utak atik dana desa untuk kopdes dan bumdes
Menko Pangan Zulkifli Hasan saat meresmikan Koperasi Desa Merah Putih Desa Bumisari, Lamsel, beberapa waktu lalu. Foto: Ist

Utak Atik Dana Desa untuk Kopdes dan BUMDes

0 Comments

Koperasi Desa Merah Putih memicu konflik kepentingan dengan Badan Usaha Milik Desa, ujung-ujungnya dana desa pula yang dieksploitasi.

(Lontar.co): Meski sudah resmi dibentuk sejak Mei lalu, namun aktivitas Koperasi Merah Putih di salah satu desa yang ada di Kecamatan Natar itu tak kunjung berjalan. Jangankan mulai beroperasi, tanda-tanda aktivitasnya pun tak ada.

W, salah satu pengurus koperasi di sana juga tak tahu pasti alasan koperasi belum juga beroperasi.

“Gimana mau jalan kalau nggak ada modal,” ujar W acuh.

Padahal, pembentukan kepengurusan Koperasi Merah Putih di desa ini, bahkan jauh lebih dulu ditetapkan, jika dibanding Koperasi Merah Putih Desa Bumisari yang diresmikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Mei 2025 lalu.

Selain dilanda ketidakpastian barang dagangan yang akan dijual di koperasi ini, belakangan pengurus koperasi juga terus didesak oleh warganya.

“Kami juga bingung ini, aturan keanggotaannya juga masih simpang siur, ini warga malah banyak yang sudah mau jadi anggota koperasi biar bisa pinjam uang,” keluh W lagi.

Berulang kali pengurus koperasi bertanya ke kepala desa, tapi hasilnya juga nihil.

Koperasi Desa Merah Putih yang ada di salah satu desa di Kecamatan Natar ini tak sendiri sebenarnya, masih ada sebanyak 246 Koperasi Desa Merah Putih di Kabupaten Lampung Selatan yang juga belum beroperasi.

Padahal, sejak Mei 2025 lalu, sudah ada 260 koperasi yang kepengurusannya sudah terbentuk secara definitif, tapi diketahui, baru 14 koperasi desa di Lampung Selatan yang sudah beroperasi secara reguler.

Tak hanya itu, gembar-gembor pembentukan 80 ribu koperasi desa yang diluncurkan Presiden Prabowo pada Juli 2025 lalu, juga tak sesuai dengan kenyataan di desa-desa yang ada di Lampung.

Di Lampung, baru 58 koperasi desa yang sudah beroperasi, dari total sebanyak 2.650 koperasi desa yang sudah terbentuk. Parahnya lagi, koperasi desa di tiga daerah, yakni; Kota Metro, Kabupaten Mesuji dan Tanggamus, belum ada satupun koperasi desanya yang beroperasi, meski sudah terbentuk.

Tak hanya itu, dari 58 koperasi desa yang disebut sudah mulai beroperasi itu, kebanyakan justru beraktivitas layaknya warung biasa. Demikian halnya dengan Koperasi Desa Merah Putih yang ada di Desa Bumisari, Natar, meski menjadi koperasi desa yang pertama di Lampung dan diresmikan Menko Pangan Zulkifli Hasan, kenyataannya aktivitas transaksi hariannya tak terlalu ramai, bahkan cenderung sepi.

Koperasi-koperasi Desa Merah Putih ini, baik yang sudah berjalan maupun yang belum mengakui kendala permodalan menjadi masalah serius yang dialami mereka.

Salah seorang pengurus koperasi di Kecamatan Jatiagung mengakui itu, menurutnya, kebanyakan koperasi desa dihadapkan masalah permodalan untuk menggerakkan koperasi,”koperasi itu kan identiknya dengan simpan pinjam anggota, ini jangankan mau minjamkan anggota, mau buat mulai usaha aja nggak ada, padahal sudah lima bulan terbentuk,” tuturnya.

BACA JUGA  Belajar Banyak dari Perpustakaan HB Jassin

Ia juga menyebut, meski ada sebagian koperasi yang sudah mulai berjalan, kenyataannya operasional koperasi tak ubahnya seperti warung tradisional biasa,”koperasi-koperasi yang sudah mulai aktif juga cuma jualan beras, kemarin kita sudah buat surat ngajuin jadi pangkalan gas elpiji 3 kilo tapi malah nggak diladenin, kita jadi bingung, koperasi desa ini kan program presiden, tapi kok nggak ada yang dukung”.

