Ketika nasib media lokal sedang terombang-ambing untuk tidak menyebut kembang kempis, dan tengah sekuat tenaga bertahan hidup, tetiba terbetik kabar seorang kepala daerah bilang lebih tabik dan hakul yakin pada media nasional dari pada media lokal. Jleeeb…!
(Lontar.co): Kopi pahit di gelas belum lagi diseruput ketika suara panggilan memekik. Spontan mata melirik ponsel lawas yang tergeletak di meja. Di layarnya terlihat jam digital menunjuk angka 08.14 WIB. Sedang pada bagian bawah tampilan layar tertera nama Ketua PWI Lampung. Wira (memanggil).
Kudapan lambang sari yang belum tuntas dikunyah di mulut, lekas-lekas kutelan. “Siap,” ucapku membuka perbincangan. Bagiku Wira bukan sebatas Ketua PWI Lampung, dia juga adik tingkatku saat berkuliah di Fakultas Pertanian, Unila, pada waktu silam.
Sewaktu aku masih aktif meliput berita di lapangan, aku juga terkesan dengan kinerjanya sebagai jurnalis muda pada surat kabar terkemuka di Lampung. Dia gesit, dan sepertinya tidak mudah menyerah. Tampaknya spirit itu masih digenggamnya sampai sekarang.
“Maaf Bang, ganggu waktu ngopinya,” suara Wira langsung menghangatkan suasana. Dia tahu kebiasaanku, kalau jam-jam segini masih ngopi sambil baca atau mengetik artikel.
“Gimana, Ra?”
“Soal acara kita nanti tentang no tax untuk media, Bang. Pihak Komdigi sudah konfirm mau datang. Akan lebih lengkap kalau pihak Dirjen Pajak bisa kita datangkan, ya,” ucapnya membuka diskusi.
Belakangan ini kami memang sedang menaruh perhatian besar untuk mendorong usulan penghapusan pajak terhadap perusahaan pers. Kebetulan, sebelumnya, organisasi perusahaan tempatku bernaung AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) pernah berdiskusi serius dengan PWI Pusat tentang wacana tersebut.
Wira termasuk cepat tanggap merespon wacana ini. Dia langsung menginisiasi langkah tindak lanjut. Sekaligus berkonsolidasi internal, pun dengan pihak eksternal PWI yang menjadi konstituen Dewan Pers, satu di antaranya AMSI Lampung. PWI mengagendakan bakal menghelat sebuah kegiatan di penghujung November ini.
Intinya, media-media lokal mendorong agar pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, dapat menghapus pajak bagi perusahaan media. Anggap saja itu sebagai bentuk insentif pemerintah kepada pengelola perusahaan pers.
Bagaimana pun juga, keberadaan pajak 12 persen, apalagi di tengah kondisi media yang sedang tidak baik-baik saja seperti sekarang, sangat terasa memberatkan.
Sementara fungsi pers diminta turut aktif mencerdaskan kehidupan bangsa. Lantas dimana timbal balik pemerintah terhadap kontribusi konkrit pers tersebut?
Makanya wacana permintaan penghapusan pajak bagi perusahaan pers ini, dipandang bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, bila beban pajak dihapus, media bisa lebih fokus menghasilkan jurnalisme berkualitas. Di mana hasil akhirnya tetap berkontribusi pada peran turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya PWI Lampung menggalang solidaritas media-media lokal ini sudah semestinya disambut antusias. Wajib didukung secara all out. Karena siapa lagi yang mau peduli pada nasib media, kalau bukan kalangan pers itu sendiri.
Namun, selang beberapa jam dari obrolan via phone bersama Wira, sebuah kabar kurang sedap disodorkan oleh seorang rekan jurnalis lainnya. Kebetulan siang menjelang Jumatan itu aku menyambangi kantornya.
“Ada gelagat kurang baik nih, Bang,” ucap pemilik media ini membuka obrolan. Dia lalu bercerita. Baru-baru ini ada kepala daerah yang mengunjungi kantor redaksi media nasional di Jakarta.
“Kebetulan orang deket kita ada di rombongan itu. Dari dia saya tahu. Jadi, saat ngobrol dengan awak redaksi koran itu, kepala daerah ini sempat bilang, kalau sebenarnya dia lebih percaya media nasional dari pada media lokal,” cerita kawan ini.
Saat aku tanya apa sumber informasinya bisa dipercaya? kawan itu manggut penuh keyakinan. “A-1, Bang,” ucapnya dengan air muka dipasang serius, sambil menyebut sebuah nama.
Kalau cerita kawan ini benar, jelas informasi tersebut memiliki tendensi buruk bagi pers lokal. Padahal modal utama dari sebuah media adalah trust. Kepercayaan. Kalau itu sudah tercerabut, jelas hilang sudah kredibilitas media.
Sekali lagi, kalau informasi tersebut benar, jelas ucapan kepala daerah ini sebentar lagi, atau malah sudah, akan ditauladani oleh segenap bawahannya. Dampak ikutan berikutnya, tak perlu heran kalau kemudian para pejabat kompak bungkam pada media lokal. Sebab, buat apa bicara dengan media yang tidak dia percaya.
Selanjutnya, media hanya akan disuapi oleh rilis-rilis berisi pandangan sepihak. Monologis. Lalu, perlahan namun pasti, fase berikutnya media akan dikoordinir agar berpikir dan berperilaku seragam. Tak ubahnya koor, paduan suara. Berlomba membuat berita bagus tentang pemerintah.
Adakah yang salah kalau fenomena demikian sampai terjadi? yang jelas tidak ada yang mau mengakui aibnya. Sebab pencitraan penting. Itu bagian dari panggung depan. Soal dalam hati tidak percaya media lokal, itu adalah panggung belakang. Obrolan di antara circle sendiri.
Yang tidak kalah menarik untuk dicermati, kalau memang benar kepala daerah sempat mengucapkan hal itu, lantas apa tujuannya? apa karena menjalankan prinsip “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dengan kata lain, statemen tadi dimaksudkan cuma untuk “nyenengin kuping” tuan rumah belaka?
Kalau benar demikian, sangat mungkin ketika sedang bersama pers lokal, pribahasa yang sama kembali dipakai dengan sedikit modifikasi, tentunya, agar bisa bikin senang yang mendengarnya.
Oalah, (lagi-lagi) kalau ucapan “lebih percaya media nasional” itu benar adanya, mengapa sampai hati menciptakan dikotomi media lokal dan media nasional. Itu tak ubahnya devide et impera. Sesama pers mau dibenturkan. Jelas ini pemikiran sesat.
Cukup lama aku merenungkan cerita kawan tadi. Sudah tepat kiranya langkah PWI Lampung dan organisasi konstituen Dewan Pers lainnya menggelar kegiatan mendatang. Nasib pers sudah sepatutnya diperjuangkan sendiri oleh orang pers. Jangan terlalu menyandarkan diri di pundak pihak lain.
Beriringan dengan itu sudah semestinya dibangun solidaritas jurnalisme berkualitas. Sehingga akal sehat media tetap terjaga dalam menjalankan fungsi pers. Terutama melangsungkan kontrol sosial. Kritisme.
Terlebih, sebagai jurnalis, bukankah kita dituntut untuk senantiasa memelihara watak skeptis. Jadi, bukan hanya kepala daerah yang punya keraguan pada media lokal. Sebaliknya, alam pikir jurnalis sejatinya memang tidak pernah percaya penuh pada penguasa.(*)








