Cerita Derita Ahli Gizi di MBG

About Author
0 Comments

Di balik kemegahan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG), ada cerita lelah ahli gizi yang bekerja tak kenal waktu dengan gaji ala kadarnya.

(Lontar.co): Hari-hari R kini lebih banyak ia habiskan untuk mencari lowongan. Sudah lebih dari sebulan, ia kembali jadi pengangguran. Tapi, meski pengangguran, pikirannya kini jauh lebih tenang.

Sebelumnya, lulusan ahli gizi sebuah politeknik kesehatan di Bandar Lampung ini, sempat dua bulan bekerja di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG di Bandar Lampung.

Tapi karena tak kuat dengan jam kerja serta tanggung jawab yang besar, akhirnya ia memilih mundur.

Besarnya kewajiban yang harus ia tanggung pula, hampir tak sebanding dengan hak yang ia peroleh. Gajinya bahkan kurang dari UMR. Saat menjadi ahli gizi itu, jam kerjanya nyaris mendekati angka 20 jam tiap bekerja. 

Waktunya, lebih banyak ia habiskan di dapur MBG. Terkadang, ia mengaku kerap tidur di ruang dapur untuk memastikan semua proses pengolahan makanan sudah benar-benar sesuai.

Karena, tanggung jawabnya tak lantas berhenti ketika makanan sudah didistribusikan ke sekolah. Ia bahkan kerap kali was-was tiap kali makanan di kirim ke sekolah.

“Kalau dulu, proses memasaknya belum ditentukan seperti sekarang, minimal setelah tengah malam,” tuturnya.

R juga sempat jatuh sakit, tapi sebagai tenaga paling inti di dapur MBG, ia tetap wajib mengawasi proses, bahkan sejak sebelum bahan makanan diolah menjadi menu. Sebab, hanya ia satu-satunya ahli gizi di dapur itu, sekaligus merangkap pula sebagai koki dan pengawas juru masak.

Di rumah pun, ia tak pernah benar-benar bisa beristirahat, karena harus merancang menu untuk hari berikutnya dan seminggu ke depan.

“Sudah nggak kuat lagi. Sebulan pertama kerja sudah mau resign, tapi diminta menunggu sampai ada pengganti saya. Tapi, sudah mau dua bulan ahli gizi pengganti juga nggak ada yang sanggup. Karena sudah nggak betah, akhirnya saya tetap paksa resign,” akunya.

BACA JUGA  Riwayat Keracunan di Lampung, dari PMT-AS sampai MBG

Tak hanya tanggung jawabnya yang besar, lingkungan kerja di dapur MBG juga, menurutnya, cenderung tak ‘sehat’ untuk mentalnya.

Deskripsi kerjanya luar biasa berat, apalagi untuk ukuran seorang ahli gizi perempuan seperti dirinya. 

Selama bekerja itu, ia wajib datang di pukul 20.00. Di sana, ia mulai membuat menu, kemudian mempersiapkan segala bahan baku makanan yang dibutuhkan. Selanjutnya, ia masih harus pula meneliti semua bahan makanan yang siap di masak. Pada titik ini, ia harus benar-benar memastikan semua bahan baku masih layak masak, tidak busuk, apalagi kotor.

Setelah selesai, proses mengolah bahan baku makanan baru bisa dilakukan. Ketika proses memasak berlangsung, ia masih harus pula mengawasi kembali cara pengolahannya, untuk memastikan semua prosesnya sudah sesuai standar.

Ritme kerjanya terus berlangsung tanpa jeda, ketika makanan sudah jadi, ia masih harus pula mengatur dan menimbang gramasi tiap jenis makanan, mulai dari nasi, sayur dan lauk pauk.

Semua makanan yang sudah selesai diolah, tidak bisa langsung ditata di ompreng, karena R harus menghitung ulang besaran kalori, protein dan karbohidrat tiap ompreng.

Rincian baku, gramasi tiap menu adalah; nasi 100 gram, 60 gram untuk protein hewani, 50 gram untuk lauk pendukung seperti tempe atau tahu, dan 50 gram lainnya untuk sayuran.

Setelah selesai proses penghitungan angka kecukupan gizi tiap ompreng, lagi-lagi, ia masih harus pula menunggu sisa makanan untuk disimpan sebagai sampel jika terjadi hal yang tak diinginkan seperti keracunan, basi atau tak layak konsumsi.

Setelah proses packing menu selesai dan mulai didistribusikan. Selanjutnya, ia harus menyiapkan menu MBG untuk hari berikutnya lengkap dengan kebutuhan belanjanya dengan staf pembelian bahan makanan. 

Semuanya harus dihitung dengan teliti, tak boleh kurang apalagi lebih, karena menyangkut soal kebutuhan biaya yang akan dikeluarkan untuk membeli bahan makanan, jika kurang atau lebih, maka ia wajib menghitung atau mengurangi bahan makanan yang harus dibeli.