Hal ini diakui pula oleh Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Lampung, Samsurijal yang menyebut 58 Koperasi Desa Merah Putih yang sudah beroperasi di Lampung memang hanya menjalankan bisnis jual beli sembako.

Kepada wartawan pula, Samsurijal menyebut akses permodalan yang selama ini dikeluhkan pengurus koperasi memang mensyaratkan tiap pengurus untuk masuk ke sistem digital agar bisa mengakses pinjaman dari perbankan.

Tiap pengurus yang telah memperoleh akun digital sudah bisa memulai usaha, termasuk mengisi detail informasi tentang jenis usaha yang akan dijalankan koperasi.

Sejauh ini, proses digitalisasi pengurus koperasi sudah mencapai 90 persen, sedangkan sisanya berdasarkan mitigasi masih ada kendala geografis, seperti jaringan.

“Lampung cukup progresif, karena secara nasional kita menempati posisi nomor dua di Sumatera dalam hal progres akun koperasi,” kata Samsurijal.

Setelah seluruh koperasi masuk ke sistem, tahap berikutnya adalah proses penyaluran pinjaman oleh bank Himbara. Pinjaman yang bisa diajukan oleh KDMP maksimal sebesar Rp3 miliar.

Keterangan Samsurijal ini, tak diamini oleh sejumlah pengurus koperasi desa, karena meski sudah memiliki akun digital, kenyataannya mereka tetap tak bisa mengakses kebutuhan modal seperti yang dijanjikan.

“Saya sudah dari bulan kemarin punya akun, tapi tiap ngajuin pinjaman nggak pernah ada kejelasan,” jelas pengurus koperasi desa di Kecamatan Jatiagung.

Beberapa pengurus koperasi desa lainnya, justru khawatir mengajukan pinjaman modal ke bank karena khawatir tak mampu melunasinya.

“Ini aturannya aja belum jelas, anggota koperasinya juga nggak ada, kok tiba-tiba disuruh ngajuin pinjaman modal ke bank, jaminannya apa, cara ngangsur pinjamannya bagaimana, kita mau-mau aja pinjam ke bank, tapi kalau justru bakal bermasalah buat apa,” aku pengurus koperasi lain di Kecamatan Tanjungbintang.

Masalah kian kompleks ketika pinjaman modal yang diberikan oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) itu bukan berupa uang tunai, melainkan barang, dengan plafon pinjaman Rp3 miliar yang tak serta-merta disalurkan kepada Koperasi Merah Putih.

Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Distribusi Pangan Kemenko Pangan, Tatang Yuliono, mengatakan bahwa model bisnis dan kemampuan ekonomi koperasi akan menjadi faktor yang menentukan besaran pinjaman dari Himbara. Selain itu, bank juga akan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menyalurkan pinjaman ke koperasi desa, seperti melakukan penelusuran melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, yang sebelumnya dikenal sebagai BI-Checking.

BACA JUGA  MBG Makan Korban lagi

“Misalnya, ada koperasi desa yang membutuhkan truk untuk operasional, Himbara akan menghitung apakah betul koperasi ini mampu mengembalikan uangnya dengan konteks ekonomi maupun bisnis yang sekarang berjalan,” urai Tatang.

Pinjaman kepada Himbara dalam bentuk uang tunai hanya akan diberikan kepada koperasi desa yang bergerak di unit bisnis simpan pinjam saja, sedang unit bisnis lainnya, seperti; apotek, klinik, pengadaan sembako, pergudangan atau cold storage, dan logistik, pinjaman diberikan berupa barang.

“Untuk simpan pinjam kami memang memberikan bisnisnya itu kepada bank yang ada, kami nyebutnya mini bank. Tentu kembali kepada business-to-business. Kalau memang yang minjam itu memiliki skala ekonomi yang cukup dinilai oleh perbankan, oleh Himbara yang berada di situ, tentu pinjamannya akan diberikan,” imbuh Tatang.

Ketentuan ini makin membuat kebanyakan pengurus koperasi bingung, pasalnya sebagian besar unit bisnis yang mereka cantumkan di akun digitalnya justru unit bisnis non simpan pinjam.

Padahal, kebanyakan masyarakat desa justru menganggap keberadaan koperasi desa sebagai solusi untuk memperoleh pinjaman lunak dengan bunga yang terjangkau.

Belum selesai masalah permodalan, unit bisnis dan skema pinjaman di koperasi desa, muncul pula singgungan baru antara Koperasi Desa Merah Putih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang membuat resah perangkat desa.

