PPN XIII berlangsung di Jakarta, 11-14 September 2025. Empat lokasi dijadikan untuk seminar dan panggung penyair: Teater Kecil TIM, Perpusnas RI, Taman Monas, dan Badan Bahasa.
(Lontar.co): Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII baru saja selesai. Acara para penyair Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan ini, disudahi di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikdasmen RI, Sabtu (13 September 2025) malam.
Penyair Angkatan 66 Taufiq Ismail dan Jose Rizal Manua tampil di panggung penyair membacakan puisi. Setelah itu diramaikan para penyair PPN dari luar negeri dan tuan rumah.
Panitia telah memperhitungkan masak untuk menghadirkan penyair di malan pembuka dan penutupan. Di malam pembukaan, Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri dan penyair LK Ara, sebagai tokoh pembuka perhelatan.
PPN XIII yang direncanakan dibuka Kemenbud Fadli Zon “ditugaskan” kepada Kepala Dinas Kebudayaan DKI. Hari kedua, Wakil Gubernur DKI, H. Rano Karno, berorasi budaya. Sesudah itu, Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, turut membacakan puisi di PPN XIII ini.
Sejumlah penyair dari berbagai daerah di Tanah Air ditambah empat negara “tumplak” di acara ini. Seperti Anwar Putra Bayu, Nanang R. Supriyatin, Fakhrunnas MA Jabbar, Tarman Effendi Tarsyad, Yusuf Susilo Hartono, Shamsuddin Othman, Zefri Ariff, Norhayati Ab Rahman, Toto S Radik, Ulfatin Ch., Tri Asroro Kodarie, Eddy Pranata PNP. R. Mulia Nasution, Ratna Ayu Budiarti, Iin Zakaria, Riri Satria, dan banyak lagi.

Di barisan penyair usia muda. Hadir Muhammad Lefand, Firman Wally, Muhammad Daffa, Rezqie M.A. Atmanegara, Muhammad Ade Putra, sekadar menyebut beberapa nama.
PPN pertama dilaksanakan di Medan, Sumatera. Penggagasnya adalah Afrion, dengan menggunakan nama “gathering”. Di sana pula, dalam sidang perumusan berganti Pertemuan Penyair Nusantara. Awalnya dilaksanakan setiap tahun berganti daerah dan negara yang terlibat. Dari setahun sekali bisa dua atau tiga tahun disesuaikan kemampuan tuan rumah.
Sebelum Jakarta, Indonesia, PPN digelar di Kuala Lumpur, Malaysia. Dari Indonesia, pembicaranya adalah Ratna Ayu Budiarti, Isbedy Stiawan ZS, Maman S. Mahayana, dan Ahmadun Yosi Herfanda. Menerbitkan antologi puisi Luka dan Cinta. Selain itu kumpulan makalah Gerak Puisi dalam Arus Digital – Pertemuan Penyair Nusantara ke-12.
Di Jakarta, tak seluruh penyair yang lolos kurasi bisa hadir. Ini tentu banyak faktor ketidakhadiran mereka. Sebab sibuk atau dana perjalanan dari tempat tinggal ke Jakarta yang tak ada.
Soal transportasi memang amat kendala bagi sastrawan selama ini.Sehingga banyak sastrawan tak bisa menghadiri pertemuan atau festival. Pemerintah (daerah) begitu “pelit* untuk urusan kesenian, sementara soal olahraga dan lainnya, mulus-mulus saja.
Persoalan transportasi, misalnya hampir membatalkan penyair Kalimantan Selatan. Tetapi, kemudian mereka didukung pemprov setelah “tekanan” para seniman senior di sana. Tampaknya, pemprov-pemprov bisa membuka telinga tentang kendala ini dan mudah mengulurkan tangan. Walau di tengah, selalu alasan, efisiensi anggaran. Bukankah si-efisien-efisien masih bisa menggelar ini dan itu?
Senibudaya, sejak orde baru, memang “dipelitkan” oleh negara. Kucuran anggaran untuk bidang ini lebih kecil dibandingkan untuk olah raga dan (boleh jadi) politik! Meski kini kebudayaan sudah tersendiri – Menteri Kebudayaan – tapi kerja belum signifikan. Seharusnya PPN XIII ini sekelas menteri yang membuka/meresmikan, nayatany hanya kadisbud. Ini helat antarnegara lo, pak menteri. Bukan galeri atau situs-situs yang selama ini didatangi Fadli Zon.
