Desa Purworejo di Kabupaten Pesawaran punya cara sendiri untuk menerjemahkan makna literasi sesungguhnya
(Lontar.co): Hari makin siang, tapi, bukannya makin sepi, perpustakaan kecil di sudut desa itu malah semakin ramai. Terik matahari seperti tak punya kuasa untuk menghentikan tiap orang di desa ini untuk mencari khasanah dari bangunan yang dominan berwarna hijau muda.
Seperti oase, perpustakaan Desa Purworejo menjadi sumber buat setiap orang menimba ilmu peradaban dan pikiran yang jauh dari stigma desa itu sendiri.
Segmennya usianya juga beragam, ada orang tua, remaja hingga anak-anak. Tempat itu, seperti tempat relaksasi pikiran buat warga Desa Purworejo, Kecamatan Negerikaton, Kabupaten Pesawaran.
Dari perpustakaan ini pula, tingkat literasi hingga minat baca penduduk desa jauh melampaui kebanyakan desa lain di Kabupaten Pesawaran.
Maka kemudian, perpustakaan ini, dengan berani menasbihkan dirinya sebagai ensiklopedia kecil tapi punya dimensi yang begitu luas, Purwopedia. Sebagaimana makna Purwo dalam literasi kebudayaan masyarakat Jawa; tempat dimana segala sesuatunya bermula, yang kemudian disandingkan dengan ensiklo sebagai karya rujukan buat semua orang, maka sah-lah Purwopedia.
Di perpustakaan yang lumayan lengkap fasilitasnya ini, semua aktivitas literasi terangkum di sepetak bangunan yang berdiri di atas tanah bengkok milik desa yang kemudian menjadi sumber ilmu untuk masyarakat yang tinggal di ujung paling barat Kabupaten Pesawaran yang beririsan langsung dengan Kabupaten Pringsewu.
Ada lebih dari dua ribu koleksi buku, mulai dari buku anak, sejarah, biografi maupun umum. Selain bacaan anak, koleksi buku di sini lumayan ‘berat’. Bayangkan, ada buku Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo’, Konflik Bersejarah Runtuhnya Hindia Belanda’, hingga Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan karya R. William Liddle.
Buku-buku ini seperti menggambarkan kualitas minat baca penduduk di sini yang sudah amat mapan dalam hal literasi. Mereka, tak lagi sedang membangun atau merawat tentang cara membaca dengan model konvensional tapi justru mengembangkan pikiran tiap mereka ke dimensi yang lebih luas, melepas stigma penduduk desa yang hanya diliputi dengan kemiskinan dan petani, tapi jauh melampaui itu semua. Sebagai peradaban kecil di desa, Purworejo punya pengetahuan yang lebih mapan, mereka tak lantas menjadi kelompok masyarakat yang dimarjinalisasi oleh keadaan dan dibatasi dengan begitu banyak keterbatasan desa.
Purwopedia, Perpustakaan yang Dibangun dari Keresahan
Perpustakaan Purwopedia bukanlah perpustakaan formal yang ‘dipaksa’ ada oleh keadaan yang berorientasi pada prestasi. Perpustakaan ini justru dibangun oleh keresahan itu sendiri.
Adalah, Zainal Abidin, mantan Kepala Desa Purworejo sebelumnya sebagai penggagas awal kehadiran Purwopedia.
Kala itu, di tahun 2020, saat Covid-19 sedang mengharu biru Indonesia dan membuat segala sesuatunya serba terbatas, ditanggapi oleh Zainal Abidin dengan kebutuhan sebuah ruang publik yang bisa di akses bersama dan dimiliki semua orang.
Bukan taman yang ada dipikirannya, tapi justru yang terbersit adalah pentingnya sebuah ruang untuk membangun nalar untuk semua penduduk desa, seluruh lapisan usia, sampai kemudian ide itu ia terjemahkan dengan perpustakaan desa yang kemudian berkembang menjadi Purwopedia, nama yang kemudian jauh lebih familiar, tak hanya sebagai ruang literasi tapi juga ruang untuk mengembangkan ilmu dan pikiran yang lebih luas lagi.