Pasalnya, pemerintah juga memberikan keistimewaan untuk Koperasi Desa Merah Putih dalam hal pengelolaan dana desa yang dijadikan talangan atas pinjaman Koperasi Desa Merah Putih seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pembiayaan Koperasi Desa.

Pasal 4 butir 4 di beleid itu menyebutkan pemerintah desa bisa memberikan dukungan pengembalian pinjaman maksimal 30 persen dari dana desa. Dukungan pengembalian pinjaman itu menjadi semacam talangan apabila Koperasi Desa Merah Putih gagal atau tidak bisa mengembalikan dana yang dipinjam dari bank.

Menteri Desa dan Daerah Tertinggal Yandri Susanto bahkan menjamin bahwa koperasi desa tak punya kewajiban sama sekali untuk mengembalikan dana desa yang sudah dijaminkan ke bank meskipun koperasi mengalami gagal bayar.

Penegasan dana desa bisa digunakan sebagai penjamin pinjaman koperasi desa juga dikuatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Mantan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM RI, Rully Indrawan menyebut potensi terjadinya konflik kepentingan antara Kopdes dan BUMDes yang beresiko memicu persaingan di desa yang sebenarnya memiliki ekosistem bisnis yang memang terbatas.

BACA JUGA  Lampung Mencari Nafas Baru, Bertumpu pada Sisa atau Utang

Ia bahkan menyebut selayaknya, Kopdes dan BUMDes cukup berkolaborasi daripada harus memaksakan untuk berdiri bersama di lingkungan desa yang sebenarnya minim potensi ekonomi apalagi produk turunan terkait implementasi Koperasi Desa Merah Putih sampai saat ini pun masih belum jelas.

Apalagi, dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pembiayaan Koperasi Desa, sebanyak 30 persen dana desa bakal dialokasikan sebagai jaminan keberlangsungan koperasi desa kepada bank, sehingga praktis bakal mempengaruhi pula anggaran pembangunan desa maupun anggaran BUMDes yang selama ini bersumber dari dana desa.

Penggunaan dana desa sebagai jaminan koperasi dengan besaran hingga 30 persen dari total dana desa juga menyalahi aturan karena penetapan besaran dana desa ditentukan berdasarkan Musyawarah Desa atau Musdes. Musyawarah ini bersifat otonom dan tidak boleh diintervensi oleh pemerintah pusat.

Fungsi penganggaran dana desa diatur dalam pembentukan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes) secara mandiri.

Otoritas ini, bahkan diatur oleh Undang Undang (UU) Desa dan semua pihak harus mematuhinya, termasuk pemerintah pusat.

Penggunaan dana desa sebagai jaminan pinjaman adalah bentuk penghindaran risiko yang berpotensi dialami bank milik negara.

Karenanya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai penggunaan dana desa sebagai dana talangan Kopdes Merah Putih bisa mengurangi belanja untuk pembangunan desa.

Dia juga menyoroti rentannya penyalahgunaan dana oleh pengurus koperasi. Apalagi kini ada jaminan penggunaan dana desa.

“Cara ini tidak mengajarkan kemandirian ekonomi seperti layaknya koperasi. Ini merusak tatanan sehingga tak ada sikap disiplin dalam mengembalikan pinjaman,” ucap Bhima seperti dikutip dari Tempo.

Terlebih, dalam riset terbarunya, Celios juga menghitung potensi risiko gagal bayar pinjaman Kopdes Merah Putih yang diperkirakan mencapai Rp 85,96 triliun selama enam tahun masa pinjaman.

Tak hanya itu, Celios juga menyebut adanya opportunity cost sebesar Rp 76 triliun yang ditanggung oleh bank pelat merah, karena harus memberikan pembiayaan bagi Kopdes Merah Putih.

Sengkarut pengelolaan dana desa yang bersinggungan dengan Kopdes dan BUMDes juga makin berpotensi membuka lebar peluang terjadinya penyimpangan dana desa yang kian marak.

Data Kejaksaan Agung sepanjang tahun 2024, ada sebanyak 275 perkara hukum yang berkaitan dengan penyimpangan dana desa.

Sedangkan di Lampung, berdasarkan data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sepanjang empat tahun terakhir (2020-2024) ada sebanyak 69 kasus korupsi pengelolaan dana desa di tingkat desa, dengan nilai kerugian negara hingga sebesar Rp28,2 miliar.

Further reading