BACA JUGA  Eva Tak Punya Legitimasi yang Kuat, Ia Hanya Didukung oleh Kurang dari 30 Persen Warga Bandarlampung

Meski ada libur, tapi R mengaku tak pernah benar-benar bisa beristirahat. Di rumah, ia masih pula memastikan rincian kebutuhan tiap menu, hingga memastikan kembali jika menu makanan yang ia buat, sudah memenuhi standar kecukupan gizi, apalagi hitung-hitungannya kebutuhan gizinya berbeda untuk tiap jenjang pendidikan.

Beberapa waktu yang lalu, ahli gizi dari UGM, Hardinsyah menyoroti beban kerja yang terlalu tinggi yang semuanya dibebankan pada ahli gizi pada tiap-tiap dapur MBG menjadi salah satu pemicu maraknya kasus keracunan pada program MBG yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Tantangannya, ahli gizi di tiap SPPG dituntut untuk menguasai semua hal, padahal tak semua alur proses pengolahan makanan di dapur MBG menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari ahli gizi.

Akibatnya, proses pengawasan terhadap proses penyiapan bahan makanan, pengolahan dan distribusi makanan yang semuanya dibebankan pada satu ahli gizi beresiko memicu terjadinya kasus keracunan.

Tingginya beban kerja yang diberikan kepada ahli gizi ini pula yang pada akhirnya membuat posisi ahli gizi di tiap dapur jadi lebih rentan, sehingga banyak ahli gizi, termasuk R yang memilih mundur dari pekerjaannya. Dan fenomena itu, bukan cuma terjadi di Lampung saja, tapi di hampir semua SPPG di Indonesia.

Minimnya ahli gizi yang bertahan di dapur-dapur MBG ini pula yang kemudian direspon oleh Badan Gizi Nasional yang mulai memperketat syarat beroperasinya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah termasuk di Lampung. 

Padahal, skala kuantitas produksi makanan yang diolah jumlahnya ribuan porsi, yang idealnya diimbangi juga dengan jumlah tenaga ahli gizi yang sesuai dengan jumlah produksi, untuk meminimalisasi resiko kesalahan teknis dan sanitasi.

Tapi, kebanyakan dapur MBG hanya mempekerjakan satu orang ahli gizi, dengan beban kerja dan tanggung jawab yang amat besar.

Wakil Kepala BGN, Nanik S Deyang, mengatakan bahwa seluruh dapur dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah diwajibkan memiliki koki yang bersertifikasi. Koki ini pula yang berperan mengurangi beban ahli gizi di tiap SPPG.

BACA JUGA  Manuver Walikota Bandarlampung Bikin Publik Termangu  

Nanik mengatakan kebijakan ini telah diumumkan ke setiap dapur sejak tanggal 25 September lalu.

Selain harus bersertifikasi, setiap dapur juga diharuskan untuk menyediakan juru masak pendamping selain dari yang difasilitasi oleh BGN. Menurutnya, hal ini bertujuan agar seluruh pihak terdorong untuk ikut mengontrol kualitas makanan yang dibuat di dapur MBG.

Nanik juga menyebut bahwa proses verifikasi dapur nantinya semakin diperketat untuk meminimalisir kecurangan, seperti lolosnya dapur yang dikelola sejumlah nama dalam sebuah keluarga, hingga keracunan makanan.

Menurut R, lingkungan kerja di dapur MBG tempatnya bekerja dulu juga cenderung tak sehat, untuk perkembangan mental ahli gizi sepertinya, ia bukan hanya ditekan oleh tuntutan pekerjaan saja, tapi kebanyakan rekan kerja hingga relawan di dapur MBG yang tak saling mendukung.

“Lingkungan kerjanya toxic banget, benar-benar nggak sehat buat mental, apalagi buat saya yang di sana niatnya benar-benar kerja, bukan cari muka,” akunya.

Kompleksitas masalah di dapur MBG bukan hanya beban kerja ahli kerja maupun soal durasi kerja yang panjang saja, soal Sertifikasi Laik Higienis Sanitasi (SLHS) dapur MBG di Bandar Lampung pun masih minim, dari 70 dapur MBG yang sudah beroperasi secara penuh, diketahui baru satu dapur MBG yang sudah memiliki SLHS ini.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, Muhtadi A. Temenggung membenarkan hal itu, menurutnya masih banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang belum layak, mulai dari kebersihan dapur, kondisi air, peralatan, serta lingkungan penunjangnya.

“Kalau dari hasil pemeriksaan belum memenuhi syarat, kami minta segera diperbaiki. Tapi jika semua sudah sesuai standar, Dinkes akan melakukan disinfeksi dan memberikan rekomendasi kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP),” ujar Muhtadi kepada wartawan, Sabtu (8/11).

Kondisi ini yang kemudian membuat dari 70 SPPG di Bandar Lampung, baru satu SPPG yang memenuhi seluruh standar laik higienis sanitasi.

Further reading