Bukan cuma masalah keracunan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga punya efek domino lainnya, yakni; limbah pengolahan dan limbah sisa makanan (food waste), yang setiap harinya semakin membebani TPA Bakung.
(Lontar.co): Empat plastik sampah berwarna hitam berukuran 90 x 120 cm itu langsung memenuhi bagian atas bak mobil pikap pengangkut sampah yang dikendarai Maryono.
Empat plastik sampah organik, limbah dari salah satu dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bandarlampung itu pula, sudah menimbulkan bau yang menyengat, bahkan sejak teronggok di depan pagar dapur MBG, lalat terus saja merubungi plastik-plastik yang penuh dengan sampah organik itu.
Wahyudi, petugas pengangkut sampah kerap kali mengeluh ketika harus mengangkut sampah dari dapur MBG itu, karena volume sampah yang ia angkut terlalu besar, sedangkan iuran sampah yang dibayar oleh dapur ini, hanya setara dengan iuran rumah biasa.
Biasanya, ia mengangkuti sampah dua kali dalam seminggu, di hari Senin dan Kamis, tiap kali mengangkut sampah dari dapur itu, pikapnya langsung penuh,”sudah kita bilang sama dapurnya, tolong pengertiannya, karena sampahnya banyak, minimal iurannya beda, tapi sudah berapa kali dikasih tau sama Pak RT, tetap aja bayarnya segitu,” keluhnya.
Di lokasi penampungan sampah sementara, sebelum dibawa ke TPA Bakung, ia juga kerap dimarahi oleh petugas pengelola, karena sampah asal dapur MBG itu yang terlalu banyak dan tak bisa diolah.
Limbah Dapur MBG
Diketahui, satu dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi unit-unit pengolahan makanan, menghasilkan setidaknya dua limbah buangan setiap harinya, yakni; limbah hasil pengolahan bahan makanan dan limbah sisa makanan pasca distribusi ke sekolah-sekolah.
Di Lampung, ada sebanyak 471 SPPG berizin, dan 36 diantaranya berada di Kota Bandarlampung yang sudah beroperasi secara penuh.
Tiap dapur MBG ini, setiap harinya, rata-rata memenuhi kebutuhan untuk sebanyak 3.500 porsi makanan.
Sementara, dalam asumsi timbulan sampah yang dihasilkan tiap siswa dari program MBG versi Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan, rata-rata siswa menghasilkan sampah kurang lebih 50-100 gram per siswa per hari.
Tingkat pendidikan yang berpotensi menghasilkan timbulan sampah paling besar adalah tingkat sekolah dasar, dalam simulasi potensi timbulan sampah yang dihasilkan dari makanan sisa program MBG, tiap siswa sekolah dasar berpotensi menghasilkan paling sedikit 100 gram timbulan limbah per siswa per hari, hal ini dikarenakan umumnya siswa sekolah dasar tak menyukai menu MBG karena faktor selera.
Sedangkan untuk tingkat pelajar SMP dan SMA, timbulan sampah yang dihasilkan relatif lebih rendah dibanding timbunan sampah tingkat sekolah dasar, yang umumnya berkisar 25 sampai 50 gram per siswa per hari.
Limbah sisa makanan ini masih harus ditambah dengan limbah sisa pengolahan menu makanan di tiap dapur MBG yang diasumsikan rata-rata menghasilkan minimal 100 kilogram per hari per dapur.
Dari asumsi efek timbulan sampah yang dihasilkan tiap siswa per hari versi Kementerian Lingkungan Hidup ini, maka setiap harinya satu dapur MBG menghasilkan setidaknya lebih dari seperempat ton sampah per hari atau sebanyak 275 kilogram hanya dari satu dapur MBG saja. Asumsi hitungannya, 3500 porsi dikali 50 gram rata-rata sampah sisa makanan per siswa per hari ditambah dengan 100 kilogram asumsi limbah sisa pengolahan menu makanan dari tiap dapur MBG.
Sedangkan, di Kota Bandarlampung ada sebanyak 36 dapur MBG yang sudah berjalan secara penuh setiap harinya, sehingga total ada lebih dari 9 ton limbah organik yang diproduksi oleh dapur-dapur MBG yang ada di Kota Bandarlampung setiap harinya.
Dari Dapur MBG ke TPA Bakung
Sampah-sampah organik ini yang dihasilkan oleh tiap dapur MBG ini dibuang begitu saja ke sejumlah lokasi-lokasi penampungan sampah sementara untuk kemudian bermuara di TPA Bakung.
Sebanyak 9 ton sampah tambahan yang dihasilkan oleh 36 dapur MBG setiap harinya ini, tentu menjadi beban baru buat Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bakung yang sejauh ini sudah amat over kapasitas, karena sebelum program MBG ada, rata-rata per hari TPA Bakung menerima sampah tak kurang dari 1.000 ton per harinya. Sekarang, sejak program MBG, TPA Bakung ketambahan 9 ton sampah tiap harinya.
Kondisi ini, makin menambah beban daya tampung TPA Bakung yang sudah tak layak lagi untuk menjadi tempat penampungan akhir sampah.
Pada Desember 2024 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup bahkan menyegel TPA Bakung sebagai sangsi atas pelanggaran undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menyebut penyegelan dilakukan karena pemerintah Kota Bandarlampung dianggap lalai dalam hal menyelenggarakan pengelolaan sampah secara baik.
