk kementerian kebudayaan (sebelum Prabowo Subianto sebagai presiden bergabung pada pendidikan, yakni Dikbud). Lalu di bawahnya ada taman budaya, museum, serta balai pelestarian kebudayaan (BPK) di pelbagai wilayah (teritorial).

Ini membuktikan bahwa kebudayaan (di dalamnya ada adat) sangat berperan menguatkan kebangsaan. Sekaligus menjadi kebanggaan.

Dengan kebudayaan (etnis) yang beragam, merupakan kekayaan bangsa. Kebhinekaan itu justru memperkuat nilai-nilai dan memperkaya apresiasi setiap anak bangsa. Dari sana, rakyat Indonesia dapat (harus) bersatu. Keragaman adalah hikmah. Tak perlu ditentangkan. Hikmah keberagaman yang dimiliki Indonesia ini, belum tentu dapat dirasakan oleh bangsa-bangsa lain. Bersyukurlah.

Sumatera Barat, masyarakat Minang, misalnya, juga menjunjung tinggi adat tersebut. Begitu pula orang Aceh, etnis Batak, Riau, Lampung, dan seterusnya. Suku-suku yang ada dan hidup bagaikan gugusan bukit dan pulau-pulau untuk menyatukan Indonesia dalam kebhinekaan. Indonesia “satu” karena adanya keragaman dan keberagaman suku, agama, ras, dan adat tersebut. Itulah yang membanggakan. Ada “tanda” di sana demi menandai bahwa kita satu.

Dalam puisi yang saya tulis tahun 2001 dan pernah tayang di Harian Kompas lalu masuk dalam buku puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, Yogyakarta, Januari 2003) kemudian disatukan pada 100 Puisi Pilihan KOTA CAHAYA (Grasindo, Jakarta, 2005). Judulnya “Aku Tandai” berbicara tentang keragaman dan keragaman etnis dan adat. Ini puisinya.

aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak/yang tak akan pernah terhapus bilangan. sampai hafal benar/aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal/tubuhku sendiri//

dari akar dan batang rumputan yang pernah kita/petik dulu, kini telah jadi pohon:/menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai/menggores tanda di tubuhmu – tahi lalat itu – yang/senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau//

BACA JUGA  60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

tahi lalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu/akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiap kali aku tertidur/meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan/gerakmu dalam gerakku pula. lalu aku menari di antara/ tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini//

ya, aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari/dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,/sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga/besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis/dalam hidangan di piring saat pagi dan petang//

Perbedaan adalah hikmah, keberagaman sebagai kekayaan yang sangat berharga bagi bangsa ini. Bayangkan, jika manusia Indonesia hidup dalam satu warna maka yang kita lihat hanya seragam. Yang ada membuat hidup ini menjadi indah sebab adanya warna-warni itu. Tetapi dalam warna-warni itu dibutuhkan untuk saling menghargai, menghormati, plusmengapresiasi bersama-sama.

Itu sebabnya, sejatinya sejak kecil kita diajarkan untuk mengenal kebudayaan, di dalamnya tentu ada adat/istiadat, baik milik sendiri dari keturunan maupun punya etnis atau suku yang lain.

Program kolonisasi hingga transmigrasi, salah satu dari banyak cara “mempersatukan” suku bangsa yang berbeda-beda itu. Walau dalam “proyek” tersebut ada kekurangannya, yakni alpa untuk mengenalkan budaya tempatan kepada pelaku kolonisasi dan transmigrasi.

Para transmigran hanya dipegangi (diberi) pacul dan parang untuk menuju daerah baru itu. Yang terjadi kemudian, terutama di masa-masa akhir Orde Baru, muncul gesekan sosial hingga berujung kerusuhan antaretnis. Hampir di setiap daerah.

“Muhajirin” tak mengerti budaya yang dianut oleh “Ansor”, sebaliknya penduduk asli merasa (masih) memiliki tanah kelahiran yang kemudian “dikuasai” pendatang. Cemburu sosial ini akhirnya dibayar mahal. Terbesar, barangkali, yang terjadi pada etnis Madura dan Dayak di Sampit. Juga kerusuhan dua etnis di Kalianda, Lampung Selatan yang kemudian dikenal Balinuraga.

Tentang “Aku Tandai” ini, Sutardji Calzoum Bachri mengatakan bahwa “ia pun menyaksikan dan mengetengahkan kehancuran kepribadian manusia sebagai individu yang unik (“tahi lalat”) dalam serapan dan sergapan arus semangat kelompok (massa) menjadi hanya sekadar orang-orangan.”

BACA JUGA  Membaca 80 Puisi Bahasa Lampung

Untuk diketahui, kelahiran puisi tersebut memang terinspirasi dari peristiwa Sampit. Pertikaian antaretnis, yakni Madura dan Dayak. Saya menganggap, waktu puisi ini lahir, ada yang kita abaikan dalam membangun kebersamaan demi terciptanya harmonisasi. Yaitu, antarkita tak mampu menandai — tahi lalat — bahwa kita satu dalam album besar di meja perjamuan besar bernama Indonesia.

Akibat mengabaikan itu, sesama etnis atau adat yang berbeda itu, sulit untuk saling menghormati (menghargai). Tetapi, cenderung yang ada ialah menjelekkan atau dengan bahasa yang acap dipakai: melecehkan.

Sementara empunya budaya, “terlalu” menjadikan adat seperti “adiluhung” sehingga sakral jila tersentuh. Adat diyakini “keramat” sehingga tak bisa dimasuki di luar itu, apalagi dianggap melenceng dan merendahkan. Padahal, di dalam adat tentu ada adab. Atau meminjam filosofi (orang) Minang; adat basandi sarak sarak basandi kitabullah.

Falsafah ini untuk menyelaraskan antara adat dan agama (dalam hal ini Islam) dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Sehingga antara tradisi dan agama tidak bertentangan.

Jika adat tak selaras, maka kembalikan ke dalam pandangan agama. Atau dapat pula melihat keselarasan adat dari kacamata adab. Sehingga setiap keputusan yang berurusan adat, apakah sudah sesuai pula dengan adab. Karena kita paham, adab lahir dari nilai-nilai kepatutan, kesopanan, kesesuaian dengan perasaan.

Adab bermakna sebagai norma, aturan, atau kesopanan yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dan agama. Ia bertujuan membimbing perilaku manusia agar sesuai dengan norma yang berlaku.

Dengan demikian, adat dan adab sepatutnya selaras. Adat tak bisa berdiri sendiri tanpa berkolaborasi dengan adab. Setiap individu meyakini, bahwa di dalam adat yang dijunjung tentulah adab berada pula di sana. Adat ke dalam kita junjung dan hidupkan sebagai nilai-nilai keluhuran. Sementara ke luar (hubungan sosial) adab disajikan (ditampilkan/ditunjukkan).

Tidak mungkin kita men-generalisir apa yang kita miliki kepada orang di luar sana. Sehingga perbedaan yang mungkin bisa memecahkan, dapat didekatkan melalui adab. Kolaborasi dan interaksi ini, yaitu adat dan adab, bisa sejalan dan berjalan baik. Tanpa ada yang mesti dikorbankan. Barangkali…(*)

Further reading