Soal dana, bukan hanya masalah kehadiran atau tidak para penyair dari daerah. Konon, sampai selesai PPN XIII, anggaran “yang dijanjikan” pemerintah belum terealisasi. Kecuali, mungkin, yang dibantu adalah urusan makan, penginapan, dan transportasi lokal yakni TransJakarta, serta tempat penyelenggaraan: TIM, Badan Bahasa, Perpusnas, dan Monas.
PPN XIII secara keseluruhan bpleh dibilang berhasil. Di mata peserta. Kalau ada geliat, masalah pembagian buku puisi. Lokasi penginapan dengan acara yang sangat jauh, sehingga melelahkan; sebab tiada jeda dari kegiatan siang ke malam. Peserta harus berada di lokasi tanpa mandi di sore hari. Bayangkan, andai tak membawa parfum?
Pergantian Nama dan (juga) Tempat
Mulai PPN XIV nama pun berubah. Tim perumus, di antaranya Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Anwar Putra Bayu, Norhayati AB Rahman (Malaysia), Zefri Ariff (Brunei) sepakat PPN berganti menjadi Festival Puisi Nusantara. Tahun depan, tuan rumah Provinsi Nangroe Aceh (saya tak menyebut kotanya).
Alasan “festival puisi” dan bukan “pertemuan penyair” lantaran untuk memarwahkan puisi. Dalam helat ini yang dipertaruhkan adalah puisi, bukan (nama besar) penyair. Itulah yang saya tangkap dari perbincangan dengan Anwar Putra Bayu yang mengusulkan perubahan ini.
Melalui festival puisi, tuan rumah bersama kurator akan bekerja keras memilih puisi yang berkualitas, bukan sebaliknya – barangkali – adalah penyair. Kurasi yang bersandar pada karya, mesti dilanjutkan dengan pertanggungjawaban kurator. Bila perlu ada sesi khusus dari kurator dan pembahas dari luar untuk puisi-puisi yang lolos dan penyairnya diundang.
Melalui Festival Puisi Nusantara nantinya diharapkan memperoleh puisi-puisi berkualitas. Penyaiir mempertaruhkan puisinya, bukan lagi nama (besar) yang telah malang melintang di dunia perpuisian. Artinya, dapat saja penyair muda (gen Z) sekalipun bisa menyisihkan puisi karya penyair besar. Di sini tidak ada lagi, senior junior, tiada lagi muda dan tua.
Supaya perhelatan hanya dari penyair ke penyair maka ada peserta undangan (peninjau); para siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan pengamat. Peninjau di sini bukan hanya penyair seperti selama ini. Kalau ini dikhawatirkan bercampur, misalnya turut membaca puisi di panggung sehingga menyisihkan penyair yang lolos kurasi. Jadi harus tegas; mana penyair dan peninjau.
Tak Setiap Penyair, Pembaca Puisi yang Baik
Panggung penyair juga harus diperhitungkan. Panggung adalah sebuah tontonan. Ia lepas dari karya puisi yang baik atau kurang. Bisa saja puisi yang baik menjadi tak sampai ke audiens karena pembacaan yang kurang baik. Sebab, tak semua penyair adalah pembaca puisi yang baik.
Banyak contoh. Penyair mampu menulis puisi berkualitas, namun saat dipanggungkan menjadi kering. Begitu sebaliknya; puisi biasa-biasa saja lalu dipanggungkan ternyata dahsyat!
Antara pemanggungan dan teks karya, dua sisi yang sangat berbeda. Teks puisi adalah impresi dan imaji penyair. Panggung merupakan kerja aktor dan tontonan. Untuk persiapan & menyiapkan kedua hal itu, tentu berbeda pula.
Sayonara PPN XIII
PPN XIII berakhir. Banyak kenangan dari silaturahmi para penyair di Jakarta. Saling bersapa bagi yang kerap berjumpa, saling berkenalan untuk kali pertama bertemu. Saling tukar buku dan menjajakan buku puisi. Pokoknya happy happy.
Keriangan ini terjadi juga di bus TransJakarta. Adalah Muhammad Lefand dari Jember menggagas naca puisi di bus dalam perjalanan dari penginapan ke lokasi acara. Durasi yang nyaris dua jam menembus Jakarta itu diisi dengan pembacaan puisi.
Indah dan berkesan sekali. Digoyang bus yang berjalan, pembacaan puisi digelar. Ternyata bagi penyair, setiap tempat adalah panggung.
Perpisahan pun harus terjadi. Seperti adanya perjumpaan. Di TIM mula penjemputan, di sini pula pelepasan. Para peserta kembali ke kota masing-masing. Berkendata bus, kereta, pesawat terbang, juga berkendara gelombang.
Sayonara. Jumpa lagi di Festival Puisi Nusantara berikut.(*)