Ide yang menjadi motivasi buat Zainal Abidin itu kemudian berjodoh dengan kebutuhan penduduk desa kala itu, apalagi desa ini belum memiliki ruang publik, fasilitas pendidikan mulai dari TK hingga SMK juga berkelimun di desa ini, karenanya perlu dirangkum dalam sebuah tempat sebagai ekstensi buat penduduk, tapi punya fungsi yang lebih luas untuk membaca, belajar, atau sekedar bercengkrama pada satu titik pertemuan ini.
Totalitas Pengelolaan Purwopedia
Sejak resmi itu, perpustakaan ini dikelola dengan metode yang jauh dari kesan kolot, Zainal Abidin melepas kepentingan pribadinya di perpustakaan ini, pemilihan pengurus bahkan dilakukan ekstra ketat melalui musyawarah desa yang mengakomodir suara tiap penduduknya agar hasilnya aklamasi.
Dalam pengelolaannya, perpustakaan ini juga dilakukan secara terjadwal, bahkan dilengkapi dengan struktur pengurus yang rinci agar tidak asal-asalan, dan mengakomodir tiap entitas kelembagaan desa; ada perangkat desa, BUMDes, juga Karang Taruna.
Profesionalitas dalam pengelolaan perpustakaan ini yang kemudian menghasilkan banyak aktivitas yang tak main-main. Purwopedia kini bukan hanya perpustakaan biasa, tapi juga mewujud menjadi banyak hal dan kegiatan, ada kelas literasi, bimbingan belajar, layanan internet bahkan hingga pemberdayaan ekonomi produktif berbasis literasi yang bahkan jauh melampaui pemikiran sekelas kabupaten yang justru berangkat dari desa.
Sesuai dengan konsep awal, seperti yang ada di pikiran awal Zainal Abidin, Purwopedia menjadi sebuah ruang multifungsi yang hidup dan terus bertumbuh sampai saat ini.
Digitalisasi Purwopedia
Seiring kebutuhan minat yang terus tinggi, dan keterbatasan buku yang terus bersirkulasi, pengelola perpustakaan kemudian mengadopsi teknologi untuk kemudahan, sambil menjaga agar tiap judul tetap ada secara digital, karena secara fisik, koleksi-koleksi tiap judul buku di Purwopedia memang terbatas, sehingga dengan minat yang tinggi, terkadang tiap satu judul buku dicari oleh lebih dari lima orang pembaca.
Sejak itu, proses konversi buku dalam versi digital mulai dibangun, meski dengan teknologi yang masih amat sederhana tapi sudah begitu banyak membantu tiap orang mengakses tiap buku yang selalu bisa dibaca kapan pun.
Kepala Perpustakaan Purwopedia, Bayani Amri Putri menyebut digitalisasi perpustakaan di Purwopedia menjadi kebutuhan yang urgen seiring makin tingginya minat baca masyarakat Desa Purworejo.
“Aksesnya bisa dilakukan langsung melalui kanal website Perpustakaan Purwopedia,” kata Bayani.
Dari pengembangan ini pula, Purwopedia kemudian tak hanya di akses oleh warga Desa Purworejo, tapi juga banyak masyarakat dari desa lain yang mencari referensi buku, yang tak dimiliki oleh perpustakaan lain.
Diganjar Banyak Penghargaan
Keberhasilan mengelola sebuah sumber ilmu dari desa kecil dengan terobosan besar ini yang kemudian membawa Desa Purworejo melalui Purwopedia-nya meraih begitu banyak penghargaan di banyak bidang, utamanya tentang literasi. Tak tanggung-tanggung bahkan, perwakilan dari Perpustakaan Nasional RI khusus datang mengunjungi Purwopedia untuk menilai seberapa layak Purwopedia mewakili Pulau Sumatera di ajang lomba perpustakan desa tingkat nasional.
Dulu, mimpi Zainal Abidin sebenarnya tak terlalu muluk tentang Purwopedia ini apalagi sampai sejauh ini, ia hanya ingin menghadirkan sebuah ruang multifungsi buat warganya, tapi juga menumbuhkan minat literasi itu sendiri.
Zainal Abidin bisa jadi punya pikiran sederhana, tapi hasilnya luar biasa, di luar ekspektasinya, dan juga penduduk desa, tapi dari titik di sudut Desa Purworejo ini, Purwopedia menjadi sebuah kekuatan baru bagi penduduk, tentang semangat untuk terus menjaga ilmu dan peradaban itu sendiri.