Ribut-ribut soal harga singkong sebagai komoditas paling banyak dibudidayakan di Lampung, ternyata menjadi sejarah yang berulang terhadap komoditas lada yang pernah begitu mewarnai rempah dan kesejahteraan petani lada di Lampung, termasuk menjadi rempah paling diincar oleh hampir separuh negara di dunia.
(Lontar.co): Faruk, masih ingat, tiga hari setelah panen lada di kebunnya, ia diajak almarhum ayahnya ‘turun’ ke Tanjungkarang. Waktu itu, selepas sarapan, bapak anak ini bergegas menuju pasar kalangan tak jauh dari rumahnya di Desa Tanjungraja.
Di sana, mereka sudah ditunggu sebuah mobil unyil, yang hari itu memang khusus dicarter oleh ayahnya untuk membawa mereka berdua menuju Simpang Ogan Lima.
Sampai di Simpang Ogan Lima pula, bus engkel sudah sejak pagi menunggu mereka berdua. Lagi-lagi, bus engkel rute Tanjungkarang-Kotabumi ini pula, sudah dicarter oleh ayahnya.
Tak ada yang mereka bawa kecuali dua buah ransel besar, satu di pundak ayah, yang lainnya di pundak Faruk, isinya bukan bekal atau pakaian, tapi bergepok-gepok uang hasil penjualan lada dan sebilah badik Stimbang Alam sebagai perlindungan.
Beratnya uang yang ada di dalam tas ransel, sempat membuat Faruk yang saat itu masih berusia belasan tahun, kepayahan.
Waktu itu, seingatnya, tak semua uang yang ada di dua tas ransel itu habis dipakai untuk membeli mobil Toyota Kijang bekas di Bandar Lampung, masih ada sisa lumayan banyak, karena mereka masih harus bermalam selama dua hari di rumah kerabat di Rajabasa, sembari menunggu mobil yang dibeli ayahnya benar-benar siap dibawa pulang.
Saat pulang ke Tanjungraja, mereka masih pula mampir di Kotabumi, menuju pasar, mencari toko elektronik, tujuannya mencari kulkas, ayahnya begitu terobsesi memiliki lemari pendingin untuk di rumah mereka.
“Tapi, karena waktu itu tegangan listrik di rumah masih rendah cuma 110, sedangkan kulkasnya 220, jadi, kulkasnya nggak bisa dipakai, akhirnya cuma jadi lemari pakaian,” kenang PNS di Lampung Utara ini.
Memori ini, masih kuat tertanam di ingatan Faruk, berhektar-hektar kebun lada warisan milik keluarganya pernah begitu mempengaruhi kesejahteraan keluarga mereka dan kebanyakan petani lada lainnya di Lampung Utara. Ia dan adiknya, bisa kuliah di Yogyakarta, sepenuhnya dari lada pula.
Apalagi, komoditas lada asal Lampung Utara adalah salah satu jenis lada hitam terbaik yang kualitas rempahnya bernilai ekspor dan amat diminati oleh dunia.
Selama ratusan tahun, lada menjadi komoditas penopang perekonomian banyak petani di Lampung, budidaya lada tumbuh subur dimana-mana, seiring itu pula, kesejahteraan petani begitu mapan.
Cerita-cerita kejayaan lada yang melahirkan begitu banyak kesuksesan petaninya menjadi sebuah legenda tersendiri di Lampung, sampai di pertengahan tahun 90-an, gejolak fluktuasi harga rempah dunia memberikan pengaruh secara langsung terhadap harga lada.
Kala itu, kekecewaan petani lada diekspresikan dengan menebang habis tanaman ini.
Sampai kini, identitas Lampung sebagai ‘tanah lada’ sebenarnya tak pernah benar-benar pudar, meski produktivitas rempah ini kian tergerus dan tergantikan oleh komoditas lain.