Setidaknya, TPA harus memenuhi 3 tujuan, yang meliputi; peningkatan kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan dan menjadikan sampah menjadi sumber daya. Di TPA Bakung, Kementerian Lingkungan Hidup tidak melihat tiga tujuan itu.
Sekarang, sejak program MBG digelar, TPA Bakung setidaknya harus mendapat tambahan 9 ton sampah timbulan baru setiap hari, yang didominasi oleh limbah-limbah sampah kategori organik.
Bahaya Limbah Organik yang Tak Dikelola
Limbah sampah organik sisa dari dapur-dapur MBG ini memiliki efek simultan yang sangat berbahaya jika tidak dikelola. Efeknya, yang paling sering terjadi adalah pencemaran tanah dan air akibat cairan lindi (leachate) dan nutrisi yang berlebihan.
Selain itu, limbah organik yang seharusnya bisa diolah menjadi pupuk ini, jika tak dikelola justru akan memicu produksi gas metana yang 38 kali lebih berbahaya dari karbon dioksida serta berkontribusi pada perubahan iklim dan potensi ledakan, penyebaran penyakit oleh vektor hewan maupun bakteri yang bersarang di sampah, serta kerusakan ekosistem akibat eutrofikasi dan penurunan keanekaragaman hayati.
Selain itu, sampah organik juga dapat menghambat proses daur ulang sampah anorganik yang menyebabkan penurunan nilai ekonominya.
Pembuangan sampah organik yang tidak terkendali dapat menyebabkan kematian mikroorganisme penting di tanah, yang dapat merusak rantai makanan dan mengurangi keanekaragaman hayati.
Pada manusia, limbah-limbah sampah organik ini juga menjadi tempat berkembang biak bagi vektor penyakit yang dapat menyebarkan penyakit seperti tifus, diare, kolera, dan leptospirosis ke manusia.
Dalam hal dampak sosial dan ekonomi, limbah organik yang tak diolah ini juga memicu banjir saat musim penghujan, merusak infrastruktur, dan menimbulkan kerugian ekonomi.
Akan hal ini, Walhi Lampung bahkan pada April 2025 lalu mendesak Pemkot Bandarlampung untuk bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan di sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bakung.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, limbah air lindi dari TPA Bakung telah mencemari lingkungan permukiman warga selama beberapa tahun terakhir.
“Limbah air lindi di TPA Bakung ini bukan kejadian pertama. Ini bukan hanya terjadi tahun ini, tapi sudah berulang selama bertahun-tahun,” ujar Irfan.
Ia menjelaskan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA, terutama yang berada di bawah area pembuangan, merasakan dampak buruknya setiap tahun.
“Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di sekitar TPA Bakung terus merasakan dampaknya, terutama saat musim hujan,” tambahnya.
Irfan menyebutkan dengan kondisi tersebut, Pemkot Bandarlampung telah melakukan pelanggaran terhadap hak warga atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.
Kasus buruknya pengelolaan limbah organik khususnya yang berasal dari dapur MBG juga pernah terjadi di Tulangbawang Barat pada Juli 2025 lalu, limbah sisa dari dapur MBG yang dibuang sembarangan akhirnya mencemari sumur warga.
Salah satunya, sumur milik Netilia Destiana warga Tiyuh Pulungkencana, Tulangbawang Tengah, Tulangbawang Barat, yang tercemar limbah dari dapur program Makan Bergizi Gratis.
Sumur yang ia dan keluarganya gunakan untuk kebutuhan pemenuhan air bersih sehari-hari tercemar limbah air kotor yang meresap sehingga menimbulkan bau dan perubahan warna air sumur menjadi hitam dan tak layak konsumsi.
“Baunya busuk dan menyengat, airnya juga jadi hitam, padahal sumur itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,” keluh Netilia kala itu.
Ia juga sudah berusaha menghilangkan bau dan sumurnya yang tercemar itu, termasuk memanggil petugas Damkarmat, tapi tak berhasil.
Selain sumur milik Netilia, limbah hasil aktivitas dapur MBG juga menimbulkan bau busuk yang mengganggu aktivitas warga.
“Saya dan warga lain sampai mengambil sampel air dari sumur lain, ternyata sama semua, ikut tercemar,” akunya.
Setelah dirunut dan oleh Netilia dan sejumlah warga di sana, ternyata sumber pencemaran mengarah pada satu titik, yakni; dapur proses pembuatan makanan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ia dan warga lainnya, sudah berulang kali mengingatkan hingga menegur pengelola dapur MBG, tapi tak mendapat respon yang positif,”pernah ada yang datang dari dapur MBG, ngambil sampel air, sudah itu nggak ada kabarnya lagi,” tutur Netilia.
Parahnya, dari 471 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Makan Bergizi Gratis (MBG) di Provinsi Lampung, hanya 10 SPPG saja yang sudah memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Padahal, Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) menjadi sebuah syarat mutlak bagi SPPG, karena selain menilai kelayakan proses pengolahan makanan, SLHS juga meliputi penanganan dan pengolahan limbah sebagai bagian dari persyaratan kelayakan higienis suatu usaha, yang juga mencakup kondisi bangunan, kebersihan fasilitas, kualitas peralatan, proses pengolahan makanan, dan kebersihan pekerja.