Bahkan, lebih dari satu dekade lalu, Kemenkumham pernah memberikan sertifikasi indikasi geografis untuk lada hitam asal Lampung Timur. Sertifikat ini, sebagai perlindungan hukum yang bertujuan untuk menjaga keaslian, mutu, dan reputasi lada dari wilayah ini, yang dikenal memiliki cita rasa khas, aroma kuat, dan tingkat kepedasan yang tahan lama, tapi produktivitasnya kini tak pernah benar-benar banyak seperti ketika masa jayanya dulu.
Sebagai produsen lada berkualitas dunia, Lampung memang menjadi bagian penting dari jalur rempah nusantara. Selama lebih dari dua abad, lada asal Lampung mewarnai kebutuhan rempah-rempah dunia.
Dalam buku Suma Oriental yang ditulis oleh seorang apoteker cum penjelajah Portugis, Tome Pires, yang dibuat antara tahun 1512-1515, tentang potensi ekonomi di wilayah Asia Tenggara dan Timur pada abad ke-16 menyebut bahwa hanya ada dua daerah yang menghasilkan lada terbaik di nusantara, dan itu ada di Lampung; Cacampom (Sekampung) dan Tulimbavam (Tulangbawang), dan itu mulai marak dibudidayakan pada paruh ke dua abad 15.
Dalam laporannya, Tome Pires yang tengah berlayar dari Laut Merah menuju Cina menyebut, para petani lada, membawa hasil-hasil ladanya dengan perahu lanchara menuju sungai untuk dijual ke Banten dan Sunda Kelapa, dengan lama perjalanan satu hingga dua hari.
Dalam jurnal tahun 2016 yang ditulis Iim Imanudin dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat berjudul “Perdagangan Lada di Lampung Dalam Tiga Masa (1653-1930) menyebut akses distribusi ini sebenarnya mulai terbuka setelah banyak marga di Lampung mengakui Kesultanan Banten yang secara otomatis mengatur tata niaga lada.
Apalagi ketika itu, produksi lada di Banten mengalami penurunan signifikan di abad 17, di sisi lain perkebunan lada di Lampung justru semakin bertambah luas.
Pengaturan tata niaga lada ini bahkan dibuat dalam sebuah piagam yang juga memuat sejumlah peraturan yang mengikat. Ini menandakan bahwa lada asal Lampung memiliki nilai penting bagi Kesultanan Banten.
Di tahun 1653 pula, Sultan Ageng mengeluarkan aturan yang mengharuskan tiap penduduk di Lampung menanam lada paling sedikit 500 pohon per orang, dan dibolehkan menjualnya pada pembeli tanpa memandang kebangsaannya.
Dalam Piagam Sukau yang beraksara Lampung dan berbahasa Banten bertarikh 1104 H atau tahun 1684, Sultan memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memecat kepala-kepala daerah.
Orang Lampung pula diwajibkan mengumpulkan lada, khususnya orang cilik serta segenap punggawa diharuskan menanam merica sebanyak 500 pohon setiap orang, peraturan ini berlaku pula untuk penduduk yang sudah berusia 16 tahun ke atas.
Prasasti yang berasal dari Bojong beraksara Arab tertanggal 30 Jumadil Akhir 1102 H (1691 M) juga mengatur tentang tata niaga lada yang berada di bawah kontrol langsung Sultan Banten. Ada pula sangsi untuk pelanggaran terhadap kebijakan tersebut, mulai dari penahanan hingga pengusiran.
Melimpahnya komoditas lada asal Lampung kala itu memang menjadi tambang baru buat Kesultanan Banten, yang sampai-sampai menerbitkan begitu banyak piagam yang benar-benar khusus mengatur tentang jual beli dan distribusi lada Lampung.
Bahkan, Sultan Banten menempatkan jenjen atau semacam wakil khusus di Teluk Semangka (Kotaagung) yang mengelola penerimaan lada dari Lampung dan mendistribusikannya ke Bandar Banten.
Sedangkan di Tulangbawang dan Sekampung (Lamtim), Kesultanan Banten juga menugaskan para punggawa sebagai wakilnya.
Selain itu, komoditas lada juga memicu tumbuhnya kota-kota dagang baru di daerah pesisir Lampung, seperti di Telukbetung. Pedagang-pedagang lada dari daerah, datang menyusuri sungai-sungai hingga tembus di muara pantai yang terhubung langsung dengan Pelabuhan Sukamenanti, Bandar Balak, Bandar Lunik, dan Bandar Teba.
Selain menjadi pusat transaksi, daerah Perwata dan Suti Karang di Telukbetung menjadi pabean sekaligus tempat untuk menimbun berton-ton lada dari seluruh daerah di Lampung.
Di Telukbetung ini, Banten telah pula menempatkan Tumenggung Nata Negara sebagai adipati yang memerintah sedikitnya 3000 penduduk yang kemudian menjadi cikal bakal jaringan perdagangan Nusantara.
Dua saudagar asal Minangkabau, Nahkoda Mangkuto dan Nahkoda Muda menggambarkan kejayaan perdagangan lada di Lampung layaknya sebuah lumbung emas hitam bagi banyak pedagang. Sangking terpukaunya Nahkoda Mangkuto dengan lada Lampung, ia bahkan menetap di Piabung hingga menjadi saudagar kaya dan berpengaruh hanya dari lada.
Lada Lampung adalah ladang emas bagi Kesultanan Banten. Sultan, para bangsawan, dan saudagar hidup dalam kemewahan. Bangsawan-bangsawannya punya rumah mewah, kapal besar dan budak yang banyak.
Kejayaan Banten dari lada mulai meredup setelah VOC Belanda mulai mencoba menguasai rantai-rantai niaga lada, yang dilakukan melalui ekspedisi untuk yang kedua kalinya tanggal 22 Juli 1682, dipimpin Koopman dan Everhard van der Schuur yang berangkat dari Batavia, dan tiba di Banten 18 Agustus 1682. Ekspedisi ini menjadi awal dari upaya penguasaan Lampung, utamanya lada. Tak tanggung-tanggung, upaya untuk menguasai lada Lampung dilakukan Belanda, yang disokong Inggris, Denmark dan Portugis, dengan melakukan politik pecah belah.
Dalam sejarah rempah nusantara, lada Lampung menjadi salah satu komoditas yang memiliki daya ungkit luar biasa, dari lada pula, Lampung kemudian dikenal oleh dunia, karena hampir 90 persen lada yang dikirim dari Banten berasal dari Lampung.
Sebenarnya, Kesultanan Palembang pula hendak menguasai lada dan melawan dominasi Banten. Palembang membantu penduduk di sepanjang Sungai Way Tulangbawang untuk menggali kanal untuk menyatukan sungai Way Umpu dan Way Tulangbawang. Kanal ini menjadi jalur distribusi para pedagang lada untuk bisa menghindari pos-pos dagang Banten,
Jika mau jujur, pedagang lada asal Lampung, sebenarnya lebih senang menjual ladanya ke Palembang karena harganya jauh lebih mahal dibanding Banten. Tapi, upaya Palembang untuk ikut bermain di tata niaga lada itu gagal setelah Tulangbawang akhirnya jatuh ke Banten pada tahun 1738.
Dalam buku “De Lampoengsche Districten” yang ditulis Broersma (1916), iklim Lampung yang panas dan lembab sangat cocok untuk membudidayakan lada.
Daerah-daerah yang menjadi wilayah Abung yang berdekatan dengan Sungkai dan Besai, merupakan area produksi lada terbaik. Begitu pula daerah perbukitan di bagian baratnya, tulis Broersma (1916) dalam De Lampoengsche Districten.
Ketenaran lada Lampung yang mendunia juga pernah menukilkan sejarah, saat calon jamaah haji asal Sukadana yang hendak menunaikan ibadah haji di awal abad 20, datang ke Makkah dengan membawa lada, sebagai identitas, sekaligus kebanggaan.
Dalam buku “The Island of Java” terbitan tahun 1811, lada asal Lampung bahkan diulas secara khusus dan diyakini sebagai lada terbaik berkualitas dunia, bahkan lada asal Kerala India Selatan pun tak ada apa-apanya.







